TintaSiyasi.com -- Direktur Institut Literasi Khilafah Indonesia, Septian AW menjelaskan peristiwa pengiriman delegasi Hizbut Tahrir kepada Presiden Libya Muammar Khadafi pada akhir bulan Agustus 1978 lalu. Para delegasi langsung dipanggil oleh Presiden Khadafi dan menerima perlakuan yang tidak lazim darinya.
“Tidak ada konferensi pers yang telah diatur seperti biasanya Khaddafi menerima utusan politik. Ketiganya digeledah secara kasar dan dibawa ke sebuah ruangan tempat Khadafi duduk,” ungkapnya dalam Kelas Ngaji Buku Super Intensif Sesi 20: Delegasi untuk Muammar Khadafi, Selasa (10/10/2022).
Septian menceritakan, selama empat jam berdiskusi, para delegasi berusaha meyakinkan Presiden Khadafi terkait kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan beberapa permasalahan lainnya. Sepanjang pertemuan itu pula, Khadafi mengawasi layar televisi di belakang para delegasi.
“Diskusi dimulai dengan pembahasan sejarah Libya dalam konteks perang melawan kolonialisme. Kemudian dilanjut mengenai keabsahan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Namun, Khadafi menolak argumen mereka,” jelasnya.
Septian juga menceritakan bahwa pembahasan tersebut juga mengarah pada masalah politik, termasuk keharusan bagi setiap penguasa untuk menerapkan Islam. Namun Khadafi justru menyanggah sambil memuji Mustafa Kemal Atatürk dengan idenya yaitu pemisahan agama dari negara.
Delegasi juga mencoba membahas nasionalisme Arab, mengklaim bahwa intelektual Arab telah mengambil ide-ide mereka dari orientalis dan hanya mengimpor ideologi asing ke dalam karya-karya mereka. Namun Khadafi justru tidak menggubris delegasi tersebut, sampai pada akhirnya para delegasi berkeyakinan bahwa Khadafi bukanlah sosok yang bisa diharapkan.
“Mereka tidak mendapat indikasi bahwa Khadafi bersedia mengubah pandangannya dan malah bersikeras menolak As-Sunnah,” pungkasnya.[] Nurichsan
0 Komentar