Klitih: Bukti Kerusakan Generasi dan Kegagalan Kapitalisme Mengembangkan Potensi Insani

TintaSiyasi.com -- Tanda kegembiraan berakhirnya pandemi dengan menuju endemi adalah kebolehan beraktivitas bebas dan berkerumun. Baik itu berkumpul untuk kebaikan maupun tidak. Awal bulan April 2022 seiring dengan bulan mulia datang yakni bulan Ramadhan ada fenomena merebak lagi yaitu klitih. Korban klitih berjatuhan tidak hanya dari 1 kota yakni Jogjakarta saja. Meski banyak di Jogjakarta tapi beberapa kota saat ini juga merebak fenomena klitih yang meresahkan. Seperti Solo, Semarang, Jakarta, Boyolali, dan seterusnya. Kemunculan klitih ini kembali setelah hiatus lama karena pandemi Covid-19 berawal karena kebolehan kumpul. Bulan Ramadhan identik dengan adanya agenda kumpul seperti buka bersama, ngabuburit, kebiasaan touring masjid untuk taraweh, membangunkan sahur, juga mencari makanan sahur. Tentu saja karena ini dilakukan di malam hari maka ini jadi titik poin adanya pertemuan kegiatan ini dengan geng klitih.

Benarkah ini hanya agenda pemerintahan daerah setempat, sebagaimana Jogja yang sudah membuat berbagai program pengatasan? Realisasi temuan fakta memang menonjol di DIY, seperti korban klitih Daffa yang ternyata anak DPRD Kebumen. Tapi menjadikan pemda setempat yang menanggulangi semua bukankah terlalu abai? Mengingat ini tidak hanya terjadi di DIY. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta berencana menyiapkan anggaran khusus untuk melaksakan program penanganan kejahatan jalanan atau ‘klithih’ dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Seperti dikutip dari HarianJogja.com, Senin (11/4/2022), program itu akan diusulkan pada APBD Perubahan 2022. Selain itu DIY juga berencana mendirikan sekolah khusus para pelaku klitih. Di tengah-tengah kegeraman masyarakat atas perilaku klitih yang dinilai merugikan dan mencitraburukkan masyarakat Jogja tentu langkah penanggulangan tersebut menuai pujian.


Riwayat dan Latar Belakang Munculnya Klitih

Istilah 'klitih' dalam beberapa tahun terakhir mulai bergeser ke makna yang terasa menyeramkan dan cenderung negatif. Awalnya, kata 'klitih' memiliki makna berjalan-jalan untuk santai atau mencari sesuatu yang bersifat positif. Istilah klitih merujuk kepada Pasar Klithikan Yogya. Secara etimologis klitih artinya ’killing time’ membunuh waktu dengan melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan klithikan.

Istilah 'nglithih' digunakan untuk menggambarkan kegiatan santai seperti jalan-jalan menghabiskan waktu luang atau leisure time. Budaya itu diadopsi oleh anak-anak pelajar, klitih sebelumnya dimaknai sebagai kegiatan untuk jalan-jalan ataupun keliling kota tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang. Namun, makna itu belakangan ini berubah sebagai aksi kekerasan jalanan dengan menyasar pengendara motor.

Pelaku klitih pun kini umumnya pelajar atau remaja. Mereka menyasar pengemudi sepeda motor di malam hari, sehingga memunculkan keresahan bagi masyarakat. Dikutip dari Health Liputan6.com, kriminolog Haniva Hasna, M,Krim, juga menjelaskan klitih lantas berubah menjadi perselisihan antar sekolah. “Awalnya klitih merupakan istilah untuk remaja yang keluar rumah tanpa tujuan, lalu sebelum 2012 klitih mulai berubah menjadi perselisihan antar sekolah.” (Health Liputan 6.com, 5/4/2022).

