TintaSiyasi.com -- Jelang siang itu, hari kedua lebaran, kami berbaring di atas kasur, kemudian istri saya berkata, “Duh, lebaran kemarin belum sempat cium tangan sama ayah.” Sambil kemudian mengambil tangan saya untuk ia cium sambil berkata, “Maafin kesalahan-kesalahan saya, ya?”
Saya tersenyum meski dalam hati sebenarnya malu, karena pernyataan itu seperti mengingatkan status saya sebagai suami, sahibul qawwam. Pemilik tampuk kekuasaan dalam rumah tangga. Dimana segala otoritas kekuasaan rumah tangga berada di tangan saya, kita, para suami. Nabi SAW bersabda:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang lelaki (suami) adalah penggembala di tengah keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya. (HR. Muttafaq alayh).
Ada alasan mengapa Nabi SAW menyebut penguasa dan juga suami sebagai penggembala. Dalam kehidupan masyarakat Arab yang menggembala ternak adalah kebiasaan mereka, menjadi seorang penggembala bukan pekerjaan yang hina. Menjadi penggembala butuh ketrampilan dan paling utama kepercayaan dari pemilik hewan gembalaan.
Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari saat menyebutkan bahwa seorang penggembala (ra’in) adalah penjaga yang dipercaya, yang harus memiliki kelayakan pada hal yang dipercayakan untuk ia jaga, maka ia dituntut untuk adil dalam perkara tersebut dan menjalankan kepentingan-kepentingannya.
Baik buruknya seorang penggembala ditentukan oleh sejauh mana ia bisa menjaga gembalaan yang diamanahkan padanya. Bila ia teledor, mengabaikan hewan-hewan gembalaannya, maka kepercayaan padanya akan hilang.
Dalam rumah tangga, suami adalah ra’in tersebut. Ia bertanggung jawab atas kemaslahatan setiap anggota keluarganya. Ia pun harus menjaga agar semua anggota keluarganya tidak terjerumus dalam kemungkaran, sebagaimana seorang penggembala harus menjaga domba-dombanya tidak meruyak masuk ke kebun orang atau tergelincir ke dalam jurang.
Ibarat badan, maka suami adalah bagian kepala. Ia mastermind semua aktivitas keluarga. Otaknya sehat, semua anggota badan juga sehat, aktivitas berjalan lancar. Tapi bila otak rusak, maka tak sulit berharap terjadi sinkronisasi semua anggota tubuh.
Istri bisa salah, begitu pula anak-anak, namun yang paling bertanggung jawab atas atas kesalahan itu adalah kepala, alias para suami. Ketika istri membangkang, harus suami yang meluruskan, bahkan yang berkuasa menjatuhkan talak pada istri ketika sudah tak lagi tunduk pada pemimpin mereka.
Kalau anak-anak berulah tak wajar, melawan pada orangtua, tak taat pada agama, lagi-lagi lelaki alias para suami/ayah yang punya kuasa untuk mendisiplinkan mereka. Mulai dari teguran hingga sanksi fisik bisa dijatuhkan.
Karenanya saya menjadi malu dan ngeri ketika istri dan anak-anak meminta maaf bila telah berbuat salah pada saya. Apa yang sudah saya perbuat sampai-sampai mereka melakukan kesalahan? Jangan-jangan saya penggembala yang buruk. Diam saja ketika satu persatu titipan dari Allah yang berada dalam kekuasaan saya melakukan kesalahan. Tak ada keteladanan, tausiyah atau teguran.
Rasanya tak pantas bila ada suami mengeluhkan kesalahan istri atau anak mereka, karena sebenarnya otoritas penegakkan aturan ada pada suami. Mengeluhkan keburukan istri, sama artinya mempermalukan diri sendiri. Bila memang istri atau anak melanggar aturan, Andalah yang harus menegakkan aturan. Bila memang tak paham aturannya kita bisa bertanya untuk kemudian melakukan eksekusi. Beda bila seorang istri mengeluhkan keburukan suami, itu wajar karena ia tak punya otoritas untuk menindak suami selain memberikan nasihat dan meminta bantuan pihak lain.
Jadi, jangan bangga dan bersenang hati bila istri meminta maaf, karena tanggung jawab terbesar dalam memikul kesalahan itu ada di pundak kita, para suami. []
Oleh: Ustaz Iwan Januar
Pakar Parenting Islam
0 Komentar