TintaSiyasi.com -- 'Bodoh sekali kita' adalah kata-kata yang diucapkan Jokowi terhadap kinerja bawahannya yang rajin impor, bahkan kata ini hingga diulang dua kali selama berbicara. Diketahui, ini karena pemerintah pusat dan daerah serta BUMN masih melakukan impor terkait pengadaan barang dan jasa. Padahal, anggaran modal yang diberikan cukup besar.
Adapun nilai anggaran pengadaan barang dan jasa tersebut, untuk anggaran modal pusat sebesar Rp 526 triliun, daerah sebesar Rp 535 triliun, dan BUMN sebesar Rp 420 triliun. Disebutkan beberapa barang yang diimpor, mulai dari seragam TNI-Polri, alat dan mesin pertanian, alat kesehatan, perkakas rumah sakit, perkakas sekolah, hingga perkakas kantor (detikFinance, 28/3/2022).
Namun, sikap geram dan marah yang ditunjukkan Jokowi, sepertinya sudah tidak menarik bagi rakyat negeri ini. Trust dan interest rakyat terhadap penguasa saat ini sudah sangat menurun. Diingat ataupun tidak oleh orang nomor satu ini, tetapi rakyat ingat betul bahwa 'tidak akan impor' adalah janji yang dibuat ketika kampanye sekaligus diingkari sepanjang masa jabatannya. Rakyat sudah menahan kesengsaraan, salah satunya akibat impor yang dilakukan pemerintah.
Terlalu sulitkah bagi sebuah negara untuk menahan diri dari sikap rajin impor? Ataukah karena gaya rezim dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan hari ini meniscayakan langgengnya kebiasaan rajin impor?
Impor di Tengah Surplus Produksi Menjadi Gaya Rezim Dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme
Lip service yang kerap ditunjukkan oleh penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini, sebenarnya telah nyata menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola negara. Sebenarnya, rakyat hanya sederhana saja dalam berpikir, bahwa orang nomor satu di suatu negeri sudah seharusnya memiliki wewenang kuat untuk mengendalikan kinerja bawahannya agar bekerja sesuai arahannya. Seharusnya sangat mudah memerintah dengan kewibawaan seorang pemimpin untuk menekan kebiasaan impor jajarannya.
Namun, dalam sistem yang menerapkan ekonomi kapitalisme persoalan impor ini menjadi pelik untuk dapat dihindari. Beberapa fakta yang dilansir dari detikFinance (28/3/2022), bahwa yang menjadi biang kerok kebiasaan rajin impor ini, di antaranya:
Pertama. Masalah Klasik.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan masalah impor sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan menurutnya biang keroknya pun tetap sama dan tak kunjung ada perbaikan.
Masalah klasik itu adalah standardisasi pengadaan barang yang lebih pro terhadap produk impor. Ujungnya, produk lokal terpinggirkan karena kualitas produknya tak sesuai dengan standardisasi yang ada. Pemerintah saat ini seharusnya memberikan lebih banyak pendampingan dan bantuan kepada pelaku usaha lokal untuk memenuhi standardisasi yang dibuat.
Termasuk juga Presiden Jokowi, daripada mengulang kemarahannya di tahun 2019 lebih baik menginstruksikan jajarannya untuk membuat standardisasi lebih mudah bagi produk lokal. "Pak presiden sepertinya hanya mengulang masalah yang lama. Tahun 2019 juga bicara soal cangkul impor," ujar Bhima.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan masalah terjadi pada pengawasan pembelian barang dan jasa di LKPP. Menurutnya, aturan pengadaan barang dan jasa sudah mencakup pembagian antara produk lokal dan impor.
Namun, kalau keluhan soal banyaknya produk impor keluar dari Presiden Joko Widodo artinya ada yang tidak beres dalam pelaksanaan aturan tersebut. Trubus menduga LKPP lemah dalam pengawasan, sehingga masih banyak barang impor yang dibeli lembaga pemerintah.
Soal impor sendiri, Trubus bilang sebenarnya boleh saja dilakukan. Hal itu bisa dilakukan bila produk yang dibutuhkan tak bisa diproduksi di dalam negeri. Tapi, kalau dilihat barang-barang yang dikeluhkan Jokowi masih diimpor sudah bisa diproduksi di Indonesia.
Kedua. Ada Pemburu Rente.
Masih menurut Bhima, ada ulah pemburu rente impor di balik banjir impor yang terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pemburu rente bekerja di tahap seleksi pengadaan barang dan jasa. Mereka melakukan kongkalikong agar barang lokal kalah dalam proses seleksi. Hal ini bisa terjadi karena aturan soal penyerapan produk lokal dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kurang tegas implementasinya.
Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi lahan basah korupsi. Buktinya, sepanjang 2021, KPK sudah mengusut 30 kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Di level pemerintah daerah korupsi pengadaan barang juga menempati posisi tertinggi.
Ketiga. Jumlah Impor yang Besar.
Dilihat dari data yang ada di laman resmi LKPP, beberapa rincian impor yang menelan dana besar, di antaranya:
Pertama, bidang kesehatan. Yang terbesar, totalnya ada Rp 13 triliun lebih atau tepatnya Rp 13.649.605.110.286 produk fasilitas kesehatan yang diimpor lembaga pemerintah di tahun 2021. Pembelian produk obat-obatan jumlahnya mencapai Rp 1.929.029.413.333. Transaksi produk obat-obatan ini berada di posisi ke tiga sebagai produk yang paling banyak diimpor. Masih di bidang kesehatan, di urutan ke-23, yaitu produk obat-obatan sektoral dengan transaksi impor sebanyak Rp 559.721.242.
Kedua, peralatan elektronik perkantoran dan peralatan pendukungnya. Produk ini bertengger di posisi dua dengan total transaksi impor sebesar Rp 3.539.519.018.398.
Ketiga, bidang pertanian, ada produk alat dan mesin pertanian dengan total transaksi impor sebesar Rp 520.337.279.431. Produk pertanian menduduki posisi empat dari total produk yang paling banyak diimpor.
Keempat, peralatan pendidikan yang transaksi impornya sebesar Rp 295.001.357.452. Posisi produk ini ada di posisi lima. Selain itu juga ada peralatan pendidikan sektoral yang berada di urutan ke-13 dengan nilai transaksi impornya mencapai Rp10.878.730.000.
Kelima, produk sarana budi daya peternakan dan kesehatan hewan yang masuk ke dalam bidang peternakan ada di urutan ke-15 dengan nilai transaksi impor Rp 7.433.058.850.
Keenam, di urutan ke-18 ada lagi produk di bidang pertanian yang diimpor, yaitu produk pestisida dan pupuk dengan besaran transaksi impor sebesar Rp 4.062.441.00.
Ketujuh, di urutan ke-23, yaitu produk obat-obatan sektoral dengan transaksi impor sebanyak Rp 559.721.242.
Di atas adalah sedikit contoh impor dari kebiasaan-kebiasaan impor yang dilakukan rezim hari ini, sepanjang masa jabatannya. Belum lagi bahan pokok, mulai dari beras, kedelai, garam, daging, dan lain-lain menjadi komoditas langganan yang rajin diimpor. Jadi, impor di tengah surplus produksi telah menjadi gaya rezim dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Impor di Tengah Surplus Produksi Semakin Menjauhkan Rakyat dari Kesejahteraan
Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang menerapkan ekonomi kapitalisme tidak bisa lepas dari kebiasaan rajin impor telah menciptakan masalah yang tak kunjung terselesaikan. Jika solusi instan ketergantungan impor masih menjadi gaya rezim, maka dampak yang akan terjadi, di antaranya:
Pertama, adanya defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor akan semakin melebar. Sehingga akan berdampak pada dunia usaha yang makin terhimpit.
Kedua, pembukaan kran impor secara masif juga bertentangan dengan upaya atau rencana pemerintah yang ingin memberikan relaksasi ekspor.
Ketiga, kebijakan memuluskan impor juga akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri. Produk dalam negeri kesulitan bersaing dengan produk asing.
Keempat, kebijakan impor juga akan terus memelihara sindikasi dan mafia impor atau para pemburu rente yang selama ini diuntungkan. Sehingga makin menumbuhsuburkan peluang-peluang korupsi di semua lini.
Kelima, semakin ketergantungan dengan barang dan jasa dari asing. Akan semakin meragukan barang dan jasa dalam negeri. Dan berpotensi mematikan upaya memajukan kualitas produk dalam negeri.
Alhasil, dari semua dampak yang mungkin ditimbulkan dari gaya rezim yang rajin impor, berujung pada keadaan semakin jauhnya rakyat dari harapan sejahtera. Anggaran besar yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk produk dalam negeri yang, seharusnya mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi dalam negeri harus terbuang untuk impor barang dan jasa dari asing.
Kebiasaan rajin impor ini juga telah nyata menampar berkali-kali para petani yang harus merugi saat musim panen, namun dihadapkan pada melimpahnya pasokan barang-barang impor. Selain itu, rakyat sudah sering dihadapkan pada kondisi barang-barang langka dan juga berujung pada harga-harga yang melambung tinggi. Nyata, bahwa impor di tengah surplus produksi semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan .
Strategi Meminimalkan Impor dalam Memenuhi Kebutuhan Negara
Dalam sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah, impor bukanlah solusi satu-satunya atas semua persoalan pengadaan barang dan jasa, apalagi samapi menjadi gaya rezim sebagaimana rezim dalam sistem ekonomi kapitalisme, itu sangat tidak mungkin terjadi.