Para pelajar yang umumnya laki-laki mencari musuh dengan datang ke tempat nongkrong atau di jalan. Namun bila yang ditemui bukan dari sekolah sasaran maka kekerasan tidak akan dilakukan. Tetapi seiring berjalannya waktu, klitih berubah menjadi tindak kriminal kepada masyarakat umum. Pelaku klitih tidak lagi menyerang sekolah, tapi masyarakat secara umum dan acak. Hal itu yang membuat klitih saat ini dimaknai sebagai aksi kejahatan yang kebanyakan dilakukan remaja di jalanan pada malam hari. Fenomena klitih pun kini sudah mengarah pada kriminalitas.
 
Provokasi dianggap menjadi faktor yang memengaruhi seorang remaja melakukan aksi klithih. Provokasi itu dapat diperoleh oleh remaja di lingkungan sekolahnya. Aksi klitih saat ini pun muncul sebagai perilaku yang menyimpang dan juga berpotensi kejahatan lantaran dilatarbelakangi oleh keberadaan kelompok-kelompok remaja yang biasa disebut sebagai geng. Secara psikologis, kehadiran kelompok-kelompok atau geng ini memunculkan sebuah keinginan untuk diakui keberadaannya. Oleh karena itu, sangat relevan jika keberadaannya diimplementasikan dalam bentuk aktivitas fisik atau nyata sebagai ajang adu kekuatan. Salah satunya yakni dengan klitih.

Kebanyakan motif pelaku melakukan klitih adalah untuk balas dendam, rasa tidak suka, atau sekadar mencari-cari kegiatan sebagaimana makna asli dari klitih. Berbeda dengan begal yang merampas harta korban, pelaku klitih biasanya cukup puas melihat korban terluka. Mereka akan meninggalkan korban terkapar begitu saja. Itu mengapa para pelaku aksi klitih biasanya tidak segan melukai korban dengan cara membacok, memukul, atau menyerang menggunakan senjata tajam. Namun, klitih kini juga semakin berkembang ke arah perampokan karena ada barang korban yang dirampas. Yang lebih fatal, klitih juga dapat mengakibatkan korban kehilangan nyawa.

Budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an. Kekerasan yang dilakukan pelajar pada masa itu dilakukan oleh dua geng besar yang yaitu Qzruh dan Joxzin. Budaya klithih yang saat ini merebak pun sebenarnya juga sudah ada bibit cikal bakal dan mayoritas pengikutnya adalah generasi muda. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, "Klitih ini mirip teroris, harus diberantas sampai akarnya. Polisi harus menindak keras, tidak boleh kompromi." (Kompas.com, 6/4/2022). Pernyataan ini seolah hanya ungkapan kosong ketika pempus hanya diam dengan terjadinya kerusuhan.  Bahkan di Jakarta sendiri korbannya juga ada. 


Klitih Menjadi Perkara Berulang karena Sistem Kapitalisme 

Kenapa generasi muda tertarik klitih dan geng? Tentu saja alasan pilihan itu adalah faktor umur dan perkembangannya. Masa muda adalah masa penuh energi dan aktualisasi diri. Semangat menonjolkan diri dan minta diakui oleh orang sekitarnya. Dalam perkembangan sampai sekarang adakah aktualisasi diri ini difasilitasi dengan baik oleh negara? Jawabannya mungkin tergantung siapa orang tua dan keluarganya. Karena ajang mengasah kemampuan diri selain dunia pendidikan sungguh mahal.  Untuk sekolah saja orang tua harus merogoh kantong dalam-dalam apalagi untuk di luar itu.

Permasalahan klitih dan juga aksi kriminalitas anak lainnya bukanlah sesuatu yang ujug-ujug ada dengan sendirinya. Ini adalah imbas dari sistem sekuler liberalisme yang tengah mengangkangi negeri ini. Dicampakkannya agama (baca: Islam) dari kehidupan, bahkan pelan tetapi pasti mulai diamputasi dari sistem pendidikan, telah membentuk generasi bingung akan jati dirinya yang berujung nihilnya rasa takut pada Allah Sang Penguasa kehidupan. 

Akibatnya, mereka menjadikan hawa nafsu sebagai tolok ukur perbuatan. Para pelaku klitih seolah mewujudkan gharizah baqa’ rasa ingin berkuasa dan menguasainya dengan aksi kekerasan. Liberalisme yang mendewakan kebebasan juga telah membentuk generasi yang miskin rasa tanggung jawab. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa berpikir dampak perbuatannya sehingga dengan mudah menimpakan kesalahan pada pihak lain. Sering kali justru orang tualah yang harus menanggungnya. 

Negara malah memanfaatkan kekuatan generasi muda untuk melandingkan kebijakan investasi diwaktu muda agar menjadi crazy rich semuda mungkin. Lalu ditawarkan kebijakan generasi rebahan dimana diam pun bisa dapat uang. Demi mengambil suara muda pun diangkat stafsus kepresidenan yang awal -awal masa itu digunakan untuk bisnis pribadi start up, juga corong moderasi beragama. Sungguh miris potensi besar generasi pengampu peradaban ini hanya disalahgunakan dengan tidak bertanggung jawab. Akhirnya dunia muda (laki-laki) banyak diwarnai aksi kekerasan seperti tawuran, klithih dan dunia geng.

Hal ini pula yang menjadi dilema jika penanganan pelaku klitih diserahkan pada orang tua. Alih-alih anak patuh, orang tua yang justru bisa jadi korban kekerasannya. Bukankah telah banyak terjadi anak menyakiti, bahkan sampai membunuh orang tua karena keinginannya tidak dituruti?

Ditambah lagi dengan kegagalan dunia internasional memahami hakikat anak. Hukum internasional mendefinisikan anak adalah manusia yang berusia kurang dari 18 tahun dan tidak boleh ada sanksi pidana atas mereka. Hal ini telah membuat para penegak hukum gamang menjatuhkan sanksi yang menjerakan.

Padahal, definisi anak dalam hukum internasional tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Terbukti, yang berusia di bawah 15 tahun sekalipun telah banyak menjelma menjadi sosok tidak berbeda dengan orang dewasa. Suatu kesalahan besar ketika memosisikan mereka sebagai anak-anak yang setiap kesalahannya ditoleransi bahkan dibela.

Sekadar menerapkan Jaga Warga, Penyuluhan Berkala, ataupun memperbanyak CCTV di ruas-ruas jalan juga bukanlah solusi selama tiada sanksi menjerakan dan paradigma sekuler dan liberal masih melingkupi masyarakat. Satu hal lagi dunia muda memang butuh wadah yang itu harus sesuai dengan potensi mereka.


Kapitalisme Gagal, Haruskah Bertahan?

Dunia muda bukan tidak mungkin tanpa prestasi dan kebanggaan. Inilah yang saat ini harus dilihat dari peristiwa klithih. Selain aktualisasi diri sebetulnya mereka juga melakukan pelanggaran hukum, brutal dengan kekerasan. Tentu saja karena tidak hanya satu dua orang yang menyimpang maka dapat dipastikan ini adalah masalah sistemik. Dan sistem seperti apakah yang mampu meniadakan klithih dan dunia kekerasan muda itu? Setidaknya ada 3 syarat:

Pertama, sistem itu haruslah mampu memberikan batasan tepat tentang fase anak dalam kehidupan manusia. Hal ini penting agar perlakuan yang diberikan tepat sesuai perkembangan fisik dan psikisnya. Jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda balig bagi laki-laki adalah ihtilam (mimpi basah), sedangkan bagi perempuan adalah haid/menstruasi. Pada umumnya, anak laki-laki mengalami balig pada usia 12–15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9–12 tahun.

Menurut Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo dalam buku Fiqh Anak, secara terminologi, “balig” atau “al-bulugh” bermakna ‘habisnya masa kanak-kanak dan beralih menjadi dewasa’, yakni masa ia telah memiliki kelayakan mendapat tugas-tugas secara sempurna. Artinya, mereka sudah terkena taklif  (pembebanan) hukum; jika melanggar syariat akan berdosa dan jika menjalankan syariat akan mendapat pahala. Mereka telah bertanggung jawab atas segala perbuatannya, tidak bisa melimpahkannya kepada pihak lain. Baligh adalah hal pasti, tetapi akil (matang dalam pemikiran) bukanlah sesuatu yang instan. Fakta membuktikan, banyak orang yang sudah balig, bahkan berusia dewasa, tetapi sikapnya kekanak-kanakan. 

Kedua, memiliki seperangkat sistem pendidikan dan interaksi sosial yang mampu membentuk generasi bertakwa yang paham hakikat hidup, bertanggung jawab, dan mampu membawa kebaikan bagi dunia. Sistem pendidikan dalam Islam tentu saja tidak hanya pasrah pada pihak sekolah. Tapi adanya sinergi antara orang tua (keluarga), masyarakat dan sekolah.

Ketiga, memiliki sanksi hukum yang tegas, adil, serta memberikan efek jera bagi pelaku dan juga masyarakat. Islam sangat menghargai nyawa manusia. Tidak heran jika pelaku pembunuhan dikenai sanksi yang sangat berat. Sebagai gambaran, sanksi atas pembunuhan yang disengaja adalah dengan qishas (dibunuh pula), pembunuhan yang mirip sengaja (menggunakan alat tertentu dengan tujuan menyiksa atau menyakiti, tetapi ternyata korban meninggal) mendapat sanksi diyat (tebusan) 100 ekor unta (40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting), sedangkan pembunuhan tidak disengaja adalah membayar 100 ekor unta sebagai diyat.

Terkait keadilan hukum Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Pada zaman Rasulullah SAW, zaman di mana Islam diterapkan secara sempurna. Bukankah kita dapati para remaja dan kaum muda telah mengukir prestasi. Keberanian dan semangat yang tinggi dalam membela kebenaran. Misal Ali bin Abi Thalib, di masa usianya yang masih remaja berani menggantikan tidur Rasulullah SAW, yang ketika itu Baginda mendapat ancaman pembunuhan berencana dari kaum kafir Quraisy. Keberanian Ali pun ditunjukkan ketika terjadi perang khandaq, Ali meloncat dan siap tempur dengan melambaikan pedangnya. 

Subhanallah, remaja pemberani seperti Ali bin Abi Thalib tak lepas dari binaan dan pendidikan Baginda Rasulullah SAW. Lebih mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW daripada gemerlapnya dunia, bahkan dunia di jadikan wasilah cintanya kepada Allah SWT.

Bahkan para pengukir peradaban dunia Islam rata–rata di usia muda, mereka telah berprestasi dengan hafal Al-Qur’an maupun ribuan hadist. Sebut saja Abu Hurairah, Anas bin Malik, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah Bin Abbas, dan Jabir Bin Abdullah. Dan masih banyak lagi para remaja berprestasi pada zaman para khalifah hingga kekhilafahan Turki Utsmaniyah. Kita pun teringat, sosok Muhammad Al Fatih, pemuda pengukir sejarah yang dikenang sepanjang masa baik muslim maupun kafir.


Penutup

Latar belakang dan riwayat munculnya klithih sebenarnya adanya ruang aktualisasi diri yang menuntut pengakuan dan penyimpangan aktivitas sehingga merebak semakin lama semakin besar karena adanya efek pembiaran dan pemakluman.

Kapitalisme gagal mengenali dan mengaktualisasi diri generasinya kecuali pada yang diridhoi oleh penguasa dan rezim. Meski yang demikian tidak selalu baik. Dan adanya pemakluman karena definisi anak dan dewasa yang bias. 

Sistem Alternatif yang mampu mengatasi klitih adalah sistem yang memiliki definisi yang jelas batasan anak dan dewasa sehingga akan mampu mendapatkan taklif hukum dan hukuman jika melakukan pelanggaran hukum. Selain itu juga adanya pendidikan, pembinaan dan interaksi sosial yang sehat untuk mengarahkan idealisme generasi muda. Itulah sistem Islam dalam penerapan Khilafah Islamiyyah. Wallahi. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Retno Asri Titisari
Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar