TintaSiyasi.com -- santri melawan radikalisme sebagai virus berbahaya dan musuh bersama bagi bangsa? Adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Boy Rafli Amar, yang mengajak para santri mewaspadai dan melawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang merupakan musuh bersama serta berbahaya bagi bangsa.
Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional kebangsaan bertajuk Moderasi Beragama: Deradikalisme Sebagai Anti Tesis Radikalisme dan Terorisme, salah satu rangkaian peringatan Hari Santri Nasional 2022 kerjasama BNPT dengan Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Kalimantan Barat (republika.co.id, 21/10/2022).
Intoleransi, radikalisme, terorisme. Trilogi isu seksih yang terus didendangkan oleh rezim dan lingkarannya di berbagai kesempatan hingga kini. Lagi dan lagi. Radikalisme dinobatkan menjadi virus. Lalu moderasi beragama diluncurkan sebagai vaksin atau antivirus-nya.
Tepatkah mengajak santri "berjihad" melawan radikalisme? Realitasnya, radikalisme tak lebih dari kisah hantu. Digambarkan sebagai hal menakutkan, namun keberadaannya sulit dibuktikan. Banyak kalangan meragukannya sebagai masalah utama bangsa. Karena yang mengemuka justru kemiskinan, kesenjangan sosial, dan berbagai kejahatan remaja; gaul bebas, miras, narkoba, tawuran.
Tugas utama santri itu menjaga agama. Alih-alih demi menjaga kemurnian Islam, ajakan santri melawan radikalisme bisa jadi salah alamat. Tak hanya mengalihkan mereka dari persoalan hakiki bangsa. Bahkan kontraproduktif terhadap tugas utama menjaga agama termasuk menjalankan Islam kaffah, sebagaimana perintah Allah SWT dalam QS. Al Baqarah: 208.
Santri dalam Pusaran Agenda Global War on Radicalism
Sepekan jelang perayaan Hari Santri Nasional 2022, para santri digadang-gadang sebagai benteng masyarakat dari radikalisme terorisme. Menurut Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Nisan Setiadi S.E., para santri, ulama, dan alumni pondok pesantren berperan penting dalam menjelaskan bahaya paham radikal terorisme dan upaya pencegahannya, khususnya di lingkungan masyarakat dan ponpes. Hal ini menurutnya, sesuai dengan resolusi jihad oleh K.H. Hasyim Asy’ari yaitu sama-sama mempertahankan negara (utaratimes.pikiran-rakyat.com, 15/10/2022).
Harapan tersebut sepintas baik-baik saja. Namun bila ditelisik latar belakang isu radikalisme, kita akan menemukan bahwa ia awalnya dihembuskan oleh Barat. Kemudian dipropagandakan untuk menggerus nilai-nilai fundamental yang bertentangan dengan keyakinan sekularisme ala Barat.
Term Islam radikal pertama kali ditemukan pada pidato pertama Presiden Donald J. Trump dalam sidang kongres tanggal 28 Februari 2017. Dua kata yang tidak pernah dikatakan presiden Amerika Serikat (AS) di depan umum. Sebelumnya, Bush dan Obama memilih diksi “Perang Melawan Teror” atau “War on Terror”.
Perubahan term ini berimplikasi pada perubahan dukungan kebijakan luar negeri AS kepada negara-negara yang sejalan dengan propagandanya dalam mencengkeramkan hegemoninya di dunia ini. Indonesia termasuk di dalamnya.
Pemerintahan Bush dan Obama memilih tidak menggunakan ungkapan itu karena takut tindakan AS akan ditafsirkan sebagai perang melawan Islam dan komunitas Muslim dunia. Sementara Trump memberikan arah berbeda. Beberapa anggota penasihat presiden berpendapat bahwa AS sedang berperang melawan “terorisme radikal Islam,” atau “Islam radikal”, atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti “Islamisme.”
Istilah Islam radikal diungkapkan Trump karena ia berpikir bahwa Islam membenci AS. Ini karena sulit memisahkan antara teroris Muslim dengan ajaran Islam itu sendiri. Menurut Trump, “Can be no compromise with this form of radical Islam.”
Realitasnya, isu radikalisme tidak ditujukan kepada selain Islam dan umatnya. Sebagaimana isu terorisme sebelumnya. Islamlah yang disasar, bukan yang lain.
Meski di era kepemimpinan Joe Biden, PBB telah menggulirkan resolusi Hari Antiislamofobia 15 Maret 2022, namun realitasnya islamofobia yang mewujud pada narasi radikalisme, terorisme, dan intoleransi terhadap umat Islam terus terjadi, termasuk di negeri ini. Diduga, resolusi tersebut hanyalah lip service demi menyembunyikan permusuhan Barat terhadap kebangkitan Islam yang kian nyata.
Apalagi di era rezim sekarang, antiradikalisme ditempatkan sebagai core of the core program kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama. Tak heran bila rezim gencar melancarkan berbagai narasi dan strategi, termasuk program moderasi beragama sebagai antitesis radikalisme.
Adapun pernyataan radikalisme sebagai virus berbahaya dan musuh bersama bagi bangsa, kami kira terlalu prematur. Bagaimana bisa menyimpulkan demikian, sementara definisi secara hukumnya masih obsecure (kabur) dan lentur? Sehingga nomenklatur radikalisme berpotensi untuk dimainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan demi manfaat tertentu. Kini ia digunakan sebagai alat rekayasa penyelamatan kekuasaan yaitu sebagai alat gebuk terhadap kalangan yang berseberangan paham dengan penguasa.
Selain itu, kesimpulan tersebut akan menyeret rakyat pada pemikiran halu. Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. Justru menurut Peneliti LIPI Siti Zuhro, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019). Senada, Peneliti Belanda Beren Schot menyatakan tak setuju bila pemerintah menggunakan narasi radikalisme lantas distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id, 22/12/2019).
Faktanya, ketimpangan sosial terjadi akibat pemerintah menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Yang kaya makin kaya, si miskin kian miskin. Laporan Oxfam (2017), Indonesia masuk enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Harta empat milyader terkaya di Nusantara sebanding dengan 100 juta orang miskin.
Pun problematika yang menimpa generasi muda. Maraknya penyimpangan seksual dan kekerasan pelajar (termasuk di kalangan santri/ponpes), apakah akibat radikalisme? Jika selama ini stempel fanatik atau radikal dikaitkan pada anak Rohis, apakah mereka pelaku kejahatan remajanya? Justru kebanyakan mereka berprestasi dan tak terlibat aksi kejahatan apa pun.
Banyaknya masalah anak muda terjadi sebagai akibat penerapan sistem sekularisme liberal, yang menjauhkan agama dari kehidupan dan membebaskan manusia atas nama HAM untuk mengatur dirinya. Maka, pantaskah menuding radikalisme (yang sering ditujukan pada Islam dan pejuangnya) sebagai biang kerok kebobrokan di berbagai bidang?
Dengan demikian, pernyataan radikalisme sebagai virus berbahaya dan musuh bersama adalah kedustaan dan cenderung tendensius. Realitasnya, yang layak dijadikan virus dan musuh adalah ajaran sekularisme kapitalistik liberalistik yang telah terbukti menyebabkan kerusakan di semua lini kehidupan bangsa.
Dampak Ajakan Melawan Radikalisme bagi Para Santri
Santri adalah garda terdepan penjaga agama Islam. Menilik sejarahnya, penetapan Hari Santri karena jihad mereka melawan penjajahan di bawah komando K.H. Hasyim Asy’ari yang menyerukan fatwa “Resolusi Jihad” ke kalangan pesantren di seantero Indonesia.
Begitu urgen peran para santri saat itu dalam menjaga agama Islam dan umatnya. Mereka bertaruh nyawa demi melindungi Indonesia agar tidak dikuasai oleh kafir penjajah.
Hari ini, di tengah tantangan global dan masalah internal umat yang mendera, para santri dituntut penguasa turut bergabung dalam kancah peperangan melawan radikalisme. Hal ini akan berdampak bagi kaum penjaga agama ini, yaitu:
1. Polarisasi di kalangan santri.
Muncul kubu "santri radikal" dan "santri moderat." Sementara istilah asing seperti Islam radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian dari proyek hegemoni wacana ala Barat di dunia Islam. Tujuannya agar kaum Muslimin terpecah-belah hingga mudah terjadi konflik internal.
2. Alergi terhadap Islam kaffah.
Realitasnya, cap radikal disematkan pada orang atau kelompok yang bercita-cita menerapkan Islam kaffah dalam bingkai negara. Agar tak dicap radikal, ponpes meniadakan materi pengajaran terkaitnya. Akibatnya, mereka tak memahami gambaran Islam kaffah dalam kehidupan. Pun tak memiliki daya juang untuk menegakkannya hingga akan menghambat laju kebangkitan Islam. Inilah target utama mengajak santri melawan radikalisme.
3. Teracuni kepentingan politik pragmatis.
Radikalisme ialah alat penyelamatan kekuasaan rezim berikut kepentingan global di baliknya. Melibatkan santri dalam war on radicalism akan menyeret mereka dalam kepentingan politik pragmatis. Bukan demi kekuasaan Islam, bahkan diajak memerangi Islam itu sendiri.
4. Mengendurkan semangat amar makruf nahi mungkar.
Santri adalah kalangan paham agama. Merekalah orang yang paham kewajiban amar makruf nahi mungkar dan keutamaan menyampaikannya di hadapan penguasa. Namun keterlibatannya dalam program antiradikalisme ini akan menempatkannya dalam lingkaran yang sama dengan penguasa. Akibatnya, ia akan enggan atau takut menjalankan muhasabah lil hukam bahkan membenarkan tindakan penguasa zalim.
5. Salah memahami permasalahan bangsa yang hakiki.
Narasi radikalisme sebagai virus berbahaya dan musuh bersama akan mengalihkan hakikat permasalahan bangsa. Sejatinya, sistem sekularisme kapitalistiklah sumber masalah, bukan syariat Islam kaffah yang dituding ajaran radikal. Sebagaimana tudingan pemerintah dan kaum sekuler bahwa wacana penerapan syariat Islam adalah tindakan berlebihan, pemicu disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan lain-lain.
Berbagai dampak di atas tentu mendegradasi tugas santri sebagai penjaga agama. Alih-alih menjaga agar Islam tetap terjaga kemurniannya, ajakan santri mewaspadai dan melawan radikalisme justru kontraproduktif dengan tugas pentingnya tersebut.
Para santri justru dimotivasi untuk memusuhi ajaran agamanya sendiri. Patut diduga, ini adalah bagian dari upaya musuh melemahkan kekuatan Islam dengan menyasar kalangan strategis yaitu santri dan ponpes, selain sekolah dan perguruan tinggi.
Strategi Mewujudkan Peran Ideal Santri dalam Menjaga Agama
Mengutip dari situs resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), tema Hari Santri Nasional 2022 adalah "Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan".
Terkait tema tersebut, Menag Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa meski bisa menjadi apa saja, santri tidak melupakan tugas utamanya menjaga agama, dan menjaga martabat kemanusiaan adalah salah satu tujuan diturunkannya agama.
Tugas santri memang menjaga agama. Namun peran penting tersebut justru akan ternodai dengan meminta mereka terlibat dalam war on radicalism. Karena hakikatnya war on radicalism adalah perang terhadap Islam dan umatnya. Bagaimana mungkin para santri disuruh untuk memusuhi ajarannya sendiri?
Maka harus ada strategi agar santri tetap berperan ideal menjaga agamanya, yaitu:
1. Senantiasa mengingatkan santri akan tugas utamanya.
Sebagai penjaga agama, santri bertugas memelihara kemurnian Islam dan menjaga agar tetap dalam kekaffahannya. Agar tidak tergerogoti oleh ambisi manusia demi kepentingan duniawi atau bahkan hendak dihancurkan itu sendiri.
2. Menyempurnakan tsaqafah yang dimiliki dengan pengajaran Islam kaffah.
Tak diragukan bila santri memiliki tsaqafah Islam yang lebih tinggi dibanding Muslim pada umumnya. Jangan hanya berhenti pada tsaqafah ritual, hendaknya dilengkapi dengan pemahaman Islam secara menyeluruh (kaffah). Proses ini akan membentuk sosok pribadi santri yang lebih tangguh dan mumpuni.
3. Mendorong mereka mengamalkan serta terjun dalam dakwah Islam kaffah.
Santri bertanggung jawab secara keilmuan untuk mendakwahkan Islam kaffah ke tengah umat. Dengan bekal penguasaan terhadap tsaqafah warisan para ulama, umat akan lebih mudah mendapatkan pemahaman. Pun sebagai hujjah terhadap orang yang belum paham, para pembenci Islam, sebab hakikatnya Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi. Pemikiran Islam itu unggul dan tidak akan bisa diungguli oleh pemikiran kufur; demokrasi, sekularisme, liberalisme, dan sebagainya.
4. Membuat mereka melek politik Islam.
Penting bagi santri mengetahui peta politik kontemporer agar ia memahami posisi umat Islam dalam kancah interaksi dunia dan bangsa, mampu mengambil peluang untuk menyebarkan Islam, serta menghindarkan santri dari upaya menjadikannya sebagai corong propaganda anti-Islam seperti radikalisme.
5. Menyadarkan fungsi strategisnya dalam perubahan masyarakat islami.
Dengan tugas utamanya, santri berfungsi strategis dalam mengubah kondisi masyarakat dari jahiliyah menjadi islami. Mereka turut memahamkan umat realitas masyarakat, menggambarkan kesempurnaan Islam, serta memotivasi untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya aturan hidup dan memperjuangkan hadirnya.
Demikianlah strategi mewujudkan peran ideal santri sebagai penjaga agama Islam. Inilah pemberdayaan santri yang sesungguhnya, yaitu menerjunkan mereka ke dalam perjuangan menegakkan Islam kaffah. Dengan mengambil peran ini, para santri akan menjadi generasi terbaik sebagaimana yang Allah SWT kabarkan dalam firman-Nya,
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110)
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyrakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar