TintaSiyasi.com -- Setiap 22 Desember pasti diperingati sebagai hari Ibu. Tanggal tersebut diperingati sebagai tonggak kebangkitan para ibu. Tetapi, makin ke sini kondisi ibu makin memprihatinkan. Ibu yang seharusnya menjadi tiang negara dan pembangun generasi peradaban, seolah kehilangan fungsi dan perannya lagi. Sejatinya seremonial peringatan selalu ada. Sebagaimana contohnya tahun ini dikutip dari Republika.co.id (18/12/2022), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelar pameran bertema The Truth Inside You: Alunan Kisah Tentang Perempuan. Tema yang diangkat dalam pameran menampilkan kondisi dan peran perempuan dalam keseharian.
Namun, belum mampu mengembalikan peran dan fungsi ibu sebagai pendidik generasi dan penyumbang generasi dalam membangun peradaban. Generasi muda makin ke sini makin rusak. Dari degradasi moral hingga kriminalitas, tidak jarang dilakukan oleh remaja. Memang hal tersebut tidak selalu salahnya ibu, tetapi kondisi masyarakat dan kehidupan makin jauh dari Islam, liberal, sekuler, dan hedonis jadi penyumbang terbesar rusaknya generasi hari ini. Hal inilah yang tidak disadari negeri ini.
Membedah Peran dan Fungsi Ibu dalam Mendidik Generasi
Peran ibu dalam mendidik generasi amatlah besar, tetapi ibu tidak bisa sendirian dalam mendidik anaknya. Mereka butuh dukungan peran dan fungsi ayah, masyarakat, dan negara dalam melahirkan generasi unggul. Karena rusaknya generasi hari ini, tidak hanya diakibatkan oleh ibu, tetapi kompleks. Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan, mengapa ibu kesulitan mendidik generasi.
Pertama, sabotase peran dan fungsi ibu. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya (madrasatul ula). Banyak ibu hari ini belum disibukkan untuk mendidik anak-anaknya, tetapi disibukkan ranah ekonomi. Ibu yang seharusnya dinafkahi dan fokus untuk mendidik anak, harus rela membagi perannya membantu suami untuk mencari nafkah. Di tengah himpitan ekonomi kapitalisme yang makin susah.
Kedua, banyak ibu yang belum memahami peran dan fungsi strategisnya keluarga. Ketika ibu belum memahami perannya, ia akan kesulitan mendidik generasi. Ia anggap dengan melihat anaknya tumbuh besar dan berkembang itu sudah cukup. Padahal, namanya anak tidak hanya butuh makanan, minuman, gizi, atau uang saja. Tetapi, mereka butuh dibekali akidah yang kuat dan dididik ketakwaan pada Allah Subhanahu wata'ala sejak dini. Karena keimanan dan ketakwaan tidak bisa diwariskan tetapi harus dibentuk dan dididik oleh keluarga.
Ketiga, kapitalisme mengeksploitasi perempuan. Ketika ibu disabotase perannya, kapitalisme mengeksploitasi perempuan sebagai mesin pencetak uang. Tenaga, pikiran, bahkan tubuh perempuan dieksploitasi oleh kapitalisme untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Perempuan adalah buruh yang bisa digaji murah oleh kapitalisme. Selain itu, segala bentuk promosi dan iklan dalam pandangan kapitalisme mayoritas senantiasa menonjolkan aspek sensual yang ada pada perempuan.
Ketika perempuan atau ibu kehilangan jati dirinya dan ditunggangi oleh kepentingan kapitalisme sekuler, peran dan fungsi mereka disabotase. Disabotase hanya untuk meraih materi dan melalaikan kepentingan akhirat. Di sinilah cikal bakal perempuan tidak dihargai dan dihormati, karena dipandang dari kacamata kapitalisme.
Dampak Sabotase Potensi Ibu dalam Mendidik Generasi
Penyabotan potensi ibu dalam mendidik generasi jadi masalah serius. Sayangnya hal itu tidak disadari oleh negeri ini. Ya, seorang perempuan memang tidak bisa menjadi pemimpin negara. Tetapi, dari tangan seorang ibu, akan lahir para pemimpin peradaban. Oleh karena itu, berapa pentingnya peran ibu hingga disebut sebagai tiangnya negara. Seorang perempuan dia akan menjadi istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya.
Peran perempuan sebagai ibu dan istri akan maksimal apabila mereka memahaminya sesuai dengan cara pandang Islam. Apabila mereka tidak mengetahui dan tidak belajar peran strategis ibu dan istri dalam kacamata Islam, peran mereka akan dibajak. Apabila sudah disabotase oleh kepentingan kapitalisme, ibu dan istri atau perempuan secara umum hanya dijadikan mesin pencetak uang. Ada beberapa dampak dari penyabotan potensi ibu tersebut.
Pertama, dampak ekonomi. Gagalnya ekonomi kapitalisme menciptakan kesejahteraan telah memaksa mereka untuk menjadikan perempuan sebagai mesin penggerak ekonomi mereka. Kapitalisme menyabot peran dan fungsi ibu sebagai madrasah ula dan tiangnya negara. Kekayaan publik hanya dikuasai segelintir orang, ekonomi morat-marit, dan perempuan atau ibu jadi tumbal atas kondisi yang ada. Contohnya, mereka sibuk cari uang demi memenuhi kebutuhan pokoknya, hidup hanya berorientasi duniawi, dan melupakan akhirat.
Kedua, dampak sosial. Perempuan dan ibu dilecehkan, tidak dimuliakan dan dihormati, bahkan dieksploitasi. Sejatinya hanya Islam yang menempatkan perempuan dalam porsi yang menjanjikan. Menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peran-peran dalam Islam ini yang menyelamatkan posisi perempuan, tetapi dalam faktanya banyak yang menyerang syariat Islam dengan dalih HAM dan kebebasan. Walhasil ketika perempuan jauh dari syariat Islam, mereka dinodai dan dilecehkan demi kepentingan kapitalisme.
Ketiga, dampak politik. Perempuan boleh menjadi pemimpin dalam ranah teknis. Tetapi, perempuan ketika berpolitik tidak boleh maju sebagai pemimpin negara. Pemimpin negara dalam pandangan Islam adalah ranahnya kaum Adam. Tetapi, dalam kapitalisme, perempuan kerap dijadikan calon pemimpin negara. Sehingga ketika wanita berada dalam peran ini, bukan membawa kemaslahatan, tetapi malah membawa kemudaratan. Dalam politik perempuan, Islam menaruh perempuan sebagai pencetak para pemimpin, bukan mengambil alih kepemimpinan negara.
Islam meletakkan perempuan dengan adil. Dalam hal keimanan dan ketakwaan kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Tetapi, secara fitrah dan bentuk yang berbeda, Islam mengatur peran laki-laki dan perempuan dengan detail dan adil. Oleh karena itu, jika perempuan mau taat pada Islam, maka mereka akan mendapatkan aturan yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.
Strategi Islam dalam Menjaga Peran Ibu
Peran ibu dapat dilejitkan dan diorbitkan hanya dengan ketundukan kepada Islam. Dalam mencetak generasi memang bukan tanggung jawab ibu sepenuhnya. Harus ada keseimbangan peran ayah, masyarakat dan negara dalam mencetak generasi unggul dambaan umat. Pertama, peran ibu. Peran ibu dalam mendidik anak tidak hanya ketika anak itu lahir ke dunia. Tetapi, sebelum, sesudah menikah, dan melahirkan anak, ibu harus memiliki bekal dalam mendidik anaknya. Bekal itu sejatinya tidak jauh dari keyakinan dan ketakwaan yang dimiliki seorang ibu dalam melakukan kontrol akidah pada anak-anaknya.
Seorang ibu harus menjelaskan sedini mungkin soal ketundukan pada Islam dan konsekuensi hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Sedini mungkin, anak harus memahami siapa dia, untuk apa hidup di muka bumi ini, dan besok mati akan ke mana? Ketika ibu bisa membantu anaknya untuk menjawab tiga pertanyaan besar ini, maka ibu telah memberikan bekal hidup anaknya.
Kedua, peran ayah. Dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur'an dijelaskan peran ayah dalam mendidik anak. Ayah memiliki tanggung jawab besar dalam menancapkan akidah Islam pada anak. Ayah juga bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Ayah adalah pemimpin keluarga yang harus memimpin keluarganya agar tidak jatuh ke jurang neraka dan bisa masuk surga bersama-sama. Jadi, ayah pun tidak boleh hanya disibukkan cari uang untuk memenuhi kebutuhan jasmani keluarganya, bekal agama harus diwariskan pada istri dan anak-anaknya.
Ketiga, peran masyarakat. Kontrol masyarakat dalam mengawasi perkembangan generasi hari ini sangat penting. Karena Islam mendidik kita untuk saling peduli, bukan saling abai. Jadi, kontrol masyarakat dalam menegakkan syariat Islam penting. Jika masyarakat menemui perbuatan generasi yang tidak sesuai syariat Islam, maka wajib melakukan aktivitas dakwah. Apabila sudah ranah pidana, masyarakat harus melakukan kontrol sosial dengan melaporkan kepada pihak berwajib.
Keempat, negara. Negara adalah penegak hukum Islam. Negara adalah pelaku amar makruf nahi mungkar yang utama. Negara tidak hanya melakukan kontrol dakwah, tetapi menegakkan hukuman dan sanksi bagi pelanggar hukum Islam. Dalam Islam, tidak disebut anak-anak ketika mereka sudah balig. Jadi, hukuman akan ditegakkan kepada mereka yang telah balig. Beda dengan kapitalisme sekuler. Memilah dewasa dan anak-anak berdasarkan umur, bukan berdasarkan balig atau tidaknya. Banyak mereka yang sudah balig melakukan tindakan pidana dan kriminal tetapi dibiarkan karena umurnya dianggap masih anak-anak.
Sinergi peran antara ibu, ayah, masyarakat, dan negara dalam mendidik generasi dambaan umat sangat penting. Sinergi tersebut adalah sinergi dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Ayah dan ibu mendidik anak dengan syariat Islam. Masyarakat melakukan kontrol sosial dengan dakwah di tengah-tengah publik. Negara menegakkan hukum dan melakukan kontrol dengan amar makruf nahi mungkar. Semua bisa bersinergi ketika bersama-sama melaksanakan Islam secara paripurna dalam naungan kehidupan Islam. Kehidupan Islam hanya bisa terwujud dalam bingkai khilafah Islam.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Ketika perempuan atau ibu kehilangan jati dirinya dan ditunggangi oleh kepentingan kapitalisme sekuler, peran dan fungsi mereka disabotase. Disabotase hanya untuk meraih materi dan melalaikan kepentingan akhirat. Di sinilah cikal bakal perempuan tidak dihargai dan dihormati, karena dipandang dari kacamata kapitalisme.
Islam meletakkan perempuan dengan adil. Dalam hal keimanan dan ketakwaan kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Tetapi, secara fitrah dan bentuk yang berbeda, Islam mengatur peran laki-laki dan perempuan dengan detail dan adil. Oleh karena itu, jika perempuan mau taat pada Islam, maka mereka akan mendapatkan aturan yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.
Sinergi peran antara ibu, ayah, masyarakat, dan negara dalam mendidik generasi dambaan umat sangat penting. Sinergi tersebut adalah sinergi dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Ayah dan ibu mendidik anak dengan syariat Islam. Masyarakat melakukan kontrol sosial dengan dakwah di tengah-tengah publik. Negara menegakkan hukum dan melakukan kontrol dengan amar makruf nahi mungkar. Semua bisa bersinergi ketika bersama-sama melaksanakan Islam secara paripurna dalam naungan kehidupan Islam. Kehidupan Islam hanya bisa terwujud dalam bingkai khilafah Islam. #Lamra #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst
Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute
Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 21 Desember 2022 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
0 Komentar