TintaSiyasi.com -- Republika.co.id, Sabtu 23 April 2022 mengusung berita bertajuk "Gus Miftah: Kebencian kepada Pemimpin Picu Kasus Radikalisme". Diwartakan bahwa Pimpinan Pesantren Ora Aji Yogyakarta, Gus Miftah, memandang salah satu tindakan yang menjadi awal pemicu terjadinya kasus radikalisme adalah penanaman rasa kebencian kepada pemimpin. Dia melihat, awal dari kasus-kasus intoleransi kemudian masuk ke dalam radikalisme, salah satunya adalah menanamkan kebencian kepada pemimpin.
Jika ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan ataupun hal-hal yang dilakukan pemimpin dan menyakini hal tersebut keliru, Gus Miftah mengimbau mereka untuk menyampaikan nasihat atau meluruskan kekeliruan itu secara lembut, bukan dengan kebencian.
Kiranya saya perlu merespons pendapat Gus Miftah terkait tentang kebencian kepada pemimpinlah yang memicu radikalisme. Pertama, kita harus cermati apa itu radikalisme. Hingga saat ini pengertiannya masih belum jelas, saya katakan obscure dan lentur. Penerjemahannya diserahkan kepada masing-masing pemangku kepentingan. BNPT, Kementerian, dan lain-lain beda-beda menerjemahkannya. Yang jelas saya melihatnya sebagai propaganda untuk menutupi kekurangan, ketidakberhasilan, kegagalan pemerintah dalam rangka menjamin kesejahteraan, penegakan hukum yang adil, dan keamanan rakyat.
Pertanyaan saya adalah siapa sesungguhnya yang terpapar radikalisme itu? Mengapa seringkali seorang Muslim yang taat pada agamanya dan dijamin oleh konstitusi dalam menjalankan agamanya itu justru dituding terpapar radikalisme? Sementara itu kita mengetahui bahwa soal radikalisme ini lebih cenderung pada nomenklatur politik dibandingkan hukum.
Saya berpendapat bahwa istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Radikalisme lebih terkesan menampakkan diri sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas.
Pada UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan: deradikalisasi dan kontra radikalisasi (Pasal 43A ayat 3). Dan secara hukum berarti istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap. Keadaan yang berbeda kita bandingkan dengan istilah terorisme yang telah memiliki definisi baku. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 5 tahun 2018 dijelaskan bahwa:
"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
Ketika definisi secara hukum masih kabur (obscure), maka nomenklatur radikalisme menjadi sangat seksi untuk dimanfaatkan sebagai alat rekayasa penyelamatan kepentingan atau kekuasaan (as a tool of interest engineering) dan cenderung sebagai alat gebuk untuk pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa itu. Diam saja bisa dianggap terpapar radikalime apalagi bangkit dengan anggit nalar dan perilaku kritis, yang sering dimaknai sebagai rasa kebencian. Istilah "terpapar" juga istilah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Istilah ini lentur bak amoeba yang bentuknya mengikuti selera wadahnya. Ngaret, lentur bahkan cair tapi mematikan. Lalu di mana prinsip kepastisn hukum (lex scripta, lex certa, dan lex stricta) yang diagung-agung para pengkaji dan penerap hukum itu. Cukup memprihatinkan keadaan seperti ini.
Di tengah ketidakpastian itu muncul definisi dan indikasi terhadap orang atau kelompok orang yang terpapar radikalisme. BNPT tahun 2016---kalau tidak salah---mendefinisikan radikalisme sebagai berikut:
"Sikap yang menginginkan perubahan total dan revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui kekerasan (violence) dan aksi yang ekstrem."
