TintaSiyasi.com -- Soal:
Bolehkah khilafah menjadi negara yang menganut mazhab tertentu atau mengadopsi hukum Islam di tengah-tengah masyarakat berdasarkan mazhab tertentu?
Jawab:
Jawabannya, tentu tidak boleh. Mengapa? Pertama, karena khilafah adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang bisa menjadi wadah bagi mereka, dengan perbedaan latar belakang paham keagamaan dan politiknya. Karena itu, secara syar‘i, khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia dalam rangka menerapkan Islam di dalam negeri dan mengemban Islam ke seluruh dunia. Khilafah juga akan menjadi pemersatu umat Islam dalam satu wadah. Dengan begitu, umat ini akan menjadi satu umat, satu negara, dan satu kepemimpinan. Dalam hal ini, Umar bin al-Khatthab pernah menyatakan:
]لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةً إِلاَّ بِالإِمَارَةِ وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِالطَّاعَةِ[
Tidak ada Islam tanpa jama'ah (kesatuan umat); tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan (khilafah); dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.
Artinya, dengan adanya imârah (kepemimpinan khalifah) itulah jamaah (persatuan dan kesatuan) kaum Muslim di seluruh dunia akan bisa diwujudkan. Nash Al-Qur'an juga menyatakan:
]إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ[
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. (QS al-Anbiya’ [21]: 92).
Kedua, bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib bersatu adalah perkara ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah. Hanya saja, kita juga tidak bisa menafikan bahwa umat Islam memiliki berbagai mazhab keislaman, baik dalam konteks akidah maupun hukum.
Keberagaman pemahaman ini merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan, karena dua faktor yang sama-sama dibenarkan oleh Islam; (1) faktor nash, yang berpotensi untuk dipahami secara berbeda; (2) faktor intelektual, yang berpotensi untuk memahami nash secara berbeda satu sama lain.
Dengan kenyataan ini, bukan berarti persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia tidak bisa diwujudkan. Kesatuan umat bisa diwujudkan kalau ada negara dan negara tersebut tidak berpihak pada mazhab tertentu, tetapi mengayomi semua mazhab, bahkan agama, etnik dan bangsa.
Fakta-fakta di atas hanya bisa diwujudkan jika negara khilafah dibangun berdasarkan akidah dan hukum Islam, bukan mazhab tertentu; baik dalam konteks akidah maupun hukum Islam. Ini artinya, negara tidak boleh mengadopsi pemikiran mazhab dan furû’ akidah tertentu. Karena dengan diadopsinya pemikiran mazhab dan furû’ akidah tertentu, berarti negara akan memaksa orang yang telah memeluk Islam untuk memeluk pemikiran akidah tertentu. Tentu ini lebih tidak boleh, karena memaksa orang kafir yang notabene belum memeluk Islam untuk memeluk Islam saja tidak boleh. Allah Swt. berfirman:
]لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ[
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam. (QS al-Baqarah [2]: 258).
Di samping itu, jika ini ditempuh oleh negara, maka kebijakan negara ini pasti akan menimbulkan haraj (kesulitan) di tengah-tengah kehidupan umat, sementara hal ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
]وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ[
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama. (QS al-Hajj [22]: 78).
Meski begitu, negara harus menjadikan akidah Islam secara umum sebagai landasan dan payung bagi semua mazhab atau furû’ pemikiran akidah tertentu. Negara juga dibenarkan, bahkan harus mengadopsi, dalil mana yang bisa dijadikan sebagai dalil akidah dan tidak.
Misalnya, negara harus menetapkan bahwa akidah hanya boleh diambil dari dalil-dalil yang qath’î, bukan dalil zhannî. Alasannya, kalau tidak ditetapkan seperti itu, umat Islam pasti akan terperosok ke dalam keharaman, yaitu membangun akidah berdasarkan zhann. Padahal akidah seperti ini jelas telah dilarang. Allah SWT. berfirman:
]إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ[
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka; mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS al-An‘am [6]: 116)[1]
Selain itu, dengan ditetapkannya dalil qath’î sebagai dalil akidah, maka negara juga bisa menjaga umat Islam dari konflik pemikiran secara terbuka dan sensitif bagi umat. Sebab, dari dalil-dalil zhannî-lah biasanya konflik tersebut dimulai.
