TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyampaikan tujuh catatan hukum terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di tahun 2022.
"Ketika oligarki menguat, hukum yang mestinya disupremasikan atau menjadi panglima, tapi justru politik yang menjadi panglima. Yang terjadi di tahun 2022 itu lebih cenderung ke sana. Maka yang terjadi, kejadian-kejadian berikut," ulasnya dalam Diskusi Online Media Umat: Indonesia Makin Dicengkeram Oligarki dan Semakin Sekuler Radikal, di kanal YouTube Media Umat, Ahad (8/1/2023).
Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini menyebutkan yang pertama, aparat penegak hukum (APH) melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum dan diskresi ke arah penyalahgunaan wewenang.
"Saya sering mengatakan ada SSK (suka-suka kami)," ujarnya.
Kedua, rezim legislator cenderung stubborn (keras kepala), tidak aspiratif, dan cenderung mengabaikan due process of law, serta tidak patuh pada putusan pengadilan, misalnya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk masalah Perppu Cipta Kerja.
"Juga terkait KUHP. Yang ini masih banyak protes dari rakyat, tapi buru-buru disahkan," cetusnya.
Ketiga, aparat sangat represif dan bisa dikatakan kejam terhadap lawan rezim, orang-orang yang berseberangan, serta terjadi unlawfull process.
"Bahkan ada juga extrajudicial killings. Misalnya yang terakhir di bulan Maret tahun 2022, yang menimpa dr. Sunardi. Waktu itu diduga teroris," bebernya.
Keempat, sebaliknya, APH lunak pada buzzer, pemerintah, kroni, atau rezim. "Taruhlah di situ ada nama Abu Janda, Densi, Eko Kuntadi, dan pejabat-pejabat yang dalam satu rezim itu," sebutnya.
Kelima, APH merekayasa kasus atau intrik demi kepentingan politik tertentu, juga ambisi pribadi atau kelompok. Contohnya, kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan puluhan hingga ratusan aparat kepolisian.
"Dan itu bisa menjadi catatan tersendiri, apakah selama ini selalu terjadi demikian? Merekayasa kasus, banyak intrik, dan seterusnya, hingga terjadi obstruction of justice," jelasnya.
Keenam, aparat abai dan kurang serius dalam proses penegakan hukum, cenderung tidak demokratis, pun melanggar hukum. Hal ini menurutnya karena diperkirakan akan mengganggu kepentingan oknum atau sekelompok orang tertentu, misalnya dalam kasus penanganan Kanjuruhan yang mengakibatkan seratus tiga puluhan nyawa melayang.
"Tetapi itu tidak pernah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Hanya pelanggaran HAM (biasa)," ungkapnya.
Ketujuh, rakyat takut menyuarakan kebenaran dan keadilan, akibat penguasa yang represif. "Jadi rakyat itu takut dalam keadaan ini bisa dipersekusi, dipecat, dikirim ke rumah sakit atau kamar mayat," nilainya.
Berbasis data di atas, Prof. Suteki melihat ketika cara-cara pembentukan hukum masih sama pada tahun 2023, kondisi pun tak akan berbeda.
"Karena apa? Rezim yang melaksanakan, membentuk, dan menegakkan hukum itu masih sama," pungkasnya. [] Puspita Satyawati
0 Komentar