TintaSiyasi.com -- Bahasan radikalisme makin menggelinding liar menyasar bebas. Upaya mengaitkan radikalisme dengan ajaran Islam terus diulang-ulang. Begitu pula soal khilafah, dari mulut-mulut kaum Barat, khilafah distigmatisasi. Sedihnya mengapa umat Islam ikut-ikutan melakukan stigmatisasi? Khilafah adalah ajaran Islam, mulai populer ketika masif didakwahkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sekalipun BHP HTI sudah dicabut, gagasan khilafah justru makin tenar. Bukan hanya dari pihak yang mendakwahkan khilafah sebagai solusi problematika kehidupan, tetapi dari pihak yang anti-khilafah juga makin heboh melakukan stigmatisasi.
Begitulah, antara pejuang dan pembenci khilafah adu argumen di publik. Sayangnya, hari ini narasi khilafah, HTI, ataupun FPI dijadikan untuk mendiskreditkan ulama, kiai, ustaz, , tokoh, dan politisi. Seolah-olah jika ada yang menyampaikan soal khilafah, langsung dicap HTI. Sehingga mudah sekali mereka melakukan persekusi dan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh publik yang dituduh secara sepihak. Seolah-olah jika sudah dituduh HTI, kehadirannya dan ceramahnya boleh ditolak dan dibubarkan.
Sebagaimana yang tengah menimpa ustaz kondang lulusan Mesir, Hanan Attaki. Dikabarkan dari CNNIndonesia.com (13/7/2022), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Gresik, Jawa Timur menolak kehadiran Ustaz Hanan Attaki sebagai penceramah ceramah di Masjid Agung Maulana Malik Ibrahim pada 30 Juli mendatang. Salah satu alasan PCNU Gresik menolak mengisi karena Hanan Attaki disinyalir mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Betapa ngerinya negeri ini, jika dugaan mantan anggota HTI dijadikan alasan untuk menolak dakwah para penyeru kebaikan. Seharusnya, jika menuduh sertakan bukti akurat terkait keanggotaan Ustaz Hanan Attaki di HTI. Bukan asal bunyi. Selain itu, definisi eks HTI seperti apa? Ini kan absurd dan tidak jelas. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai terhadap narasi eks HTI ini.
Pertama, jangan sampai tudingan eks HTI dijadikan pembenaran untuk menolak ceramah seorang ustaz, kiai, ulama, dan tokoh. Ini jelas tuduhan yang ngawur. Kedua, jangan sampai khilafah dianggap ajaran HTI yang bisa ditolak. Memang opini khilafah mulai ramai sejak HTI rajin menyampaikannya, tetapi khilafah ajaran Islam. Bukti-bukti khilafah ajaran Islam dapat ditemui di kitab-kitab ulama muktabar. Jangan gagal paham, bendera tauhid dicap bendera HTI, ini jelas keliru. Begitu juga, khilafah. Khilafah ajaran Islam kebetulan juga didakwahkan oleh HTI. Bukan berarti mereka yang mendakwahkan khilafah auto HTI.
Sebagaimana dalam Kitab Fiqih Islam karangan Ulama Nusantara Syekh Sulaiman Rasyid telah menyebutkan wajibnya khilafah. Jika demikian, apakah ulama-ulama muktabar, kiai-kiai yang pernah berujar soal khilafah juga akan dicap HTI? Bisa jadi HTI belum ada di Indonesia. Oleh karena itu, sebutan itu tidak adil.
Ketiga, jangan sampai dakwah Islam kaffah dijegal dengan monsterisasi HTI. Cek faktanya, apakah HTI pernah korupsi uang negara? Apakah HTI pernah merampok kekayaan negara? BHP HTI dicabut dengan zalim, tanpa adanya peringatan, tiba-tiba BHP HTI dicabut. Sudah mengajukan banding hingga ke MK, tetapi keadilan belum berpihak pada HTI.
Apakah pantas kelompok dakwah ini dimonsterisasi? Lebih 'monster' mana, HTI atau KKB atau OPM? Berapa nyawa yang dibedil oleh KKB dan OPM, tetapi tak ada satu pun pejabat negara yang secara tegas menganggap mereka teroris nyata. Tetapi, umat Islam, kelompok dakwah Islam, dan sebagainya tak luput dari sebutan teroris dan radikal. Sungguh tidak adil jika HTI diperlakukan seperti ini, bahkan dijadikan alat untuk menuduh ustaz-ustaz yang lurus mendakwahkan Islam secara kaffah.
Keempat, jangan sampai dakwah khilafah dimonsterisasi. Jangan diskreditkan khilafah ajaran Islam dengan narasi sumbing yang sedang dibangun hari-hari ini. Jika ingin menghakimi khilafah, gunakan landasan dan dasar-dasar dari Islam. Gunakan kitab-kitab muktabar para imam besar dan ulama ketika menjelaskan apa itu khilafah. Karena bahasan tentang khilafah yang hakiki hanya akan didapat dari penjelasan sumber-sumber Islam.
Sekali lagi jika negeri ini konsekuen dengan demokrasi yang dielu-elukan, seharusnya melindungi dakwah Islam. Siapa pun yang mendakwahkan Islam, apa pun yang disampaikan selama dapat dipertanggungjawabkan bersumber dari khazanah Islam, harus dilindungi. Jangan sampai hanya kesesatan yang dibiarkan bebas bernarasi. Tetapi, dakwah Islam justru dipersekusi dan dikriminalisasi. Sungguh ini kezaliman yang nyata.[]
Oleh: Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Alfia Purwanti (Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar