Bagaimana sanksi bagi muslim atau muslimah yang membuka aurat di tempat umum? Siapakah yang berhak menerapkan sanksi hukuman tersebut? (Faizah, bumi Allah).
Jawab :
Ada dua pertanyaan dari penanya. Pertanyaan pertama,”Apa sanksi bagi muslim atau muslimah
yang membuka aurat di tempat umum?” Jawabannya, sanksinya adalah pidana syariah yang
disebut ta’zîr. Apa itu ta’zîr? Ta’zîr adalah hukuman syariah
yang dijatuhkan untuk pelanggaran syariah yang tidak ada nash khusus mengenai jenis
sanksi-nya dan tidak ada kaffarah (tebusan)-nya. (‘Abdurrahmân Al-Mâlikî,
Nizhâm Al-‘Uqûbât, [Beirut : Dârul Ummah], Cetakan II, 1990, hlm.
17-22).
Pelanggaran syariah yang dijatuhi sanksi ta’zîr pada prinsipnya
adalah setiap perbuatan pidana atau kriminal (al-jarîmah, criminal act)
sesuai standar syariah Islam, namun tidak ada sanksinya secara khusus dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Secara garis besar, yang termasuk perbuatan pidana (al-jarîmah)
dalam Islam adalah setiap perbuatan seseorang meninggalkan yang diwajibkan
syariah atau perbuatan seseorang melakukan yang diharamkan syariah. (‘Abdurrahmân Al-Mâlikî, Nizhâm Al-‘Uqûbât,
hlm.15).
Contoh-contoh perbuatan-perbuatan seseorang meninggalkan yang diwajibkan
syariah yang sanksinya ta’zîr, misalnya :
Pertama, meninggalkan sholat wajib.
Kedua, tidak melakukan puasa Ramadhan, dengan makan atau minum pada siang hari
di bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i.
Ketiga, tidak membayar zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mâl.
Keempat, tidak menjalankan kewajiban menutup aurat bagi wanita muslimah dalam
kehidupan umum, yaitu kewajiban mengenakan kerudung (khimâr) dan jilbâb
(busana gamis longgar terusan).
Kelima, tidak membayar utang, dan sebagainya.
Contoh-contoh perbuatan-perbuatan seseorang melakukan yang haram yang
sanksinya ta’zîr, misalnya :
Pertama, melakukan transaksi riba,
Kedua, melakukan suap menyuap (risywah).
Ketiga, memberikan atau menerima hadiah gratifikasi bagi pejabat.
Keempat, melakukan khalwat (bersepi-sepi) secara berdua antara laki-laki
dengan wanita yang bukan mahramnya.
Kelima, melakukan ikhtilâth (campur baur) antara laki-laki dan wanita,
misalnya ikhtilâth di jalan umum, ikhtilâth di kendaraan umum, ikhtilâth
di sekolah dan kampus, ikhtilath di walimah nikah, dsb.
Lalu sanksi ta’zîr seperti apa yang dapat dijatuhkan oleh Qadhi
(hakim syariah) bagi pelaku pelanggaran syariah yang sanksinya termasuk ta’zîr,
khususnya untuk perbuatan muslim atau muslimah yang membuka aurat di tempat
umum?
Jawabannya, Qadhi (hakim syariah) akan menentukan jenis dan/atau kadar
hukuman ta’zîr, dari macam-macam ta’zîr yang telah ditetapkan
syariah, yang jumlahnya ada 14 (empat belas) jenis sanksi ta’zîr,
sebagaimana yang diuraikan secara rinci oleh Syekh ‘Abdurrahmân Al-Mâlikî dalam
kitabnya Nizhâm Al-‘Uqûbât.
Ta’zîr itu dapat berupa hukuman mati (al-qatl), penyaliban (ash-shalb),
penjara (al-habs), pengucilan (al-hajr) atau larangan hakim kepada
publik untuk bicara dengan terpidana, pengasingan (an-nafyu), hukuman
cambuk (al-jild) maksimal sepuluh kali cambukan, denda finansial (al-gharâmah),
pemusnahan barang kejahatan (itlâful mâl), misalnya pemusnahan narkoba,
publikasi pelaku kejahatan (at-tasyhîr) di media massa, dan sebagainya.
(‘Abdurrahmân Al-Mâlikî, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 157-175).
Khusus untuk perbuatan muslim atau muslimah yang membuka aurat di tempat
umum, Syekh ‘Abdurrahmân Al-Mâlikî sudah menjelaskan jenis sanksi ta’zîr-nya,
yaitu berupa hukuman cambuk atau berupa hukuman penjara. Syekh ‘Abdurrahmân
Al-Mâlikî menjelaskan :
كُلُّ مَنْ
كَشَفَتْ شَيْئًا مِنْ عَوْرَتِهَا غَيْرَ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا تُعاقَبُ بِالْجِلْدِ
، فَإِنْ لَمْ تَرْتَدِعْ عُوقِبَتْ بِالْحَبْسِ حَتَّى سِتَّةِ أَشْهُرٍ
“Barang siapa [perempuan] yang membuka auratnya selain wajah dan dua
telapak tangannya, maka dia dihukum dengan hukuman cambuk. Jika dia tidak menghentikan
perbuatannya [setelah dihukum cambuk], dia diancam dengan pidana penjara paling
lama enam bulan.” (‘Abdurrahmân Al-Mâlikî, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 184).
Demikian jawaban untuk pertanyaan pertama. Adapun pertanyaan kedua, yaitu “Siapakah
yang berhak menerapkan sanksi hukuman tersebut?”, jawabannya, yang berhak
hanyalah Qadhi (hakim syariah) yang mewakili Imam (Khalifah) dalam negara
Khilafah. Hanya Imam (Khalifah) saja, yang berhak menerapkan sanksi pidana
Islam, bukan yang lain. Siapa pun yang bukan Qadhi (hakim syariah) yang
mewakili Imam (Khlaifah) dalam negara Khilafah, seperti hakim dalam sebuah
sistem pemerintahan kerajaan, walaupun menerapkan Syariah Islam, demikian pula
hakim dalam sistem pemerintahan republik, walaupun menerapkan Syariah Islam,
semua itu tidak berhak secara mutlak untuk melaksanakan hukuman atau sanksi
dalam sistem pidana Islam.
Jadi, kami tegaskan sekali lagi, bahwa yang berhak melaksanakan sistem pidana
Islam adalah hanya Imam (Khalifah) yang menjadi kepala negara dalam Negara
Khilafah, atau orang yang mewakili Imam (Khalifah) itu, seperti Qadhi (hakim
syariah) dan sebagainya. Maka dari itu, secara syar’i tidak boleh ada seorang
pun juga siapa pun dia, baik dia individu, maupun kelompok, maupun negara, yang
menjalankan pidana (hukuman) yang disyariatkan, seperti hukuman potong tangan,
hukuman qishash, hukuman cambuk bagi pezina, dan sebagainya, termasuk juga berbagai
hukuman ta’zîr.
Hal itu dikarenakan pidana Islam itu dulu hanya dilaksanakan oleh
Rasulullah SAW sebagai Imam (Kepala Negara) dalam Daulah Islamiyyah, yang
kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya sebagai Imam (Khalifah) bagi
kaum muslimin dalam negara Khilafah. (Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab,
Juz XXII, hlm. 76).
Berikut ini kami sampaikan beberapa kutipan pendapat ulama yang menjelaskan
bahwa yang berhak melaksanakan pidana Islam hanyalah Imam (Khalifah) saja
sebagai kepala negara Khilafah, bukan yang lain :
(1) فِي اَلْمَوْسُوْعَةِ اَلْفِقْهيَّةِ
اَلْكُوَيْتيَّةِ : إتَّفَقَ الفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُقِيْمُ الْحَدَّ
إِلَّا اْلإِمَامُ أَوْ نائِبُهُ
(1) Dalam kitab Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa, “Para fuqoha (ahli fiqih)
telah bersepakat bahwa tidak ada yang berhak menjalankan hudûd kecuali
Imam (Khalifah) atau wakilnya (seperti Qadhi atau
hakim syariah).” (Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XVII, hlm. 144).
(2) قَالَ بْنُ
الرُّشْدِ : وَأَمَّا مَنْ يُقِيْمُ هَذَا الحَدَّ فَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ اْلإِمَامَ
يُقيمُهُ ، وَكَذَلِكَ اْلأَمْرُ فِي سَائِرِ الْحُدُوْدِ
(2) Ibnu Rusyd berkata, “Adapun siapa yang menegakkan had
(hukuman) ini [yaitu cambuk untuk peminum khamr], maka ulama telah sepakat
bahwa hanya Imam (Khalifah) sajalah yang menegakannya, demikian pula semua hudûd yang lain.” (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul
Muqtashid, Juz II, hlm. 483).
(3) قَالَ الإِمامُ
النَّوَويُّ : أَمَّا الأَحْكامُ فَإِنَّهُ مَتَى وَجَبَ حَدُّ الزِّنَا أَوْ
اَلسَّرِقَةِ أَوْ الشُّرْبِ لَمْ يَجُزْ اسْتيفاؤُهُ إِلَّا بِأَمْرِ الإِمامِ ،
أَوْ بِأَمْرِمَنْ فَوَّضَ إِلَيْهِ الإِمَامُ النَّظَرَ فِي الأَمْرِ بِإِقَامَةِ
الحَدِّ . . .
(3) Imam Nawawi
berkata, “Adapun hukum-hukum ini [hudûd], maka sesungguhnya ketika telah
wajib menjatuhkan had (hukuman) untuk perbuatan zina, pencurian, dan
minum khamr, maka tidak boleh ada yang melaksanakannya, kecuali
berdasarkan perintah Imam [Khalifah], atau perintah orang yang telah diberi
kuasa oleh Imam [Khalifah] untuk
mempertimbangkan pelaksanaan had tersebut…” (Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah
Al-Muhadzdzab, Juz XXII, hlm. 76).
Kesimpulannya, yang berhak melaksanakan berbagai sanksi pidana Islam, termasuk
berbagai hukuman ta’zîr, hanyalah Imam (Khalifah) atau orang yang
mewakili Imam seperti Qadhi (hakim syariah), dalam bingkai negara Khilafah,
bukan yang lain. Siapapun orangnya, seperti hakim dalam sebuah sistem
pemerintahan kerajaan, walaupun menerapkan Syariah Islam, demikian pula hakim
dalam sistem pemerintahan republik, walaupun menerapkan Syariah Islam, semua
itu tidak berhak secara mutlak menurut syara’ untuk melaksanakan hukuman atau
sanksi dalam sistem pidana Islam. Wallâhu a’lam.[]
Yogyakarta, 14 Oktober 2022
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi (Ahli Fiqih Islam)
0 Komentar