TintaSiyasi.com -- Sekali lagi soal industri hukum. Saya akan memberikan perhatian yang serius terkait dengan kompleksitas permasalahan bekerjanya hukum di Indonesia, mulai dari maraknya produk legislasi yang cacat, represifitas penegak keadilan, pelanggaran hak asasi manusia hingga hilangnya marwah suatu institusi. Keseluruhan permasalahan itu akan saya rangkum dalam artikel pendek yang pada prinsipnya menggambarkan adanya praktik industri hukum yang memporak-porandakan relasi piramidal antara rule of law, democracy dan human right.
Saya mengawali artikel ini dari "angle" peristiwa hukum yang menimpa Front Pembela Islam (FPI), yakni terkait dengan extrajudicial killings atas 6 anggota laskar FPI. Persoalan ini hingga sekarang (tahun 2022) masih menjadi polemik baik menyangkut tentang dalangnya, akurasi peristiwanya hingga soal jenis pelanggaran HAM-nya, apakah pelanggaran HAM biasa ataukah pelanggaran HAM berat. Para terdakwa memang sudah diproses untuk diadili, namun banya pihak yang merasa tidak puas atas proses peradilannya, bahkan ada yang menyebutnya sebagai "pengadilan dagelan". Maka tidak aneh jika kasus pembunuhan atas Brigadir Joshua di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo yang juga penuh misteri dan intrik dikait-kaitkan peristiwa pembunuhan secara extrajudicial killings terhadap 6 anggota laskar FPI di Jalan Tol Jakarta Cikampek KM 50. Banyak yang menginginkan agat Kasus KM 50 dibuka kembali.
Baik, kita flashback pada peristiwa hukum di akhir 2020 yang kemudian berlanjut penanganannya sepanjang tahun 2021. Sejak tanggal 7 Desember 2020 pagi hari, publik dihebohkan dengan berita adanya laskar FPI yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) diserang oleh Orang Tidak diKenal (OTK) sebagaimana tersiar di media sosial yang bersumber dari Sekretaris Umum FPI, Munarman. Hingga saat itu, FPI belum bisa memastikan bahwa penyerangnya adalah aparat penegak hukum (APH), dalam hal ini adalah polisi. Adakah baku tembak? Adakah penyiksaan sebelum mereka dibunuh? Apakah benar alasan pembunuhannya?
Peristiwa ini selanjutnya mulai terkuak ketika di siang hari tanggal 7 Desember 2020 KaPolda Metro Jaya mengungkapkan terjadi bentrokan di jalan tol Jakarta-Cikampek KM 50 antara anggota polisi dan pengikut pentolan FPI HRS. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mengatakan, pada awalnya enam orang anggota polisi mengikuti kendaraan iring-iringan HRS. Kemudian, pengawal HRS melakukan penyerangan saat mengetahui ada anggota polisi yang mengikuti. Kendaraan petugas dipepet dan diserang dengan senjata api dan senjata tajam. Menurut Kapolda, baku tembak terjadi dan berakhir 6 anggota Laskar FPI terbunuh. Demikian kata Fadil di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (7/12). Pertanyaan besarnya adalah, benarkah telah terjadi baku tembak? Benarkah laskar membawa senjata dan pistol? Banyak pihak yang menyangsikan kebenaran itu dan termasuk DPP FPI pun telah membantah bahwa anggota Laskar membawa senjata tajam dan senjata api. Mana yang benar? Buram, gelap masih menyelimuti kasus ini.
Terlepas dari kebenaran fakta atas peristiwa tersebut, yang jelas terdapat fakta hukum dengan terbunuhnya 6 anggota laskar FPI berarti patut diduga kuat telah terjadi extrajudicial killings (pembunuhan di luar peradilan). Ini termasuk noda yang melumuri tangan polisi dalam menjalankan tugasnya.
Extrajudicial killings merupakan pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil terhadap masyarakat terkait penyelidikan serta penyidikan yang tidak dipenuhi kepolisian. Prinsip fair trial dalam peristiwa tersebut juga memuat jaminan perlindungan HAM dan praduga tidak bersalah.
Pola extrajudicial killing sering terjadi karena alasan: (1) korban diduga melawan aparat, (2) korban hendak kabur dari kejaran polisi, dan (3) korban tewas akibat tertembak senjata api.
Secara hukum, penggunaan senjata api memperhatikan prinsip legalitas dan proporsionalitas. Berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan, bukan membunuh. Namun, yang terjadi pada kasus ini justru ditujukan untuk membunuh keenam laskar FPI tersebut. Hal ini merupakan tindakan yang kontraproduktif dengan tugas utama Polri yakni menegakkan hukum dengan cara tetap memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Mengapa justru tindakan polisi itu kontrapoduktif yang berarti membuat hukum lumpuh? Lalu apa akibat lumpuhnya hukum terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)?
Yang harus kita ketahui bersama adalah bahwa antara negara hukum (Rule of Law), demokrasi dan HAM itu memiliki hubungan piramidal. Tidak mungkin bisa terwujud demokrasi kalau prinsip negara hukum diacak-acak. Dan tidak mungkin HAM dapat di-respect, di-fullfil dan di-protect bila demokrasi telah mati. Matinya demokrasi dapat tejadi karena penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara telah bergeser ke arah otoritarianisme. This is a reason for a statement: How Democracies Die (Ziblatt dan Levitsky: 2018)? Jadi, berdasar hubungan yang erat antara negara hukum dan demokrasi itu dapat dikatakan bahwa hidup matinya demokrasi sangat ditentukan bagaimana prinsip-prinsip negara hukum dapat ditegak ataukah tidak.
Mengapa otoritarianisme menyeruak ke dalam sistem pemerintahan demokrasi? Sebab di dalam demokrasi telah bercokol para elit yang menjelma menjadi oligark yang sejatinya mengendalikan negara termasuk hukum negara. Peraturan hukum cenderung dipakai untuk melegitimasi dan mempertahankan status quonya (Brian Z. Tamanaha (2004): The Thinnest ROL), bukan sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare (The Thickest ROL). Orientasi pembentukan hukum dan penegakkannya pada untung rugi dan mengabaikan persoalan keadilan dan kebenaran. Penegakan hukum macam itu dapat disebut sebagai industri hukum.
Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: berani menuduh harus berani membuktikan. Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di pengadilan melalui due process of law. Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. Tindak tegas dulu dan berikan sanksi dulu, jika perlu bunuh dulu, urusan belakangan. Itu namanya eigenrichting.
Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng itu sangat mungkin dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:
1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma.
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).
Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Praktik pekerjaan polisi yang buruk misalnya:
(1) Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK).
Di sisi lain, hukum di era rezim Jokowi ini tak memiliki standar yang jelas. Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka, meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin.
Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi.
(2) Diskresi Cenderung Diskriminatif.
APH punya hak untuk to do or not to do, ada diskresi utk menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yg adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya:
1. Penegakan hukum tebang pilih (kasus kerumunan (HRS (DKI: agama) vs GIBRAN (SOLO: pilkada)).
2. Kriminalisasi ulama kritis vs pembiaran para buzzer pendukung rezim.
3. Abuse of power pencabutan baliho FPI oleh TNI, tidak sesuai dengan Tupoksi TNI.
4. Penangguhan penahanan (kasus Pembakaran Gedung Kejagung vs Gus Nur)
Dua hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri.
Anda mungkin masih ingat, ada empat fakta hukum yang dapat dijadikan pembanding dugaan kasus extrajudicial killings terhadap enam anggota laskar FPI, yaitu terbunuhnya terduga teroris (1) Siyono warga Klaten pada tahun 2016, (2) Qidam Alfarizki warga Poso Sulawesi Tengah yang ditembak mati pada tanggal 9 April 2020 dan menyusul (3) Muhammad Jihad Ikhsan warga Ngruki, Sukoharjo yang ditembak mati pada tanggal 10 Juli 2020 oleh aparat kepolisian RI sebelum proses peradilan pidana dilaksanakan hingga selesai, (4) pembunuhan terhadap dr. Sunardi di Sukoharjo pada tanggal 9 Maret 2022. Di mana hukum, di mana demokrasi Pancasila, di mana pelindungan HAM?
Perlu saya katakan bahwa adanya dugaan kuat telah terjadi extrajudicial killings terhadap 6 anggota laskar FPI membuat saya khawatir jika negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilangnya karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit.
Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum seharusnya tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state yang melumpuhkan prinsip-prinsip negara hukum.
Akankah kita hendak mewariskan lumpuhnya hukum, matinya demokrasi dan pelanggaran HAM yang tak berujung kepada generasi mendatang sembari berkata:"Selamat datang di industri hukum Indonesia!"
Terakhir ingin saya sampaikan bahwa konsep tentang penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara humanis disertai dengan cinta sering kita dapati baik melalui lisan maupun tulisan ketika mengulas kinerja pejabat negara termasuk kinerja Polisi. Belum lagi persoalan etika dalam penegakan hukum yang diamanatkan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001, polisi dan pejabat negara lainnya pun harus bertindak sesuai dengan etika kehidupan berbangsa. Pejabat juga sering mengutip adagium Cicero bahwa salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), apalagi penegakan hukum ini terkait langsung dengan persoalan moral, ethic and religion. Pikiran dan telinga pejabat negara termasuk polisi harus betul-betul dipasang di tengah kehidupan masyarakat sehingga penegakan hukum olehnya tetap mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat (bringing justice to the people). Dalam kasus terbunuhnya 6 anggota laskar FPI ini, adakah kata-kata manis itu diwujudkan? Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyatakan:
"Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat."
Selanjutnya dinyatakan bahwa: "Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya."
Etika penegakan hukum berkeadilan meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Adakah penyelenggaraan pemerintahan akhir-akhir ini mencerminkan etika kehidupan berbangsa itu? Dugaan kuat telah terjadi extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, SSK, tindakan aparat non presisi, diskresi yang diskriminatif. Inikah indikator bahwa proyek Industri Hukum di Indonesia tengah berlangsung yang secara gamblang berpotensi untuk "Melumpuhkan Hukum, Mematikan Demokrasi dan Melanggar HAM". Adakah kemiripan kasus pembunuhan secara extrajudicial antara kasus Brigadir Joshua dengan kasus pembunuhan terhadap 6 anggota laskar FPI? Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Kamis: 11 Agustus 2022
0 Komentar