TintaSiyasi.com -- Hampir genap satu bulan, publik di semua lini disibukkan dengan proses penanganan dan pengungkapan pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Di awal, tampak terkesan bahwa penanganan kasus ini tidak dilakukan secara presisi sesuai dengan tagline transformasi Polri presisi yang merupakan abreviasi dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Narasi yang dibangun sejak awal sekarang porak poranda begitu Brigadir E "speak up" bahwa dirinya bukan satu-satunya pelaku dan ada yang memerintahkan menembak serta terungkapnya fakta-fakta hukum lainnya. Dalam kasus ini terkesan tampak begitu jelas bahwa substansi dan prosedur hukum tidak lagi diakui keberadaannya di negara hukum sekalipun oleh penegak hukum itu sendiri, yakni polisi. Apakah polisi ingin mengubah negara hukum (rechtsstaat/law state) menjadi negara polisi (police state)?
Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Demikian pula antar sesama warga negara, juga memiliki persamaan di depan hukum. Bila tidak ada persamaan hukum dalam sistem ketatanegaraan dan sistem peradilan di Indonesia, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya equality before the law adalah tidak ada tempat bagi "backing" yang salah, melainkan undang-undang merupakan "backing" terhadap yang benar.
Sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat benar. Juga praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan sebaliknya. Bahkan katanya, ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tak heran jika saat ini penegakan hukum lebih berorientasi pada untung-rugi dengan mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang trials without truth.
Bilamana praktik-praktik industri hukum oleh oknum-oknum penegak hukum di negeri ini benar adanya dan terus dibiarkan, maka akan memunculkan adanya berbagai corporation atau perusahaan dan perbisnisan di dunia hukum, di antaranya:
1. Police Corporation
2. Prosecutor Corporation
3. Court Corporation
4. Prison Corporation dan
5. Advocate Corporation
Bukankah begitu logika sederhananya?
Yang terakhir akan terjadi: Indonesia Corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah yang diinginkan, ketika Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?
Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state. Kita tentu tidak menghendaki keadaan yang demikian terjadi di negeri ini.
Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang industri hukum yang sempat viral seperti yang disebutkan oleh Menkopolhukam. Saya kemudian berkhayal mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice?
Industri hukum dapat terjadi di semua lini penegakan hukum ketika setiap lini tersebut berupaya memperjualbelikan kebenaran dan keadilan. Sanksi pidana mungkin juga tidak mempan, maka kata kuncinya adalah akhlak! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang harus, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan.
Compang-campingnya penegakan hukum dan sistem peradilan di negara ini tidaklah terlepas dari sumber hukum yang menjadi rujukan di dalam penerapannya yaitu sumber-sumber hukum yang berasal dari produk ciptaan akal manusia yang terbatas dan tidak dibangun berlandaskan akidah atau wahyu sang pencipta. Sehingga bukanlah menjadi sesuatu yang mengherankan ketika di dalam penerapannya kerap menimbulkan ketimpangan bahkan justru memunculkan polemik dan masalah baru lainnya.
Alih-alih menjadikannya sebagai solusi, yang terjadi malah kembali menimbulkan berbagai masalah karena diatur oleh kehendak nafsu manusia. Itulah yang terjadi dalam penerapan hukum dalam negara demokrasi yang sarat dengan kepentingan dan cenderung untuk melindungi kelompok atau orang-orang tertentu saja. Sistem yang terbukti gagal atau utopis dalam memberikan rasa keadilan. Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum dan Masyarakat)
Semarang, Selasa, 9 Agustus 2022
0 Komentar