TintaSiyasi.com -- Isu radikalisme selalu eksis dinarasikan di tengah karut marutnya permasalahan negeri. Seolah-olah radikalisme monster yang menjadi penyebab kekacauan di negeri ini. Jika menelisik fakta-fakta yang terjadi, apakah benar radikalisme adalah biang kerok problematika di negeri ini? Atau itu hanya sebatas propaganda semata?
Deradikalisasi sering dipropagandakan dan yang paling getol mempropagandakannya yakni di sektor pendidikan, baik sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Nampak upaya tersistematis untuk menangkal radikalisme. Namun, di saat yang sama makna radikalisme masih absurd dan diselewengkan berdasarkan persepsi sepihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kamus Cambridge Dictionary dikutip dari katadata.co.id, radikalisme adalah suatu kepercayaan atau bentuk ekspresi dari keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh.
Kamus Merriam Webster memberikan pengertian lain, radikalisme adalah bentuk opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme terbagi menjadi tiga makna yang berbeda. Pertama, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran politik.
Faktanya, narasi radikalisme sering menyasar pada Islam dan ajarannya. Umat Islam yang mengajak untuk berislam secara paripurna dicap radikal. Begitu pula jika ada yang menawarkan khilafah sebagai solusi problematika kekinian, juga dicap radikal. Seolah ada upaya yang terus dipropagandakank untuk menghakimi ajaran Islam kaffah dan khilafah sebagai ajaran radikal.
Khilafah dan Islam Kaffah
Seolah menjadi genderang yang ditabuh bersama, isu radikalisme sering dijadikan alat untuk menghambat dakwah khilafah atau Islam kaffah. Memang aneh, sejatinya umat Islam yang mendakwahkan Islam secara totalitas adalah perintah keyakinannya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 208 difirmankan: Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.
Begitu pula soal khilafah. Dalam berbagai kitab-kitab ulama, sebenarnya khilafah adalah bahasan yang bersumber dari Islam. Dahulu Rasulullah Muhammad SAW menegakkan daulah Islam di Madinah dan dilanjutkan para Khulafaur Rasyidin. Negaranya disebut khilafah dan pemimpinnya disebut khalifah.
Anehnya mengapa hari ini, Khilafah mencoba dimonsterisasi oleh para pembenci Islam? Tidak melihat bagaimana para sahabat dan Khalifah terdahulu menerapkan sistem Islam dalam naungan khilafah, tetapi umat Islam hari ini diajak menghakimi khilafah berdasarkan cara pandang Barat yang begitu anti Islam. Walhasil, umat hari ini banyak yang terprovokasi oleh mereka yang anti Islam dan mengidap islamofobia.
Monster-Monster Radikal
Siapa sejatinya monster-monster radikal itu? Siapa yang terbukti menjadi akar problematika di negeri ini? Jika menilai dengan seksama, maka yang menjadi akar problematika bangsa Indonesia adalah penerapan sistem yang memisahkan Islam dari kehidupan alias sekularisme. Ketika Islam dipinggirkan, yang digdaya adalah sistem yang berkiblat pada hawa nafsu dan materi. Hukum dan undang-undang dibuat mengikuti titah para kapital. Inilah sejatinya monster-monster radikal yang sesungguhnya. Mereka berbuat dan bertindak menyimpang dari syariat menuruti hawa nafsunya masing-masing.
Namun, yang menjadi narasi saat ini adalah umat Islam yang taat dan menginginkan hidup dalam naungan Islam dicap radikal. Sejatinya ini hanya tuduhan tidak berdasarkan realita, lebih tepatnya hanya propaganda negatif menyerang Islam. Mereka yang melambungkan propaganda negatif tersebut justru monster-monster radikal sejati. Mereka radikal sekularisme anti Islam. Tak hanya itu, mereka juga terkena penyakit islamofobia akut.
Tuduhan yang tidak berdasarkan realita itu contohnya, radikalisme digemborkan karena menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Padahal yang mengancam disintegrasi bangsa adalah kelompok bersenjata di Papua. Nyatanya radikalisme itu hanyalah topeng untuk menakut-nakuti pemuda hari ini supaya jauh dari agamanya. Sehingga, mereka terlenakan dengan keadaan yang ada, sibuk memikirkan diri sendiri, sehingga enggan memikirkan akar masalah kehidupan di negeri ini.
Ada fenomena yang cukup mengakagetkan, beberapa tokoh yang lantang melawan radikalisme, justru dicokok KPK karena kasus korupsi. Dilansir suara.com (21/8/2022) KPK telah resmi menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karoman (KRM) sebagai tersangka kasus suap pada penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri atau disebut sebagai sistem Simanila. Komisi antirasuah menyebut, Karomani mematok harga Rp 100 hingga Rp 350 bagi per mahasiswa agar lulus masuk Unila.
Dilansir dari terkini.id (22/8/2022) Karomani menyebut, perguruan tinggi menjadi sasaran kaum radikal dalam mengadakan perekrutan dan regenerasi radikalisme. Oleh karena itu, sambung dia, 20 rektor pada forum tersebut sepakat mengadakan langkah strategis dalam pembentengan karakter dan antisipasi penyebaran radikalisme di kampus.
Sibuk membentengi dari radikalisme, ternyata ia tidak kuat membentengi dirinya dengan manisnya suap. Benteng keimananlah yang harus dipupuk untuk mahasiswa, bukan malah mempromosikan paham radikalisme yang belum jelas pengertiannya. Apakah tujuan rezim ini menjauhkan generasinya dari pemahaman agama? Sehingga ia miskin keimanan, dan pada akhirnya melakukan berbagai cara untuk memperkaya dirinya, salah satunya dengan korupsi.
Bukankah menginginkan generasi dengan kualitas yang mumpuni, yakni faqih fiddin, selain itu mampu mengembangkan berbagai macam teknologi untuk umat. Generasi seperti ini hanya didapat jika Islam kaffah diterapkan. Dengan Islam generasi akan dibentengi oleh keimanan, selain itu orientasi mereka bukan materi, tetapi akhirat. Oleh karena itu, dibutuhkan negara yang mampu memberikan perlindungan bagi generasi dari berbagai gempuran pemikiran saat ini.
Oleh: Ika Mawarningtyas
(Direktur Mutiara Umat Institute) dan Alfia Purwanti (Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar