TintaSiyasi.com -- Sebagai mana diketahui, ada dua sistem hukum modern dunia, yaitu:
Pertama, sistem hukum Civil Law (Continental): hukum berpusat pada Undang-Undang. Hakim hanya corong Undang-Undang (la bouche de la loi).
Kedua, sistem hukum Common Law (Anglo Saxon): hakim dapat menciptakan hukum (Judge Made Law).
Indonesia lebih condong kepada Civil Law tetapi juga membuka diri ke Common Law dengan dasar: Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat."
Jadi penyelesaian perkara tidak boleh 100 persen hanya didasarkan pada bunyi teks UU melainkan nilai2 serta kearifan lokal (local wisdom) pun dapat dijadikan basis penyelesaian suatu perkara sehingga tidak semua perkara hukum khususnya pidana berakhir di penjara. Tingkat hunian penjara dan rutan kita sudah over capacity. Kondisi ini akan bersifat multiflier effect. Maka, cara yang ditawarkan adalah:
(1) Membuka ruang untuk penyelesaian perkara pidana lewat jalur di luar criminal justice system sejak perkara diselidiki di tingkat kepolisian, atau pun penghentian penuntutan di oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Membuat lembaga tersendiri yang kalau di Australia disebut: Neighbourhood Justice Center (NJC) sebagai tempat untuk warga masyarakat menyelesaikan perkaranya di luar peradilan negara.
Kedua cara tersebut bisa diwadahi dalam konsep restorative justice system.
Agar hasil yang dicapai dari kedua cara tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum, keduanya harus terhubung dengan lembaga negara resmi yaitu pengadilan untuk menerbitkan penetapan pengadilan.
Negeri Belanda yang dikenal minus narapidana di penjaranya saya yakin bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yang mengandalkan pada offender oriented melainkan telah bergeser ke victim oriented dengan cara mengutamakan pemulihan keadaan (restorasi) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada voluntary principle.
Secara ideologis kita punya pancasila yang kaya akan nilai ketuhanan, kekeluargaan, kemanusiaan dan musyawarah mufakat, tetapi mengapa hingga kini kita lebih gandrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Berapa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk membiayai penjara yang sudah over capacity ini? Mau terus melakukan pemborosan keuangan yang besar itu? Tidak bukan? Maka Restorative Justice System adalah solusinya.
Restorative Justice Sebagai Dasar Penutupan Perkara oleh Jaksa
Kita warga negara Indonesia khususnya perlu menyambut gembira terhadap kebijakan baru terkait dengan Penutupan Perkara oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Agung Burhannudin menerbitkan peraturan kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ditinjau dari sisi politik hukumnya, beberapa pertimbangan yang menjadi dasar hukum diterbitkannya Peraturan Jaksa 15/2020 adalah:
1. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan berkomitmen untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
2. Penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana;
3. Jaksa Agung bertugas dan berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk
penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Apa itu Keadilan Restoratif?
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Kapan Jaksa Dapat Menutup Perkara Pidana?
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal:
Pertama, terdakwa meninggal dunia;
Kedua, kedaluwarsa penuntutan pidana;
Ketiga, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
Keempat, pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau
Kelima, telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Tata Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan
Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada dapat dilakukan dengan ketentuan:
Pertama, untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
Kedua, telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Syarat Perkara Tindak Pidana Dapat Ditutup Demi Hukum dan Dihentikan Penuntutannya Berdasarkan Keadilan Restoratif:
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari
Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
4. Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada angka 1 disertai dengan salah satu angka 2 atau angka 3 pada uraian sebelumnya.
5. Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud angka 3 dapat dikecualikan.
6. Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada angka 2 dan angka 3 dapat dikecualikan.
Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
1. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
a. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban;
b. Mengganti kerugian korban;
c. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau
d. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
Dalam hal disepakati korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dapat dikecualikan.
2. Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
3. Masyarakat merespon positif.
Perkara yang Dikecualikan Penutupan Perkara
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
1. Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
2. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
3. Tindak pidana narkotika;
4. Tindak pidana lingkungan hidup; dan
5. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Strategi Kejaksaan dalam penegakan hukum melalui penutupan perkara demi kepentingan hukum memang patut diapresiasi sebagai langkah progresif karena selama ini khususnya untuk delik biasa seolah tidak ada ampun meskipun para pihak telah menyeleselaikan perkara pidana itu di luar pengadilan. Misalnya dalam hal tindak pidana penggelapan.
Beberapa kasus pernah saya teliti ternyata oleh karena tidak adanya "cantolan hukum", jaksa penuntut umum tidak berani untuk mengambil inisiatif menutup perkara dengan alasan deliknya adalah delik biasa. Jadi, meskipun para pihak pelaku dan korban sudah menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan cara pemulihan keadaan, Jaksa tetap melakukan penuntutan terhadap terdakwa.
Penutupan Perkara Berbasis Restorative Justice Tetap Belum Sistemik
Peradilan pidana mempunyai sistem yang dikenal dengan SPP, yakni Sistem Peradilan Pidana yang berisi due process of law perkara mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pembaga Pemasyarakatan. Seharusnya Keadilan restoratif dapat dipakai sebagai sarana untuk menutup perkara pada setiap jenjang peradilan.
Jadi, seharusnya Peraturan Jaksa 15/2020 ini segera diikuti dengan Peraturan Kapolri dan Peraturan Mahkamah Agung sehingga ada keterpaduan (integrated) penyelesaian perkara pidana. Polisi dapat mengentikan penyelidikan dan penyidikan ketika para pihak telah menyelesaikan perkaranya di luar pengadilan secara sukarela. Dalam kepolisian juga dikenal ada penyelesaian perkara melalui Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), baik untuk delik biasa maupun delik aduan.
Pengadilan seharusnya juga segera diberikan wewenang untuk menutup perkara ketika para pihak telah menyelesaikan perkaramya di luar pengadilan. Oleh karena itulah kita harus terbiasa dengan budaya hukum baru bahwa keadilan itu tidak harus diperoleh melalui beracara di pengadilan melainkan di ruang-ruang lainnya (justice in many rooms).
Persoalan lain akan muncul, khususnya terkait dengan delik di mana pihak yang berkepentingan adalah antara pemerintah dengan warga negara. Mungkinkan demi kepentingan hukum, perkara-perkara politik dapat pula dilakukan penutupan perkara pada tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan? Kriteria apa saja yang harus dipenuhi untuk penutupan perkara itu? Hal ini menjadi penting karena seringkali Pemerintah terkesan bertindak represif dalam penanganan tindak pidana politik sementara kita telah mendeklarasikan sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan negara yang demokratis.
Tabik...!!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar