Empat Indikator Moderasi Beragama Bermasalah secara Normatif dan Empiris

TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi memaparkan empat indikator moderasi beragama yang bermasalah baik secara normatif maupun secara praktiknya. 

"Empat indikator itu bermasalah secara normatif dan tidak adil dalam tataran empiris atau praktiknya. Secara normatif, keempat indikator tersebut masih ambigu dan tentu saja menjadi debatable," tuturnya kepada Tintasiyasi.com, Jum'at, (11/11/2022).

Empat indikator tersebut  yaitu: Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya. 
Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.
Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Kemudian dalam keterangannya Kiai Shiddiq mencontohkan secara normatif, dalam salah satu regulasi di bawah UUD 1945, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomer 24 Tahun 2016, pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.

"Pertanyaannya, Pancasila yang mana yang lahir 1 Juni 1945?" tanyanya.

Sementara dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 menurut Kiai Shiddiq rumusannya tidak seperti lima sila yang dikenal saat ini, melainkan adalah: Sila pertama, kebangsaan Indonesia. Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Sila ketiga, mufakat atau demokrasi. Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan sila kelima, ketuhanan. Jika faktanya demikian, maka rumusan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang dikenal saat ini, yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945.

"Jadi, kalau indikator moderasi agama itu harus ada komitmen kebangsaan, maka justru Pemerintah sendirilah yang sudah melanggar komitmen kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas. Karena jelas Keppres Nomer 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945," tegasnya.

Lalu, secara empiris, lanjut Kiai Shiddiq, empat indikator moderasi agama tidak adil dalam implementasinya. Maksudnya, lebih digunakan untuk mengukur moderasi agama di kalangan warga khususnya yang muslim, tetapi tidak digunakan untuk mengukur moderasi beragama di kalangan Pemerintah itu sendiri, atau di kalangan para pendukung Pemerintah atau di kalangan non-Muslim.

"Seperti sudah dimaklumi, istilah moderasi agama sering dikontraskan dengan sikap radikalisme atau ekstremisme. Dan yang sering dituduh terpapar radikalisme, yang selalu menjadi korban dalam kebijakan Pemerintah atas nama moderasi agama ya umat Islam, rakyat Muslim," pungkasnya.[] Faizah

Posting Komentar

0 Komentar