Demikian halnya, seluruh pemikiran dan hukum yang kemudian menjadi undang-undang juga harus dibangun berdasarkan prinsip, bahwa semuanya itu merupakan pemikiran dan hukum Islam, bukan pandangan kemazhaban. Meski pada awalnya pemikiran dan hukum tersebut diambil dari mazhab fikih tertentu, ketika diadopsi oleh negara, negara mengadopsinya bukan sebagai pandangan mazhab fikih tertentu, melainkan sebagai hukum syari'at. Setelah itu, hukum tersebut akan menjadi hukum positif dan mengikat semua penganut mazhab. Dalam hal ini, kaidah syariat mengatakan:
لِلسُّلْطَانِ أَنْ يَقْضِيَ مَا يَحْدُثُ مِنَ الْمُشْكِلَةِ
Seorang penguasa (kepala negara) berhak menetapkan hukum berdasarkan kasus yang sedang terjadi.
Juga kaidah syariat yang menyatakan:
]أمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا[
Perintah seorang imam (kepala negara) wajib dilaksanakan, secara lahir dan batin.
Artinya, sekalipun banyak pandangan kemazhaban yang dimiliki oleh kaum Muslim dalam negara khilafah, namun dalam praktiknya, hukum positif yang berlaku adalah satu, yaitu hukum syariat Islam yang diadopsi oleh kepala negara. Itu pun semata-mata diadopsi karena hukum tersebut adalah hukum Islam.
Masalahnya adalah, apakah ini tidak akan mengganggu apa yang sebelumnya telah menjadi pegangan kaum Muslim? Maka, dalam hal ini, harus dibedakan antara menerapkan hukum, dan mengajarkan hukum. Dalam menerapkan hukum, hukum yang diterapkan harus satu, yaitu hukum yang diadopsi dan diterapkan oleh negara untuk seluruh rakyat. Tetapi, dalam pengajaran atau dakwah, adanya hukum lain, selain yang diadopsi oleh negara, tetap diperbolehkan. Karena itu, bisa saja mengajarkan atau mendak-wahkan hukum tertentu, sementara dalam pelaksanaannya, hukum positif yang diterapkan tetap merupakan hukum yang diadopsi oleh negara.
Karena itu, dengan negara tidak bermazhab, sehingga mazhab berkebang sedemikian rupa, tidak berarti bahwa tidak ada kepastian hukum di dalam negara. Karena, hukum yang diterapkan hanya satu. Tetapi, untuk tujuan dakwah dan pendidikan, negara tetap akan membuka diajarkannya hukum lain, selain yang diadopsi oleh negara.
Dengan begitu, negara akan tetap bisa mengayomi semua mazhab fikih, termasuk membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Umat Islam, termasuk para ulama dan intelektualnya, juga tidak akan kehilangan peluang untuk terus berkarya, menyampaikan dan mengembangkan mazhabnya. Inilah pelajaran yang bisa diambil dari sikap Imam Malik ketika menolak keinginan Khalifah Ja‘far al-Manshur untuk menjadikan kitabnya, al-Muwattha’, sebagai undang-undang yang diadopsi oleh negara. Penolakan ini tentu bukan karena beliau menolak formalisasi fikih atau syari'ah, tetapi beliau menolak untuk menjadikan khilafah sebagai negara mazhab Maliki.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
[1] Lihat juga nash-nash yang lain: QS an-Nisâ’ [4]: 158, al-An’âm [6]: 148, Yûnûs [10]: 36, Yûnûs [10]: 66, dan lain-lain.
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Ulama dan Khadim Ma'had Syarafaul Haramain
0 Komentar