TintaSiyasi.com -- I. Pengantar
Sebenarnya, sederhana. Ketika ada tragedi kezaliman yang menewaskan nyawa manusia tak bersalah, yang diinginkan adalah pelaku dapat diadili dengan tegas. Tetapi, demokrasi kapitalisme sepertinya tidak mampu menjawab itu semua. Masih ingat tragedi kematian enam laskar di KM 50 di tol Cikampek Karawang Jawa Barat? Sampai hari ini keadilan masih terus disuarakan dan diperjuangkan. Pun begitu soal kematian Brigadir Yosua Hutabarat di Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Sidang perdana baru saja dilakukan Senin (17/10/2022) di PN Jakarta pusat. Kasus masih dalam pengawalan dan pengawasan.
Tak tertinggal soal tragedi Kanjuruhan di Malang Jawa Timur yang menewaskan ratusan suporter Aremania. Tim pencari fakta Aremania masih menuntut tanggung jawab atas ratusan nyawa yang tewas dalam tragedi Kanjuruhan, sayangnya pemegang kebijakan terlihat berkelit dan saling lempar tanggung jawab. Belum ada titik terang siapa yang bertanggung jawab atas meninggalnya ratusan Aremania di Kanjuruhan. Alih-alih mencari yang bertanggung jawab, justru Presiden Joko Widodo berencana membangun ulang stadion Kanjuruhan agar sesuai standar FIFA. Sejatinya rencananya tidak keliru, hanya saja yang urgen untuk dibahas adalah siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan tersebut.
Tiga kasus di atas sejatinya telah mencoreng citra aparat kepolisian, pertanyaannya? Akankah keadilan mampu tegak di negeri ini? Atau kasus ini tak menemukan titik nadir keadilan?Padahal, yang berjatuhan adalah nyawa-nyawa manusia yang seharusnya dilindungi dan dijaga. Seolah-olah tiga tragedi di atas menjadi saksi matinya keadilan di alam demokrasi, jika keadilan tidak segera ditegakkan. Baik tragedi KM 50, kematian Brigadir J, dan ratusan suporter Aremania yang diduga meninggal karena gas air mata. Di sinilah citra penegak hukum dipertanyakan, akankah berani mempertanggungjawabkan pelanggaran atau sebaliknya?
Memilukan, jika yang terlihat hari ini adalah upaya pengaburan dan penguburan fakta-fakta ketidakadilan dengan narasi-narasi yang mengalihkan pada pokok persoalan utama. Terlebih beberapa pejabat justru sibuk persiapan kontestasi politik 2024. Sungguh ironis!
II. Permasalahan
Dari pengantar di atas dapat dikerucutkan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Mengapa kezaliman marak terjadi di negara hukum Indonesia?
2. Bagaimana dampak jika keadilan tidak ditegakkan ?
3. Strategi Islam dalam menegakkan keadilan?
III. Pembahasan
A. Menyoal di Balik Maraknya Ketidakadilan dalam Negara Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara hukum. Tetapi, anehnya mengapa hukum sering dikangkangi segelintir kepentingan kelompok saja? Merunut dari tsunami masalah yang menerpa dunia kepolisian, awalnya kasus FS yang menjadi bom atom merosotnya citra buruk kepolisian, disusul dengan tragedi Kanjuruhan. Itu pun ditambah lagi dengan kasus Teddy Minahasa soal kasus narkoba yang sedang dihadapinya hari ini.
Umat manusia sedang dipertontonkan wajah penegak hukum yang tangannya masih berlumuran darah kasus-kasusnya yang mereka buat. Belum lagi dugaan-dugaan kriminalitas lainnya. Seperti dugaan pelindung bisnis judi maupun narkoba.
Sejatinya ada catatan kritis soal hukum di negeri ini. Pertama, bobroknya wajah aparat penegak hukum tidak terlepas dari hukum yang ditegakkan hari ini. Hukum siapa yang ditegakkan? Jika hukum buatan manusia, adanya aparat penegak hukum dikhawatirkan hanya akan menjadi pelindung kepentingan manusia yang berkelindan di sana.
Kedua, demokrasi kapitalisme sekuler yang bobrok dan cacat sejak lahir telah berhasil memproduksi manusia-manusia tak bermoral dan zalim. Dari penguasanya, penegak hukumnya, dan rakyatnya silih berganti diterpa permasalahan hukum yang tidak pernah menemui ujung keadilan dan kebenaran.
Ketiga, keadilan tidak akan tegak dalam hukum demokrasi kapitalisme sekuler. Definisi keadilan yang benar adalah segala masalah atau perkara yang diselesaikan dengan hukum Allah SWT. Allah Tuhan semesta alam, yang menciptakan langit, bumi, manusia, dan kehidupan adalah yang berhak menentukan benar dan salah, bukan manusia.
Jika hukum Allah SWT yang dijadikan landasan penentu keadilan, hukuman yang ditimpakan pada manusia pasti sesuai fitrah manusia, menentramkan hati, dan memuaskan akal. Selain itu, hukuman tersebut bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah). Mereka yang melakukan pelanggaran hukum, ketika disanksi dengan hukuman sesuai syariat, hukuman tersebut mampu menjadi penebus dosa di akhirat kelak dan menjadi pencegah umat manusia untuk melakukan pelanggaran yang sama.
Yang berhak menerapkan sanksi dan hukuman yang sesuai syariat Islam adalah negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah bukan negara demokrasi. Jadi, pelaksanaan hukum Islam harus dibarengi hukum-hukum lainnya. Tidak bisa prasmanan, sepotong-sepotong hanya diambil sesuai keinginan manusia semata, tetapi harus diterapkan secara sempurna dan paripurna.
Jika manusia masih ngotot membuat hukum dan berusaha menerapkan hukum kesepakatan mereka, niscaya kezaliman akan terus berlanjut. Bahkan, adanya negara bukan lagi sebagai pengelola urusan umat, tetapi penghisap darah umat. Begitu pun para penegak hukumnya, bukan lagi menegakkan keadilan, tetapi dikhawatirkan untuk menjaga kezaliman walaupun harus berlumuran darah umat. Astaghfirullahal'adzim, sudah saatnya umat berbenah, kembali pada hukum Islam secara totalitas.
B. Dampak Jika Keadilan Tidak Ditegakkan
Sejatinya tidak ada keadilan yang tidak bisa ditegakkan, karena jika keadilan tidak ditegakkan di dunia, pastinya di akhirat nanti keadilan akan ditegakkan langsung oleh Allah Subhanahuwa wata'ala. Begitulah sejatinya, jadi bagi pelaku kezaliman jangan lama-lama sombongnya, karena tidak ada kezaliman abadi. Ada Allah rabbul'alamin yang Maha Tahu dan Maha Membalas.
Fitrahnya manusia ketika melihat ketidakadilan pasti berontak, sekalipun tidak berontak minimal hatinya membencinya. Inilah fitrah manusia yang benar. Tetapi, jika ada manusia yang zalim, sejatinya mereka sedang mengingkari fitrahnya sebagai manusia dan lebih menuruti hawa nafsunya yang tamak dan serakah.
Dampak jika keadilan tidak ditegakkan adalah sebagai berikut: Pertama, menurunkan kepercayaan publik pada aparat penegak hukum. Rentetan kasus yang terkesan berbelit-belit dan tidak segera ditangani membuat rakyat jadi tidak percaya lagi pada penegakan hukum di negeri ini. Hukum seolah-olah tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Itulah yang menjadi rakyat apatis dengan penegakan hukum di negeri ini.
Kedua, kezaliman merajalela. Jika aparat penegak hukum banyak yang terlibat dugaan kasus kejahatan atau tindak kriminal, maka siapa yang akan menjadi teladan dan contoh dalam hukum progresif di negeri ini? Itulah yang membuat kejahatan merajalela, kezaliman dipertontonkan di mana-mana, dan keadilan tidak bisa ditegakkan.
Ketiga, kerusakan tatanan politik dan sosial akibat hukum tidak ditegakkan. Jika hukum tidak bisa menunjukkan wajah keadilannya, pasti tatanan politik dan sosial rusak akibat ketidakadilan. Tidak terjadi keseimbangan hukum, hukum rimba yang berkuasa. Mereka yang berkuasa dan kuat yang digdaya mengendalikan hukum. Hukum tidak ditegakkan atas nama keadilan, tetapi berdasarkan kepentingan.
Keempat, distribusi hak dan kewajiban tidak seimbang. Kewajiban tidak dilakukan dan banyak hak yang dirampas untuk memuluskan kepentingan penguasa hukum tersebut. Inilah kezaliman yang sistematis yang sejatinya dipertontonkan hukum dalam demokrasi kapitalisme sekuler. Hukum tegak di bawah hawa nafsu manusia.
Kelima, dikhawatirkan marak korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pungli di balik wajah hukum demokrasi kapitalisme sekuler tersebut. Hukum tidak bebas KKN, justru hukum jadi sarang KKN. Sebagaimana ada oknum polisi yang diduga gila mencoret dinding kantor kepolisian dengan tulisan sarang pungli. Memang yang menulis diduga gila, tetapi apa yang dia tulis bisa terjadi dalam industri hukum demokrasi kapitalisme sekuler ini.
Sungguh menyedihkan, jika manusia masih bersikukuh membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Sejatinya, hukum yang adil hanya akan terwujud jika dilandaskan pada pemilik keadilan, yakni Allah Yang Maha Adil. Allah SWT yang telah menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah yang berhak menghukum manusia. Oleh karena itu, jika manusia ingin mewujudkan keadilan, tidak ada landasan keadilan yang pantas ditegakkan melainkan yang bersumber dari syariat Islam. Hanya dengan landasan Islam dan dorongan akidah Islam, hukum bisa ditegakkan dengan adil.
C. Strategi Islam dalam Menegakkan Keadilan
Yang berhak dijadikan sandaran dalam membuat hukum adalah sumber hukum Islam. Yakni, Al-Qur'an, As-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Manusia dikaruniai akal untuk berpikir menyelesaikan segala problematika kehidupan berdasarkan sumber hukum Islam. Karena hanya dengan itu keadilan dan kesejahteraan dapat diwujudkan. Di dalam surah Al-An'am ayat 115 difirmankan:
ÙˆَتَÙ…َّتْ ÙƒَÙ„ِÙ…َتُ رَبِّÙƒَ صِدْÙ‚ًا ÙˆَّعَدْÙ„ًاۗ Ù„َا Ù…ُبَدِّÙ„َ Ù„ِÙƒَÙ„ِÙ…ٰتِÙ‡ٖ ۚÙˆَÙ‡ُÙˆَ السَّÙ…ِÙŠْعُ الْعَÙ„ِÙŠْÙ…ُ
115. Dan telah sempurna firman TuhanmuDan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur'an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Penegakan keadilan dalam Islam, tidak bisa tegak hanya satu aspek saja, tetapi segala aspek kehidupan harus diterapkan hukum Islam. Baik politik, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, budaya, sosial, dan sebagainya. Hanya dengan melandaskan kehidupan dengan hukum dari Yang Maha Adil, maka keadilan akan dapat diwujudkan.
Maka, untuk mengembalikan citra penegak hukum, selain memperbaiki pola asuh pendidikan aparat penegak hukum harus diimbangi dengan menegakkan sistem yang berkeadilan dari Yang Maha Adil. Yakni, penegakan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai sistem pemerintahan Khilafah Islamiah. Khilafah adalah ajaran Islam yang diwariskan Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan mengelola urusan manusia. Andai saja manusia mau menurunkan egonya untuk diatur dalam sistem khilafah, niscaya kebaikan menghiasi dunia ini. Kejahatan akan bisa diminimalisir sedini mungkin. Wallahu a'lam.
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Jika hukum Allah SWT yang dijadikan landasan penentu keadilan, hukuman yang ditimpakan pada manusia pasti sesuai fitrah manusia, menentramkan hati, dan memuaskan akal. Selain itu, hukuman tersebut bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah). Mereka yang melakukan pelanggaran hukum, ketika disanksi dengan hukuman sesuai syariat, hukuman tersebut mampu menjadi penebus dosa di akhirat kelak dan menjadi pencegah umat manusia untuk melakukan pelanggaran yang sama.
2. Sungguh menyedihkan, jika manusia masih bersikukuh membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Sejatinya, hukum yang adil hanya akan terwujud jika dilandaskan pada pemilik keadilan, yakni Allah Yang Maha Adil. Allah SWT yang telah menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah yang berhak menghukum manusia. Oleh karena itu, jika manusia ingin mewujudkan keadilan, tidak ada landasan keadilan yang pantas ditegakkan melainkan yang bersumber dari syariat Islam. Hanya dengan landasan Islam dan dorongan akidah Islam, hukum bisa ditegakkan dengan adil.
3. Maka, untuk mengembalikan citra penegak hukum, selain memperbaiki pola asuh pendidikan aparat penegak hukum harus diimbangi dengan menegakkan sistem yang berkeadilan dari Yang Maha Adil. Yakni, penegakan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai sistem pemerintahan Khilafah Islamiah. Khilafah adalah ajaran Islam yang diwariskan Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan mengelola urusan manusia. Andai saja manusia mau menurunkan egonya untuk diatur dalam sistem khilafah, niscaya kebaikan menghiasi dunia ini. Kejahatan akan bisa diminimalisir sedini mungkin.
Oleh: Ika Mawarningtyas
DOSOL UNIOL 4.0 DIPONOROGO dan Direktur Mutiara Umat Institute
NB: Materi Kuliah Online
UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 19 Oktober 2022
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
=============================
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseAgainst
0 Komentar