TintaSiyasi.com -- Menjawab pertanyaan bolehkah seorang
perempuan berangkat haji dengan kakak kandung perempuan dan ipar laki-laki
(suami kakak), Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menyatakan tidak boleh hukumnya seorang wanita naik haji, kecuali disertai
mahramnya atau suaminya.
“Tidak boleh
hukumnya seorang wanita naik haji, kecuali disertai mahramnya atau suaminya. Inilah pendapat
yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini,” jelas Kiai Shiddiq dalam Kajian Soal Jawab Fiqih: Hukum Perempuan Naik Haji
Bersama Saudara Ipar Laki-Lakinya, Kamis (21/07/2022) di kanal Ngaji
Shubuh.
Pendapat itu,
lanjutnya, sejalan dengan pendapat yang dipilih oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
yang termaktub di dalam kitab Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam halaman
34 yang menyatakan,
وَمَنَعَ الْمَرْأَةَ مِنَ السَّفَرِ ، وَلَوْ إِلىَ الْحَجِّ دُوْنَ مَحْرَمٍ
“Syariah telah melarang wanita dari
safar (perjalanan selama sehari semalam atau lebih), walaupun perjalanan naik
haji, tanpa disertai mahramnya.”
Dalilnya adalah
hadis Ibnu Abbas ra, Nabi ﷺ bersabda,
لاَ
تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ
إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ
أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ
مَعَهَا
Seorang wanita tidak boleh melakukan safar
kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada
mahramnya. Seorang sahabat lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku berniat untuk
berangkat (jihad) untuk perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji.”
Nabi ﷺ bersabda, “Temanilah istrimu berhaji.” (HR. Bukhari no. 1862; Muslim no. 1341).
“Dalam hadits ini, Nabi ﷺ
membatalkan rencana seorang sahabat yang hendak berjihad demi untuk menemani
istrinya yang akan berhaji. Padahal hukum jihad tidak lepas dari dua
kemungkinan hukum, wajib atau sunnah,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa jika
jihad itu wajib, tidak mungkin perkara yang wajib digugurkan demi melakukan
sesuatu yang mubah (berhaji menemani istri). “Dan jika jihad tersebut sunah,
maka juga tidak mungkin jihad yang merupakan ibadah yang agung dan paling utama
digugurkan demi perkara yang mubah (berhaji menemani istri),” sebutnya
memberikan alasan.
“Ini menunjukkan wajibnya wanita ditemani
mahramnya atau suaminya ketika berhaji,” tegasnya.
Yang dimaksud mahram di sini adalah mahram mu’abbad
(mahram abadi), lanjutnya, seperti ayahnya, saudara laki-lakinya, anak
laki-lakinya, dan lain-lain. “Mahram abadi adalah laki-laki yang menurut
syariah dibolehkan melihat sebagian aurat wanita, misalnya rambutnya atau
lehernya,” ulasnya.
“Patokan mahram dalam hal ini adalah seperti pendapat Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam kitab Fathul Bari Juz IV halaman 77,
من حرم عليه
نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها، فخرج بالتأبيد أخت الزوجة وعمتها ، وبالمباح أم الموطوءة بشبهة وبنتها
، وبحرمتها المالعنة
‘Orang-orang (laki-laki) yang diharamkan
menikahi seorang perempuan secara abadi…’,” nukilnya.
“Adapun mahram mu’aqqat (mahram
sementara) bagi wanita, seperti suami dari saudara perempuannya, yakni saudara
ipar laki-lakinya, tidak termasuk mahram yang dibolehkan syariah menemani
wanita dalam safar termasuk dalam haji,” paparnya.
Kiai Shiddiq menyimpulkan, “Tidak boleh
seorang wanita berangkat haji ditemani suami dari saudara perempuannya, walaupun
saudara perempuannya itu juga ikut naik haji. Wallahu a’lam.”[] Rere
0 Komentar