TintaSiyasi.com -- Pemilu serentak masih dua tahun lagi. Namun intriknya telah memanas. Salah satunya, aksi demo massa mengatasnamakan Front Persaudaraan Islam (FPI) pada Senin (6/6/2022) di Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Aksi yang diiringi pengibaran bendera FPI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini disebut mendukung Anies Baswedan (AB) sebagai presiden 2024. Anehnya, aparat tidak membubarkan dan justru mengawal aksi ini.
Dalam rilisnya, FPI menyatakan belum menentukan sikap terkait capres 2024 dan tidak melakukan aksi bertema apa pun, sehingga bila ada aksi mengatasnamakan FPI dapat dipastikan palsu. FPI melihat ada operasi intelijen hitam melalui metode false flag yang didesain untuk memainkan kembali narasi islamofobia dengan mendiskreditkan elemen umat Islam (republika.co.id, 7/6/2022). Adapun Eks Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto menduga itu sebagai agenda setingan dan black campaign. Pun ia tidak mengenal sosok yang mengklaim sebagai eks HTI di aksi tersebut (populis.id, 9/6/2022).
Intrik (KBBI) adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan. Sementara black campaign merupakan upaya untuk merusak lawan politik dengan cara memainkan propaganda negatif menjelang Pemilu. Keduanya merupakan aktivitas yang ‘lumrah’ dijumpai demi meraih kursi kuasa.
Sebuah keniscayaan dalam alam demokrasi yang meniadakan Tuhan (Allah) untuk mengatur soal pemerintahan. Kala kekuasaan menjadi tujuan, tak lagi sarana untuk mengatur kemaslahatan rakyat dan halal haram tak lagi diperhatikan.
Dari aksi FPI dan HTI palsu ini juga tercium aroma busuk perang antiradikalisme yang tak henti dilancarkan pada elemen umat Islam. Tak salah jika FPI menyebut bernarasi islamofobia. Tentu bukan ketidaksengajaan ‘memasang’ nama FPI dan HTI sebagai ormas yang telah dibubarkan dan dicap radikal untuk mendukung sosok AB sebagai capres 2024. Sungguh, sebuah permainan politik yang culas.
Demo Palsu: Politik Kotor Beraroma Islamofobia
Ormas FPI dan HTI sudah dicabut badan hukumnya, jadi secara nalar tidak mungkin melakukan kegiatan atas nama FPI dan HTI. Ada kemungkinan lain yaitu FPI Reborn dan HTI Reborn. FPI Reborn itu Front Persaudaraan Islam, sedangkan HTI tidak ada reborn.
Ada klarifikasi juga dari pelaku demo bahwa ia dijebak seseorang seolah itu aksi FPI Reborn. Kesimpulannya, aksi tersebut bukan FPI Reborn melainkan FPI abal-abal.
Aksi ini tentu merugikan ormas yang dicatut namanya karena menimbulkan perspektif negatif dukungan terhadap AB oleh FPI dan HTI. Dinarasikan bahwa AB didukung oleh dua ormas Islam yang telah dicabut badan hukumnya dan sering disebut sebagai ormas radikal. Dikesankan bahwa dengan dukungan ini, AB adalah sosok radikal juga sehingga tak layak memimpin negeri ini.
Sebuah skenario kental bernuansa islamofobia, mengingat kedua ormas ini begitu lantang menyuarakan penegakan syariat Islam dalam bingkai negara. Karena itulah berbagai tindakan dilancarkan terhadap keduanya. Dari kriminalisasi aktivisnya, membubarkan ormasnya dan diawasi sampai saat ini, monsterisasi ajaran khilafah, melarang tampil berdakwah di televisi dan mengikuti Pemilu, hingga paling tragis misteri terbunuhnya enam laskar FPI di KM50 Tol Jakarta-Cikampek. Terakhir memfitnah FPI dan HTI terlibat aksi dukung AB sebagai capres 2024.
Jelaslah bahwa ini merupakan black campaign karena secara formal HTI dan FPI tidak menyatakan dukungan tersebut. Sekaligus mendeskreditkan AB, FPI, dan HTI. Mereka diopinikan sebagai sosok dan kelompok radikal yang tidak hanya tak layak memimpin, juga berbahaya bagi negeri ini.
Secara hukum, ada konsekuensi jika seseorang atau kelompok membuat opini palsu dengan demonstrasi palsu. Demonstrasi tidak mungkin dilakukan ujug-ujug. Pasti ada dokumen yang dapat dilacak. Dari sini bisa dibuktikan adakah pemalsuan dokumen yang menyebabkan kerugian pihak tertentu. Kerugian itu bisa secara immateriil dan materiil. Kalau ada dan bisa dibuktikan, maka bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan fitnah (310, 311 KUHP) serta pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP).
Atas aksi palsu ini, semua menerkanya sebagai intrik politik. Dalam perspektif hukum, aktor politiknya dapat ditindak. Namun penanganannya serius atau tidak, tidak ada yang mampu memastikan. Jadi boleh dibilang, tidak optimis pelaku akan ditindak.
Realitasnya, kontestasi calon presiden untuk Pemilu tahun 2024 telah berlangsung. Intrik-intrik politik telah direkayasa dan nampaknya sengaja dilakukan untuk sekadar test water oleh petualang politik. Dalam perspektif hukum di negeri ini, setiap strategi politik apapun sepanjang tidak melanggar ketentuan pidana sah-sah saja. Namun persoalannya sebenarnya tidak sebatas hukum, melainkan dari sisi moral dan agama. Hendaknya berpolitik juga dibingkai oleh norma moral dan agama sehingga terdapat kemuliaan politik, bukan kekotoran yang selama ini disematkan terhadap aktivitas politik.
Dengan intrik membabi buta, terkesan kasar sekali permainan politik di negeri ini, jauh dari wajah negara berkemanusiaan yang adil dan beradab. Lebih berwarna machiavelisme, menghalalkan segala cara. Menggambarkan betapa rendahnya moral dan peradaban bangsa. Memfinah dan merekayasa sepertinya menjadi hal biasa. Diketahui oleh masyarakat pun tidak membuat bersalah, malu, apalagi berdosa.
Ini menjadi sederet bukti praktik politik dalam naungan sistem demokrasi, sistem politik yang lahir dari rahim sekularisme. Akibat asas sekuler, politik demokrasi tak mengenal halal haram. Politik didefinisikan hanya sebagai cara meraih kursi kuasa. ‘Wajar’ jika dalam kontestasi terjadi berbagai politik kotor: intrik, kampanye hitam, demi mendapatkan kekuasaan sebagai puncak kebanggaan sekaligus sarana meraih duniawi.
Berkelindan dengan kapitalisme, manfaat dan uang menjadi poros aktivitas politik. Siapa yang bermodal raksasa, dia berpeluang menang atau mempengaruhi hasil kontestasi.
Demokrasi juga membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apa pun termasuk agama. Dalam demokrasi, ahli maksiat dan penentang hukum Allah sama-sama bisa duduk di tahta kuasa. Pemimpin terpilih menjalankan hukum buatan manusia. Terbuka peluang besar untuk bertindak suka-suka kami (SSK).
Maka menyitir perkataan Rizal Fadilah, kiranya perlu segera diusut biang keladi aksi dukungan palsu tersebut. Harus dibuktikan bahwa aksi tersebut bukan rekayasa institusi resmi, tapi kerja kelompok yang ingin mengacaukan negara dengan jalan fitnah dan adu domba. Jika buzzer yang berteriak serempak atas aksi ini harus dicek juga, apakah mereka ikut terkecoh atau memang menjadi bagian dari rencana jahat untuk mendeskreditkan FPI, HTI, dan AB?
Dampak Intrik Politik dengan Black Campaign Radikalisme FPI dan HTI bagi Publik
Polri mulai mendeteksi eskalasi black campaign jelang tahun politik 2024 meningkat mulai tahun ini. Prediksi Polri ini lahir setelah berkaca dari tahun politik sebelumnya. Berkaca dari tahun 2019, banyak terjadi perang informasi, perang survei, politik identitas, hoaks, negative campaign, hingga black campaign.
Istilah black campaign memang kerap muncul di masa Pemilu maupun Pilpres. Kampanye hitam diartikan juga sebagai menuduh pasangan calon atau kelompok lawan politik dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Kampanye hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter seseorang dan mengarah pada tindak pidana.
Intrik politik dengan black campaign radikalisme FPI dan HTI dalam aksi dukungan abal-abal terhadap AB akan berdampak pada publik antara lain:
Pertama, menggiring publik pada opini negatif radikalisme.
Opini busuk ini nampaknya terus dipelihara untuk menanamkan teror pada masyarakat hingga masyarakat percaya dan menjadi resah karenanya.
Kedua, berpotensi menimbulkan perpecahan.
Setiap kubu memiliki opini dan perspektif berbeda atas berita yang beredar. Ini akan menimbulkan perdebatan dan berujung pada perpecahan satu sama lain dan mengganggu kestabilan masyarakat.
Ketiga, publik mendapatkan edukasi politik yang buruk.
Bagi masyarakat yang kurang literasi dan berpikiran sempit akan menganggap itu sebagai kewajaran sehingga ia bersedia terlibat dalam proses sejenis. Sebaliknya, kalangan yang cerdas justru kian muak dengan praktik politik culas itu.
Keempat, publik terutama pengguna media sosial memerlukan literasi agar tidak mudah terpancing intrik politik dan black campaign.
Literasi ini diperlukan dalam rangka meluruskan informasi hingga konten berita lemah verifikasi dari sumber yang menyebabkan kemunculan hoaks atau black campaign di kalangan masyarakat.
Kelima, melanggengkan praktik keji ala Machiavelli.
Intrik politik yang terus-menerus berjalan akan melanggengkan praktek politik brutal hingga masyarakat beranggapan sebagai hal biasa. Lebih berbahaya lagi bila orang sampai menganggap tak ada cara selain itu untuk meraih target politiknya.
Keenam, masyarakat menjadi apolitis dan apatis.
Kotornya cara berpolitik membuat masyarakat enggan mendekat dan menjadi sosok apolitis. Menganggap semua pelaku politik sama buruknya.
Ketujuh, memalingkan pada pemaknaan politik yang salah.
Publik terjebak pada memaknai politik sebatas aktivitas meraih kekuasaan saja yang boleh dilakukan dengan cara apa pun.
Demikian beberapa dampak buruk pada publik atas black campaign radikalisme FPI dan HTI dalam aksi dukungan abal-abal terhadap AB. Lebih jauh, berbagai dampak ini akan kian menjauhkan umat Islam dari gambaran dan praktik politik mulia ala Islam.
Dalam pandangan Islam, politik itu mulia karena upaya mengatur urusan umat (masyarakat). Kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Masifnya black campaign akan meniadakan gambaran politik Islam.
Strategi Membangun Elektabilitas Calon Pemimpin dengan Kemuliaan Politik Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), elektabilitas bermakna kemampuan atau kecakapan untuk dipilih menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan. Menurut Dendy Sugiono, arti elektabilitas ialah ketertarikan seseorang dalam memilih. Merupakan istilah serapan dari Bahasa Inggris yaitu “electability” yang artinya keterpilihan.
Pada umumnya, untuk meningkatkan elektabilitas orang atau lembaga, maka ia harus populer dan memenuhi kriteria keterpilihan, misalnya: dikenal baik oleh masyarakat luas, terbukti memiliki kinerja baik, berprestasi di bidang tertentu, dan memiliki rekam jejak positif di bidangnya.
Dengan kata lain, ia memiliki trust (kepercayaan) dari rakyat untuk dipilih. Maka, membangun kepercayaan rakyat adalah hal yang tak hanya strategis tapi juga sebuah keniscayaan agar calon pemimpin memiliki elektabilitas tinggi sehingga layak memimpin dan mendapatkan ketaatan dari pihak yang dipimpinnya.
Bagi seorang Muslim, Rasulullah SAW merupakan role model kepemimpinan sepanjang masa. Apalagi Allah SWT telah mengutus beliau sebagai uswatun hasanah (sebaik-baik teladan). Jika kita ingin mewujudkan pemimpin yang memiliki elektabilitas tinggi, yang dicintai rakyat dan mereka pun mencintai rakyat, maka ikutilah model kepemimpinan beliau.
Gaya kepemimpinan Rasulullah SAW dalam perspektif Islam antara lain:
Pertama, beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Keimanan inilah yang membuatnya menjadikan urusan kepemimpinan sebagai salah satu sarana beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, berparadigma bahwa penguasa adalah pelayan umat, bukan dilayani.
Sebagai khadim, bertugas memenuhi kebutuhan mendasar dan mengatur kepentingan rakyat.
Ketiga, berkarakter shiddiq (jujur), tabligh (aktif dan aspiratif), amanah (terpercaya), dan fathonah (cerdas).
Keempat, tidak otoriter.
Sering membuka ruang diskusi/musyawarah dengan berbagai kalangan, sebagai masukan untuk membuat kebijakan dan memecahkan problem kemasyarakatan.
Kelima, berintegritas tinggi.
Selaras antara tutur dengan tindakan. Tak hanya memerintah, juga memberikan teladan melakukan.
Keenam, bersikap adil dalam penegakan hukum dan memberantas kezaliman.
Tidak mudah dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Berpandangan bahwa hukum berlaku untuk semua. Tidak boleh ada privilese dalam penerapan hukum, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Namun, sosok pemimpin yang memiliki elektabilitas tinggi hanya akan terwujud dalam sistem politik yang mendukungnya. Sebagaimana Rasulullah SAW, para sahabat, dan pemimpin-pemimpin Islam terdahulu. Mereka mewujud sebagai sosok pemimpin Muslim yang luar biasa atas dukungan dan fasilitas sistem Islam.
Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan para pemimpin yang tak hanya shalih, tapi juga handal mengatur urusan umat. Sekaligus menjaganya untuk senantiasa dalam jalur kebaikan. Semoga kita bisa mewujudkannya dalam waktu yang tak lama lagi.
Cukuplah sabda Rasulullah SAW berikut ini sebagai pengingat, "Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya." (HR. Bukhari)
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar