TintaSiyasi.com -- Sobat. Takdir Allah wajib diyakini keberadaannya oleh setiap Muslim. Seorang Muslim mengimani qadha dan qadar, hikmah dan kehendak Allah SWT. Seorang Muslim harus meyakini bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT, karena Allah Maha Mengetahui sesuatu (Al-‘Alim); baik kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Kejadian apa pun bentuknya telah diketahui Allah SWT dan dituliskan di Lauh Mahfudz. Inilah pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu) Allah yang mencakup segala sesuatu.
۞وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-Anám (6): 59).
Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa kunci-kunci pembuka pintu untuk mengetahui yang gaib itu hanya ada pada Allah, tidak ada seorang pun yang memilikinya.
Yang dimaksud dengan yang gaib ialah sesuatu yang tidak diketahui hakikat yang sebenarnya, seperti akhirat, surga, dan neraka. Sekali pun manusia telah diberi Allah pengetahuan yang banyak, tetapi pengetahuan itu hanyalah sedikit bila dibanding dengan pengetahuan Allah. Amatlah banyak yang belum diketahui oleh manusia.
Sobat. Sesungguhnya Allah menciptakan alam ini dengan segala macam isinya, dilengkapi dengan aturan dan hukum yang mengaturnya sejak dari adanya sampai akhir masa adanya. Ketentuan itu tidak akan berubah sedikit pun. Kemudian Allah mengajarkan kepada manusia beberapa aturan dan ketentuan untuk meyakinkan mereka bahwa Allah-lah yang menciptakan segalanya agar mereka menghambakan diri kepada-Nya. Karena itu seandainya ada manusia yang menyatakan bahwa mereka mengetahui yang gaib itu, maka pengetahuan mereka hanyalah merupakan dugaan dan sangkaan belaka, tidak sampai kepada hakikat yang sebenarnya. Mereka pun tidak mengetahui dengan pasti akibat dan hikmat suatu kejadian. Percaya kepada yang gaib termasuk salah satu dari rukun iman.
Di antara perkara-perkara gaib yang tidak diketahui oleh manusia disebutkan dalam firman Allah:
Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal (Luqman/31: 34).
Pengetahuan tentang yang gaib hanya diketahui seseorang jika Allah mengajarkan kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya (al-Jinn/72: 26-27).
Di antara hal yang gaib yang pernah diajarkan atau diberitahukan Allah kepada nabi-nabi-Nya ialah:
Nabi Isa diajari Allah untuk mengetahui apa yang dimakan dan disimpan seseorang di rumahnya, firman-Nya: “Dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu” (ali 'Imran/3: 49).
Demikian pula kepada Nabi Yusuf, firman Allah SWT: Dia (Yusuf) berkata, "Makanan apa pun yang akan diberikan kepadamu berdua aku telah dapat menerangkan takwilnya, sebelum (makanan) itu sampai kepadamu (Yusuf/12: 37).
Kemudian Allah menerangkan keluasan ilmu-Nya, yaitu di samping Dia mengetahui yang gaib, Dia juga lebih mengetahui akan hakikat dan keadaan yang dapat dicapai panca indera manusia, Dia mengetahui segala yang ada di daratan dan di lautan sejak dari yang kecil dan halus sampai kepada yang sebesar-besarnya, sejak dari tempat dan waktu gugurnya sehelai daun, keadaan benda yang paling halus yang berada pada malam yang paling gelap, apakah keadaannya basah atau kering, semuanya ada di dalam ilmu Allah tertulis di Lauh Mahfudh.
Rasulullah SAW bersabda: Allah telah ada dan yang lain belum ada, dan adalah arsy-Nya di atas air, dan Dia menuliskan pada Lauh Mahfudh segala sesuatu dan Dia menciptakan langit dan bumi (Riwayat al-Bukhari dari 'Imran bin husain).
Dari hadis di atas dipahami bahwa segala sesuatu yang ada tidak luput dari pengetahuan Allah.
Sobat. Rasulullah SAW bersabda mengenai definisi Iman: “Yaitu Kamu Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari akhir dan beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk” (HR Muslim).
Rasulullah SAW bersabda: “Beramallah kalian semua, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah diciptakan untuknya” (HR. Muslim).
Sobat. Pembahasan masalah takdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang keluasan ilmu Allah SWT. Meskipun kita meyakini adanya takdir (ilmu) Allah SWT, kita tidak boleh mencampur-adukkan iman pada takdir ini dengan amal perbuatan manusia; karena keduanya tidak ada hubungannya sama sekali, dengan kata lain, keluasan Ilmu Allah (takdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu ataupun meninggalkannya.
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al-Layl (92) : 5-10).
Sobat. Dalam ayat ini, Allah menerangkan adanya tiga tingkah laku manusia.
Pertama, suka memberi, yaitu menolong antara sesama manusia. Ia tidak hanya mengeluarkan zakat kekayaannya, yang merupakan kewajiban, tetapi juga berinfak, bersedekah, dan sebagainya yang bukan wajib.
Kedua, bertakwa, yaitu takut mengabaikan perintah-Nya atau melanggar larangan-Nya.
Ketiga, membenarkan kebaikan Allah, yaitu mengakui nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya lalu mensyukurinya. Nikmat terbesar Allah yang ia akui adalah surga. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan beramal di dunia untuk memperolehnya, di antaranya membantu antara sesama manusia.
Kepada mereka yang melakukan tiga aspek perbuatan baik di atas, Allah akan memberikan kemudahan bagi mereka, yaitu kemudahan untuk memperoleh keberuntungan di dunia maupun di akhirat.
Sobat. Sebaliknya, ada manusia yang bertingkah laku sebaliknya. Ia bakhil, pelit, tidak mau menolong antar sesama, apalagi mengeluarkan kewajibannya yaitu zakat. Di samping itu, ia sudah merasa cukup segala-galanya. Oleh karena itu, ia merasa tidak memerlukan orang lain bahkan Allah. Akibatnya, ia sombong dan tidak mengakui nikmat-nikmat Allah yang telah ia terima dan tidak mengharapkan nikmat-nikmat itu. Akibatnya ia tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Orang itu akan dimudahkan Allah menuju kesulitan, baik kesulitan di dunia maupun di akhirat. Kesulitan di dunia misalnya kejatuhan, penyakit, kecelakaan, musibah, dan sebagainya. Kesulitan di akhirat adalah ketersiksaan yang puncaknya adalah neraka.
Manusia, bila sudah mati tanpa memiliki amal dan kemudian masuk neraka di akhirat, maka harta benda dan kekayaan mereka tidak berguna apa pun. Hal itu karena harta itu tidak akan bisa digunakan untuk menebus dosa-dosa mereka.
Sobat. Dalam hal ini, tidak ada seorang manusia pun mengetahui apa yang tertulis bagi dirinya di Lauh Mahfudz. Karena itu, seseorang tidak bisa dibenarkan jika berkata, “Saya berbuat begini karena telah ditakdirkan Allah (dituliskan oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz).” Pasalnya, dari mana ia tahu mengenai takdir Allah tersebut?
Sobat. Seharusnya manusia lebih waspada terhadap perbuatan-perbuatan yang berasal dari kehendak bebasnya Karena perbuatan itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita, harus kita imani bahwa itu adalah ketentuan Allah. Jika kejadiannya menyenangkan kita, harus kita syukuri. Jika kejadiannya menyusahkan kita, kita harus bersabar. Semuanya harus kita kembalikan kepada Allah SWT.
Sobat. Sesungguhnya menyakini adanya takdir secara benar pasti akan memberikan suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa. Pemahaman yang utuh tentang takdir ini akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, keyakinan akan takdir ini sejatinya juga akan memberikan ketabahan dan keberanian dalam membela kebenaran serta menetapi segala kewajiban yang Allah bebankan. []
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual, Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
0 Komentar