Impor hanya akan dilakukan di saat produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa tersebut, hingga tidak bisa kalau tidak impor. Selain itu impor ini juga tidak boleh mengantarkan pada ketergantungan terhadap asing.
Pemerintah akan berupaya maksimal memajukan produksi dalam negeri, mendorong standar barang dan jasa dalam negeri memenuhi kualitas yang diharapkan. Bukan dengan menurunkan standar kebutuhan pemerintah terhadap barang dan jasa.
Strategi yang dilakukan pemerintahan Islam, di antaranya:
Pertama, khilafah menerapkan politik industri berbasis industri berat meliputi mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku.
Kedua, khilafah mengharamkan investasi dan pengelolaan modal asing. Ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 165 Masyru’u Dustuur, “Investasi dan pengelolaan modal asing dilarang di seluruh negeri, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada asing”.
Allah SWT berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin.” (QS Al-Maidah: 141).
Ketiga, khilafah bertanggung jawab dan berwenang penuh dalam pembangunan industri.
Keempat, kekayaan negara wajib dikelola secara benar (sesuai syariat Islam) agar negara memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.
Kelima, khilafah wajib menganggarkan biaya secara mutlak untuk kemandirian industri, termasuk dana riset.
Keenam, saat suatu daerah kekurangan pasokan barang dan jasa, solusi pertama yang diberikan khilafah bukanlah impor, namun mendatangkan barang dan jasa dari daerah lain yang berlimpah.
Sebagaimana saat kepemimpinan Umar bin Khattab, telah terjadi kekeringan di Semenanjung Arab, Makkah dan Madinah mengalami paceklik. Saat itu khalifah mengirim surat kepada jenderalnya di Mesir, Amr Ibn al-'Ash untuk mengirimkan makanan untuk membantu warga di Hijaz yang kelaparan.
Rasulullah SAW menegaskan fungsi utama pemerintahan di dalam sabdanya, “Imam (khalifah) raain (pengurus hajat hidup rakyat) dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Atas dasar kesadaran akan kewajiban utamanya, khilafah tidak akan mudah membuka keran impor, baik untuk bahan pangan, alat berat, alat medis, obat-obatan, dan lain-lain. Kemandirian di semua sektor akan dilakukan dengan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang.
Ingin menghentikan impor, maka saatnya menghentikan sistem demokrasi kapitalisme yang menerapkan ekonomi kapitalisme. Diganti dengan sistem Islam, yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Penutup
Lip service yang kerap ditunjukkan oleh penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini, sebenarnya telah nyata menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola negara. Yang menjadi biang kerok kebiasaan rajin impor ini, di antaranya: Pertama, masalah klasik yaitu standardisasi pengadaan barang yang lebih pro terhadap produk impor. Kedua, adanya ulah pemburu rente impor. Ketiga, jumlah impor yang besar dalam pengadaan barang dan jasa.
Selain itu rakyat juga sudah sering disuguhkan kebiasaan-kebiasaan impor rezim dalam sistem ekonomi kapitalisme, yaitu impor bahan-bahan pokok yang notabenenya melimpah jumlahnya di dalam negeri, mulai dari beras, kedelai, garam, daging, dan lain-lain menjadi komoditas langganan yang rajin diimpor. Jadi, impor di tengah surplus produksi telah menjadi gaya rezim dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Dampak yang ditimbulkan dari gaya rezim yang rajin impor, di antaranya mulai dari defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor akan semakin melebar, tak mampu memberikan relaksasi ekspor, akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri, kebijakan impor akan terus memelihara sindikasi dan mafia impor atau para pemburu rente, dan semakin ketergantungan dengan barang dan jasa dari asing. Alhasil nyata, bahwa impor di tengah surplus produksi semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan .
Strategi yang dilakukan untuk meminimalkan impor dalam pemerintahan Islam, di antaranya: menerapkan politik industri berbasis industri berat meliputi mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku, mengharamkan investasi dan pengelolaan modal asing, bertanggung jawab dan berwenang penuh dalam pembangunan industri, kekayaan negara wajib dikelola secara benar (sesuai syariat Islam) agar negara memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, wajib menganggarkan biaya secara mutlak untuk kemandirian industri, termasuk dana riset, saat suatu daerah kekurangan pasokan barang dan jasa, solusi pertama yang diberikan khilafah bukanlah impor, namun mendatangkan barang dan jasa dari daerah lain yang berlimpah.
Jadi, jika ingin menghentikan impor, maka saatnya menghentikan sistem demokrasi kapitalisme yang menerapkan ekonomi kapitalisme. Diganti dengan sistem Islam, yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah. []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo
0 Komentar