TintaSiyasi.com -- Saya bukan seorang pengacara hukum, juga bukan orang-orang yang punya kuasa di atas sana. Hanyalah rakyat biasa yang menyaksikan cerita hukum di negeri ini. Isu panas yang sedang jadi perhatian publik adalah tragedi meninggalnya Brigadir J yang menyisakan misteri dan tanda tanya.
Kabar berita yang janggal, hingga mulai terungkap sedikit demi sedikit. Akankah kebenaran akan terkuak? Akankah pelaku yang terlibat dalam pembunuhan berencana Brigadir J akan terungkap dan diadili? Sebagai warga negara yang baik, tentunya kita kawal hingga keadilan bisa ditegakkan.
Hanya saja, yang menjadi semburat tanya adalah mungkinkah keadilan akan terungkap terang benderang di negeri demokrasi kapitalisme? Biarkan waktu yang menjawabnya. Sejatinya, banyak fakta yang menyajikan betapa bobroknya bangunan demokrasi kapitalisme sekuler.
Selain wajah perpolitikan hanya dikuasai oleh para pemodal, tetapi juga wajah hukum yang bersujud pada uang. Ketika yang punya uang yang berkuasa, di situlah keadilan dan kebenaran bisa diperjualbelikan berdasarkan kepentingan. Hal itu dikarenakan beberapa poin berikut.
Pertama, akidah sekuler yang menjadi jantung kapitalisme demokrasi. Sekularisme mengebiri peran Islam dalam memanusiakan manusia. Islam adalah agama yang paripurna. Selain sesuai dengan fitrah manusia, Islam mampu memberikan solusi yang memuaskan akal dan menentramkan hati.
Tetapi, karena kesombongan manusia, banyak yang mengabaikan Islam, sehingga mereka terjebak pada perilaku yang tidak berperikemanusiaan. Lihat saja, ketika manusia marah dan kehilangan akalnya dia bisa berbuat bengis, jahat, dan kejam meluapkan amarahnya dengan penyiksaan yang tak berperikemanusiaan. Hewan saja tidak boleh disiksa, apalagi ini manusia.
Kedua, manusia tidak bisa membuat hukum kecuali hanya menuruti hawa nafsunya. Ketika manusia dibiarkan membuat hukum dan aturan untuk membuat hidupnya, sejatinya hawa nafsunya yang menjadi standar benar salahnya.
Lumrah, jika kebenaran hanya terungkap sesuai kepentingan sang pembuat hukum. Sehingga, ketika manusia dibiarkan membuat hukum sendiri yang terjadi adalah perselisihan, pertikaian, dan pertengkaran. Karena namanya manusia memiliki keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda dan ingin asumsi mereka yang menang.
Ketiga, yang bisa menentukan keadilan hanyalah Allah Subhanahuwa wataala. Allah Subhanahuwa wataala menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dialah Allah Subhanahuwa wataala yang Mahatahu atas segala yang terbaik dan terburuk yang menimpa manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur'an Allah Subhanahuwa wataala berfirman: “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur'an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (TQS. Al-An’am ayat 115)
Dalam ayat itu, Allah menegaskan kesempurnaan Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam. Dengan Al-Qur’an keadilan mampu ditegakkan. Al-Qur'an adalah pedoman utama bagi umat Muslim dalam menentukan suatu hukum, meningkatkan ketakwaan, dan memperbaiki kehidupannya.
Ketetapan Allah telah menolong Rasul dan kaum mukmin terdahulu yang berjuang di jalan-Nya.Melalui firman-Nya yang suci, Allah Subhanahuwa wataala menghinakan orang kafir yang berbuat zalim dan aniaya kepada umat Islam.
Tidak ada jalan lain, keadilan hanya akan tegak dengan diterapkan hukum Islam. Sekalipun manusia sombong tidak mau mengadili dengan hukum Allah, maka di akhirat kelak Allah akan menegakkan keadilan di pengadilan akhirat. Di sana tidak ada pengacara lagi, yang ada adalah fakta dan bukti yang berbicara sendiri. Tidakkah kita takut akan datangnya pengadilan akhirat? La haula walakuata illa billah.[] Ika Mawarningtyas
0 Komentar