Dua persyaratan tindakan yang mengikuti sikap itu harus kita perhatikan dari sisi hukum. Sikap saja tidak bisa dilabeli radikalisme ketika tidak diikuti oleh tindakan kekerasan dan aksi ekstrim. Ini yang kita sebut definisi nominal dan hukum dari nomenklatur radikalisme itu. Bila nomenklatur radikalisme itu dimaknai sesuai dengan selera lokal institusi, maka yg terjadi adalah persekusi terhadap para anggota komunitas lokal itu dengan dalil kewenangan mengeksekusi keputusan sepihak, mulai dari penjatuhan sanksi ringan hingga sanksi berat. Bila anggota tidak terima atas keputusan itu, pejabat penguasa ini biasanya mempersilahkan menggugat di PTUN. Ini saya sebut vandalisme, antem dulu urusan belakangan.
Yang kedua, soal kebencian. Apa yang dimaksud kebencian. Selama ini hampir setiap orang yang mengkritik pemerintah, kebijakan pemerintah selalu dimaknai benci, berlawanan, oposisi meskipun kritik itu disampaikan secara proporsional dan ilmiah. Kita juga harus paham bahwa rakyat di alam demokrasi itu boleh mengkritik penguasa dan itu bukan kebencian.
Menurut KBBI, definis ke·ben·ci·an adalah
n 1. perasaan benci; sifat-sifat benci: motif pemberontakan itu ialah - terhadap kaum penjajah; 2. sesuatu yang dibenci: judi merupakan - orang dalam kampung itu. Sedangkan definisi lebih lengkap ditemikan dalam Wikipedia bahwa kebencian merupakan emosi yang sangat kuat yang sama kuatnya dengan cinta dan melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau antipati untuk seseorang, sebuah hal, barang, atau fenomena. Hal ini juga merupakan sebuah keinginan untuk, menghindari, menghancurkan atau menghilangkannya.
Pertanyaannya adalah apakah setiap kebencian itu salah dan nista? Saya kira perlu dibedakan antara kebencian peyoratif destruktif dengan kebencian amelioratif. Terhadap kebencian peyoratif destruktif perlu dihindari karena membuat pembenci berlaku tidak adil, tidak proporsional dan cenderung tidak ilmiah. Ini bisa terjadi baik pada oknum pemerintah maupun anggota masyarakat, misalnya buzzer. Adapun kritik terhadap penguasa oleh anggota masyarakat tidak dapat dikatakan sebagai kebencian peyoratif destruktif. Seandainya pun ada yang menyebut kebencian, jenisnya tidak peyoratif destruktif melainkan amelioratif konstruktif. Hal ini secara agama dan prinsip pemerintahan demokratis justru harus ada. Dalam bahasa agama, "muhasabah lil hukam" itu wajib. Namun, di negara yang mendeklarasikan demokratis namun dengan penguasa otoriter pun dapat terjadi sebaliknya, kritik itu dimaknai sebagai kebencian, bahkan lebih sadis dimaknai sebagai pangkal radikalisme yang nomenklaturnya saja sesuai dengan maunya penguasa diktator tersebut. Oleh karenanya dibenci atau tidak disukai oleh rakyatnya.
Lalu, mengapa rakyat tidak suka pada pemimpin? Sifat pemimpin yang baik itu seperti Rasulullah katakan, yakni amanah (menjalankan tugas, janji secara benar), tabligh (penyampai kebenaran), fathonah (cerdas, tidak plonga-plongo), sidiq (jujur, tidak suka berbohong, tidak licik dan tidak culas). Jika pemimpin memiliki karakter itu pasti akan disukai sebagian besar rakyatnya. Sebaliknya jika pemimpin itu suka berkhianat pada janji-janjinya, suka berbohong, bodoh, tidak jujur, culas, suka mengobral janji tetapi "mblenjani", tidak menepati janji lama, malah bikin janji baru pasti akan tidak disukai rakyatnya bahkan boleh rakyat akan menarik mandat darinya dengan melakukan aksi paling "parah" melakukan kudeta. Terhadap pemimpin ini wajib hukumnya muncul sikap kebencian, namun tidak mesti dinilai memicu radikalisme.
Ada relasi rakyat dengan pemimpin yang perlu diketahui saat pemimpin melakukan kesalahan. Apakah harus dikoreksi dengan cara lembut? Pengalaman membuktikan bahwa orang yang kasar dalam mengkritik itu bukan berarti membenci dalam pengertian peyoratif dan destruktif. Cara orang mengkritik juga tidak boleh diharapkan sama, semua halus, sopan dll. Penguasalah yang harus memahami gaya kritik rakyatnya dan tidak boleh mengartikannya sebagai sebuah kebencian, apalagi mengait-ngaikannya dengan radikalisme. Misal Habib Rizieq Syihab, Habib Bahar bin Smith, Egy Sujana, Faizal Basri, Marwan Batubara, Rizal Ramli. Mereka keras dalam kritik tetapi tidak ada kebencian peyoratif yang destruktif, melainkan kritik yang amelioratif dan konstruktif.
Radikalisme itu selalu diidentikkan melawan pemerintah. Apakah pernyataan tersebut benar?
Saya kira ini sebuah kesalahan berpikir sejak zaman penjajahan di negeri ini, yakni zaman Hindia Belanda yang menempatkan pemerintah dan rakyat berhadap-hadapan. Ini pola pikir yang menempatkan rakyat sebagai pihak lawan yang sewaktu-waktu dapat memberontak pemerintahan negara. Lalu untuk memudahkan identifikasi lawan ini dimunculkanlah upaya pembelahan (devide et impera) antara rakyat yang patuh pada penjajah dan rakyat yang melawan penjajah. Yang melawan kemudian dijuluki radikalis, ekstremis bahkan teroris.
Semua pergerakan nasional dulu juga dijuluki demikian. Anehnya, budaya penjajah itu masih dilestarikan para penguasa sekarang ini dengan mengidentifikasi orang-orang yang mengkritik kebijakan penguasa sebagai lawan yang kemudian dijuluki kelompok radikalis, apalagi kalau hal itu sudah menyangkut umat Islam. Banyak kasus, orang-orang yang mengkritik pemerintah dan istiqomah terhadap ajaran Islam dinilai sebagai orang yang terpapar radikalisme, bahkan ekstremisme yang oleh pemerintah dinarasikan sebagai bibit terorisme. Saya kira ini tidak fair bahkan kontraproduktif untuk menyatukan keragaman di negeri ini. Ini sebuah propaganda saja, karena masalah utama negeri ini bukan radikalisme melainkan ketimpanvan sosial. Ketimpangan sosial inilah yang memicu radikalismr bukan kebencian amelioratif dan konstruktif. Jika kebencian ini dikatakan oleh Gus Miftah sebagai pemicu radikalisme, maka boleh jadi Gus Miftah telah melahirkan jenis varian baru radikalisme. Hal ini akan menambah makin sensitifnya tuduhan radikalisme kepada rakyat yang melakukan "muhasabah lil hukam" yang dinilai penguasa sebagai sikap kebencian.
Jika kita sadar bahwa bangsa di negeri ini berbhinneka, beragam SARA dan konstitusi menjamin keyakinan agama dan kepercayaan pendududuknya, mestinya pemerintah tetap wajib menghormati perbedaan pendapat, keyakinan dan pelaksanaan keyakinan tersebut, kritikan tanpa tuduhan radikal radikul. Di sinilah pentingnya mendudukkan radikalisme secara jelas jenis kelaminnya. Sebagai negara hukum maka nomenklatur hukum harus lebih diutamakan dari pada nomenklatur politik yang seringkali hanya didasarkan pada kemauan rezim penguasa.
Sekali lagi saya katakan bahwa radikalisme bukan terorisme yang telah jelas sebagai delik "extraordinary crime" yang dipicu oleh kebencian amelioratif dan konstruktif. Radikalisme bukan problem utama negeri ini, melainkan ketimpangan sosial. Dan perlu diketahui bahwa kebencian bukan pangkal radikalisme melainkan ketimpangan sosial. Anda boleh bahkan wajib membenci kedzaliman, kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan ketimpangan sosial tanpa harus menjadi seorang radikalis yang jenis kelaminnya pun tidak jelas tersebut. Tabik.! []
Semarang, Selasa: 26 April 2022.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar