Bikin geram, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mempertanyakan alasan Polri yang tetap mempertahankan Raden Brotoseno. Politisi Gerindra ini mengkritisi, apa parameter prestasi dan berkelakuan baik Brotoseno, sehingga dipertahankan di tubuh kepolisian. Jika memang berkelakuan baik, baik untuk siapa? Apakah berkelakuan baik untuk rakyat atau siapa?
Mencla-mencle. Kondisi hukum yang obscure (lentur) seperti kasus Brotoseno memang sudah menjadi wajah demokrasi. Sebagaimana yang pernah terjadi tahun lalu soal diskon vonis hukuman untuk jaksa Pinangki. Begitu juga pembebasan 300 napi koruptor, narkoba dalam lapas saat masuk era pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Hal ini tidak sebanding dengan tindakan-tindakan hukum pada terduga teroris atau kasus-kasus kriminalisasi yang menimpa aktivis dan ulama. Belum juga terbukti sudah ditangkap atau ditembak mati.
Padahal, korupsi terkategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa. Tetapi, hukum seolah-olah tidak memposisikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa? Mengapa ini bisa terjadi?
Hal itu bisa terjadi karena beberapa catatan berikut. Pertama, patut diduga hukum dalam demokrasi kapitalisme bersujud pada uang. Keadilan menjadi barang mahal dan langka bukan karena susah dibeli tetapi karena hukum diperjualbelikan. Siapa punya kuasa, punya kepentingan, punya uang, ia bisa membuat hukum.
Kedua, patut diduga hukum di tangan penegak hukum hanyalah sandiwara dan berpotensi berevolusi menjadi kasus yang melibatkan persekongkolan banyak pihak kepentingan. Korupsi sebenarnya adalah kejahatan berkelompok. Tetapi, pada faktanya yang jadi tersangka hanya segelintir atau satu orang. Padahal, itu kejahatan sistematis melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Win-win solution antara koruptor kelas kakap dan teri, akhirnya kelas terinya yang dikorbankan. Padahal, di balik itu siapa tahu?
Ketiga, sistem demokrasi kapitalis berpotensi besar mencetak koruptor. Menciptakan pemimpin yang tidak amanah, fobia Islam, dan hanya mengejar kepentingan politik masing-masing, inilah sejatinya demokrasi. Sampai kapan pun, jika sistem yang diterapkan masih demokrasi, korupsi akan terus mendapatkan amunisi. Jangankan berkurang, dimungkinkan akan dicari banyak pembenaran untuk melegalkan korupsi, yakni, perampokan ekonomi rakyat secara sistematis ini.
Oleh karena itu, masalah korupsi ini bukan masalah biasa.
Jika dikatakan korupsi ini bahaya laten, karena korupsi ini dijamin oleh
demokrasi itu sendiri. Memang yang digadang-gadang demokrasi adalah dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi, pada faktanya dari duit, oleh
duit, dan untuk duit. Lebih parahnya lagi, jika dari rakyat, untuk penguasa,
dan oleh pengusaha. Walhasil, demokrasi hanya omong kosong. Keadilan hanya lipstik
kezaliman yang sistemis. Dan korupsi adalah permasalahan sistematis dan butuh
solusi sistemis. Mau dihukum seberat apa pun koruptor bisa lolos dari jerat
hukum demokrasi karena pangkal masalahnya ada dalam sistem itu sendiri. Tidak
ada jalan lain selain memperbaiki sistem, yakni mengubah sistem rusak demokrasi
dengan sistem adil dari Yang Maha Adil. Wallahu'alam.[] Ika Mawarningtyas
0 Komentar