TintaSiyasi.com -- “Bungkus N!ght Vol. 2. Beyond your wildest se#petation. Datang dan Bungkus Mana Aja yang Lo Suka!” Demikian narasi flyer sebuah acara di Hamilton Spa dan Massage, Jumat (24/6/2022) yang menghebohkan warganet. Acara pesta ini berkonsep disko yang menampilkan wanita mengumbar aurat. Berdasar keterangan kepolisian, bungkus di sini yang dimaksud adalah hubungan badan alias hubungan intim. Pesta ini disebut terkategori kejahatan prostitusi. Bungkus N!ght Vol. 1 pernah digelar pada Maret 2022 (tvonenews.com, 20/6/2022).
Meski polisi berhasil membongkar praktik prostitusi terselubung berkedok Bungkus N!ght ini, namun siapa yang bisa menjamin pesta cabul ini tak terulang lagi? Pun membuat kapok para pelaku bisnis prostitusi terselubung lainnya. Miris, bisnis bejat ini justru marak di negeri yang memproklamirkan diri sebagai religious nation state.
Sebelumnya, polisi juga membongkar prostitusi berkedok salon kecantikan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (4/4/2022). Di Padang, Sumatera Barat, polisi mengungkap praktik pelacuran berkedok salon, Jumat (14/1/2022). Pelacuran terselubung juga banyak ditemukan di berbagai kota lainnya berkedok bisnis kafe, tempat fitness, panti pijat, spa, dan salon kecantikan.
Praktik prostitusi telah berlangsung lama, setua usia manusia. Di Indonesia, perilaku bejat ini banyak ditemukan, baik yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pelacur yang menjajakan dirinya demi memenuhi nafsu hidung belang, dari belia hingga nenek-nenek merenta. Merebaknya bisnis prostitusi terselubung mengisyaratkan ini bukanlah problem klasik nan kasuistik, namun perkara sistemis.
Sebuah keniscayaan di tengah bergulirnya sistem hidup liberalisme kapitalistik saat ini. Kala manusia dijauhkan dari nilai-nilai agama, dididik dengan paham kebebasan nyaris tanpa batas, dan menempatkan materi (uang) sebagai tolok ukur kesuksesan, maka perilaku keji ini akan terus terjadi. Tujuan hidup tak lagi menghamba pada Sang Pencipta, tapi yang pertama adalah uang, kedua duit, ketiga dana. Hingga idealitas membentuk masyarakat religius berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa (Allah SWT) bak jauh panggang dari api.
Bisnis prostitusi Marak dalam Sistem Liberalisme Kapitalistik nan Rusak
Prostitusi merupakan praktik ilegal yang melanggar hukum di Indonesia. Namun negeri ini justru dipandang sebagai salah satu destinasi wisata s3ks karena memiliki jumlah pelacur yang cukup banyak. Bahkan Indonesia termasuk lima negara destinasi wisata s3ks terpopuler di dunia. Hal ini membuktikan bahwa praktik prostitusi di Indonesia masih menjamur.
Praktik prostitusi di Indonesia bukan hal mudah untuk diberantas. Apalagi belakangan ini praktik tersebut berkembang pesat dengan sistem online. Kementerian Sosial pada 2018 lalu menyatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah lokalisasi paling banyak di dunia. Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengungkapkan, estimasi jumlah pelacur perempuan di Indonesia mencapai kisaran 230.000 orang pada 2019. Dikutip dari situs komnasham.go.id, jumlah tersebut cukup besar dan belum termasuk pelacur pria dan transgender (okezone.com, 22/12/2021).
Prostitusi di Indonesia secara riil nampak di kompleks bordil atau lokalisasi. Bordil ini dikelola berdasarkan peraturan pemerintah setempat. Adapun selainnya, banyak praktik prostitusi terselubung yang bersembunyi di balik kegiatan bisnis seperti salon kecantikan, spa, dan tempat pijat. Tentu tak mudah untuk mendata jumlah sesungguhnya dari jenis kebejatan ini.
Ada beberapa faktor penyebab maraknya bisnis prostitusi terselubung ini:
1. Buruknya perekonomian negara. Harga-harga kebutuhan hidup terus naik, lapanga n kerja kian sempit, membuat orang melakukan apa pun demi bertahan hidup. Tak peduli halal-haram, yang penting perut kenyang dan hati senang. Terlebih sejak Covid-19 mewabah, transaksi seksual menjadi pilihan di tengah belitan ekonomi.
2. Terjerat gaya hidup hedonis nan instan dan demi kesenangan. Godaan meraih materi dan kekayaan dengan cara cepat dan tidak terlalu bersusah-payah, membuat pengelola bisnis esek-esek dan pelacur menikmati aktivitas bejat ini. Bagi si pelanggan, ini adalah sarana for having fun demi meraih kepuasan memenuhi hasrat seksual dengan cara ‘praktis.’
3. Adanya pola pemaksaan dan penipuan. Para perempuan muda dari pedesaan dan kota-kota kecil ditawari peluang kerja di kota besar. Namun setibanya di kota itu, mereka dipaksa melacurkan diri demi menghasilkan uang bagi mucikari.
4. Tak ada sanksi tegas bagi mucikari dan pelacur. Meski telah tersedia jerat hukum berupa pidana kurungan paling lama satu tahun bagi mucikari, namun realitasnya tak mampu menghilangkan bisnis bejat ini. Apalagi tidak ada pasal atau ketentuan khusus yang dapat memidanakan pelacur. Jadilah praktik ini selalu eksis.
5. Pengelola merasa aman berlindung di balik bisnis yang ditampakkannya. Rerata mereka menjalankan praktik prostitusi bersembunyi di balik aktivitas bisnis. Sehingga banyak orang mengira aktivitasnya baik-baik saja, tak merisaukan masyarakat.
6. Diduga di-backing oleh aparat. Di beberapa tempat, masyarakat setempat tak bisa berbuat banyak untuk melarang atau menolak karena praktik prostitusi tersebut diduga di-backing oleh aparat. Sebagaimana prostitusi berkedok kafe di sebuah wilayah di Palembang. Warga telah melapor kepada aparat kepolisian dan camat, namun tak pernah ada razia penertiban (republika.co.id, 6/6/2009).
Bila ditelisik, maraknya bisnis prostitusi terselubung dan pelanggaran seksual lainnya ialah akibat penerapan liberalisme kapitalistik. Sebuah sistem hidup yang lahir dari rahim sekularisme, ideologi yang mengabaikan ajaran agama (Islam), dan menempatkannya sebatas aspek ritual saat manusia berhubungan langsung dengan Tuhannya. Sementara dalam ranah publik saat seseorang bergaul dengan lawan jenis, bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membuat aturan sendiri untuk memandu aktivitas di seluruh lini kehidupan.
Akibatnya, manusia merasa bebas mengekspresikan keinginan dan syahwat serta bertindak sesukanya, meski bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. Kala hasrat seksualnya bergejolak, karena tak terikat hukum agama, ia bebas melampiaskannya kepada siapa pun, kapan pun ia kehendaki, dengan cara apa pun, serta di mana pun tempatnya.
Pemikiran kapitalistik juga mengajari manusia bahwa tujuan hidup adalah mengejar kesenangan material dengan manfaat sebagai tolok ukur perbuatan, bukan halal haram. Berprinsip ekonomi sekecil-kecilnya upaya demi meraih hasil sebanyak-banyaknya, menjadikan mereka berdaya pikir pragmatis dan berperilaku hedonis.
Tuhan mereka adalah materi. Hidup menghamba pada materi. Makna kebahagiaan ialah kala mendapatkan sebanyak-banyaknya materi.
Ideologi sekularisme menjadikan generasi Muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam hakiki. Terlebih dengan makin gencarnya upaya Barat melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan ke dunia Islam. Kaum Muslimin makin jauh dari Islam, baik pemikiran maupun hukum-hukumnya.
Jika kita mau jujur, maraknya bisnis esek-esek terselubung dan pelanggaran seksual lainnya merupakan cermin kegagalan bangunan sosial politik berbasis sekularisme liberalistik kapitalistik. Pun rapuhnya tatanan moral masyarakat akibat tidak adanya standar baku pengatur tingkah laku manusia.
Bisnis prostitusi Berbalut Bungkus N!ght Bertentangan dengan Hukum Negara dan Agama
Di Indonesia, prostitusi (termasuk bisnis prostitusi berbalut Bungkus N!ght) merupakan kejahatan terhadap kesusilaan, moral, dan perbuatan melawan hukum. Ditinjau dari hukum negara, prostitusi dipandang sebagai sebuah perbuatan yang melanggar kaidah hukum pidana. Di dalam KUHP Pasal 296 jo. Pasal 506 diatur tentang Prostitusi.
Pasal 296 berbunyi: “Barangsiapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
R. Soesilo dalam buku berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" menjelaskan bahwa pasal ini menjerat kepada orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran. Pasal ini menjelaskan, pidana penjara diberikan bagi orang-orang yang pekerjaannya sengaja mengadakan perbuatan cabul oleh orang lain dengan pihak ketiga.
Adapun Pasal 506 berbunyi, “Barangsiapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
R. Soesilo menjelaskan, mucikari adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya.
Dalam ketentuan KUHP tidak ada pasal yang menjerat bagi pengguna prostitusi maupun pelacur itu sendiri. KUHP hanya mengatur perihal orang-orang yang menyediakan prostitusi atau disebut mucikari. Tetapi bila pelacur sudah memiliki pasangan resmi atas dasar pernikahan, ia dapat dijerat dengan pasal perzinaan yang tertuang dalam Pasal 284 KUHP.
Walaupun dalam KUHP para pelacur tidak dapat dijerat sanksi pidana, dalam beberapa daerah terdapat Perda yang dapat memidanakan mereka. Salah satunya adalah Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 Pasal 42 ayat 2 yang berbunyi, “Setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial.
Dalam pasal tersebut, orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp30 juta. Jadi dalam KUHP hanya mucikari yang dapat dipidanakan, sedangkan untuk memidanakan pelacur diatur oleh masing-masing daerah melalui Perda.
Adapun dalam hukum Islam, praktik prostitusi adalah haram, artinya tidak boleh dilakukan. Jika tetap dilakukan, akan mendapatkan sanksi hukum. Allah SWT telah menegaskan yang artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang sesudah mereka dipaksa itu.” (QS.An-Nuur: 33)
Sanksi terhadap pelaku pelacuran sedemikian berat, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya sangatlah luas. Terlepas dari beragam bentuk dan coraknya, sejatinya prostitusi merupakan perzinaan, aktivitas keji dalam pandangan Islam. Semua perzinaan, baik yang bertarif maupun tidak bertarif, apakah ia berjenis zina muhshan atau ghairu muhshan, keseluruhannya adalah haram yang mendatangkan dosa besar bagi pelakunya.
Prostitusi dapat dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh nash Al-Qur’an dan Hadis yaitu hukuman rajam dan hukuman cambuk. Allah SWT berfirman, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, maka cambuklah salah satu dari keduanya seratus kali cambukan. Dan janganlah kalian merasa kasihan kepada keduanya yang akan menghalangi kamu dari menerapkan hukum Allah jika kalian orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat. Hendaknya sekelompok dari orang-orang yang beriman menyaksikan hukuman bagi keduanya.” (QS. An-Nuur:2)
Dengan demikian, pelaku, pengguna maupun penampung prostitusi jelas tidak hanya melanggar hukum negara tetapi juga menanggung dosa besar yang hukumannya telah diatur dalam Islam.
Strategi kebijakan Negara dan Agama Memberantas Prostitusi Terselubung Berbalut Bisnis Halal
Negara harus hadir demi memberantas prostitusi dengan segala bentuknya. Dari yang terang-terangan seperti lokalisasi, hingga yang sembunyi-sembunyi semacam prostitusi terselubung berkedok bisnis halal. Islam memandang, penguasa adalah raa’in (pengurus rakyat). Pun junnah (perisai) tempat berlindung rakyat dari musuh dan kondisi buruk (maraknya prostitusi, zina, dan lain-lain). Kelak, semuanya itu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
Berikut strategi negara memberantas prostitusi terselubung dengan perspektif Islam:
1. Memberikan sanksi tegas dalam penegakan hukum kepada semua pelaku prostitusi/zina. Sanksi tidak hanya diberikan terhadap mucikari atau germonya. Pelacur dan pemakai jasanya yang merupakan subyek dalam lingkaran prostitusi juga harus dikenai sanksi tegas.
2. Menyediakan lapangan kerja. Faktor kemiskinan sering menjadi alasan utama para pelaku terjun ke lembah prostitusi. Perilaku bejat ini tidak akan terjadi bila negara memberikan jaminan kebutuhan hidup setiap anggota masyarakat. Termasuk penyediaan lapangan pekerjaan, terutama bagi kaum laki-laki. Ini karena perempuan semestinya tidak menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya.
3. Memberikan layanan pendidikan berkualitas. Pendidikan bermutu dan bebas biaya akan memberikan bekal kepandaian dan keahlian pada setiap orang agar mampu bekerja dan berkarya dengan cara yang baik dan halal. Pendidikan juga menanamkan nilai dasar tentang benar dan salah serta standar hidup yang boleh diambil dan tidak. Sehingga misalnya ada pelacur yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan keterampilan, dengan alasan sulit mendapat uang dari hasil menjahit dibanding melacur, ini tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang standar benar dan salah.
4. Penyelesaian jalur sosial. Pembinaan untuk membentuk keluarga yang harmonis merupakan penyelesaian jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian pemerintah. Yang tidak kalah penting adalah pembentukan lingkungan sosial yang tidak permisif terhadap kemaksiatan sehingga pelaku prostitusi akan mendapat kontrol sosial dari lingkungan sekitar.
5. Adanya kemauan politik dari penguasa. Penyelesaian prostitusi membutuhkan diterapkannya kebijakan berdasarkan syariat Islam. Harus dibuat undang-undang yang tegas mengatur keharaman bisnis apa pun terkait prostitusi.
Dengan melakukan langkah-langkah pemberantasan di atas, diharapkan mampu memberi efek jera baik pelaku, pengguna, maupun penampung prostitusi. Langkah-langkah yang tepat dan strategis yang mengarah kepada penerapan Islam secara menyeluruh mesti dirancang dan dilakukan, sebab merupakan kewajiban dari Allah SWT. Selain itu, hanya dalam sistem Islamlah solusi mengatasi prostitusi bisa dilaksanakan.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar