TintaSiyasi.com -- Pendahuluan
Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state).
Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik Barat pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip menentukan nasib sendiri (right of self determinism) melalui legitimasi PBB yang disetir AS. Kasus lepasnya Timor Timur tahun 1999 adalah contoh yang amat telanjang di hadapan mata kita.
Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara kafir imperialis. Prinsip “devide et impera” (farriq tasud) ternyata belum berakhir.
Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih.
Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya.
Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide kebebasan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet, dan lain-lain.
Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madan (civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lainnya.
Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.
Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan imperialisme Barat gaya baru tersebut. Maka dari itu, salah besar kalau umat Islam terus mengagung-agungkan dan mensucikan ide nasionalisme yang kafir itu, atau menganggapnya sebagai ide suci yang tidak boleh ditumpas atau dihancurkan.
Padahal, faktanya, nasionalisme telah menghancurleburkan persatuan umat. Umat Islam harus segera mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan umat pun akan tetap terseok-seok berada di pinggir-pinggir peradaban dan kehidupan secara nista di bawah telapak kaki para penjajah yang kafir.
Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa”.
Pengertian “bangsa” ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsa” kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya.
Dalam wacana ilmu politik mutakhir, pengertian “bangsa” lebih bersifat imajinatif. (Benedict Anderson, 1999).
Penduduk pesisir timur Sumatera (yang berbangsa Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang berbangsa Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Merekapun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasi” sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap satu sama lain sebagai bangsa asing.
Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasi” dirinya sebagai satu “bangsa” dengan orang Ambon.
Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang sesama bisa menjadi bangsa yang berbeda, sementara yang tidak sama bisa menjadi satu bangsa.
Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkrit.
Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa.
Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan manusia, karena dia memiliki persepsi-persepsi yang akan menentukan jatidiri mereka (secara konkrit), membentuk institusi-institusi untuk mengatur kehidupan, menetapkan orientasi dan arah hidup, menjelaskan pandangan hidup serta jenis peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya, tidak dimiliki oleh nasionalisme? (Abdus Sami’ Hamid, 1998).
Nasionalisme: Racun!
Satu hal yang mungkin tidak disadari banyak orang, temasuk umat Islam, adalah kenyataan bahwa nasionalisme sebenarnya adalah ide yang diperalat oleh Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia (Abdus Sami’ Hamid, 1998).
Negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Bila kondisi chaos sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok “hak menentukan nasib sendiri” atau isu “bangsa yang berdaulat dan merdeka” dan sebagainya.
Nasionalisme dijadikan landasan untuk menuntut kemerdekaan sekaligus untuk legitimasi perpecahan dan separatisme. Contoh kontemporer yang sangat gamblang, adalah masalah Timor Timur, yang secara sukses telah diceraikan dari Indonesia oleh Barat tshun 1999 dengan tekanan-tekanan dan senjata mematikan : jajak pendapat (baca: nasionalisme).
Contoh lain untuk fakta bahwa nasionalisme telah dimanfaatkan Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia, adalah tercerai berainya umat Islam menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme.
Benih-benih perpecahan umat ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi/zending yang sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris, dan Perancis pada pertengahan abad ke-19 di Siria dan Libanon.
Sejak tersebarnya ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris mulai menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniah, yang mereka sebut sebagai sebagai “negara Turki”.
Mereka juga menyebarkan pikiran bahwa orang Turki telah merampas Khilafah Islam dari orang Turki serta telah melanggar ketentuan syariah (Shabir Ahmed & Abid Karim, 1997, Abdul Qadim Zallum, 1990).
Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai politik di Arab dan Turki untuk menentang khilafah, seperti Partai Al Fatah Turki, partai Ittihad wa Taraqqi (Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan sebutan Turki Muda), Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian (al-Ahd).
Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-negeri Arab dari khilafah.
Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala negara Khilafah dapat dikuasai secara militer. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem (Al Quds) dan berkata, “Hari ini Perang Salib telah berakhir.”
Sejak detik itulah negeri-negeri Islam menjadi bagaikan keratan-keratan daging bangkai yang dimangsa burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot (1915) di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi negeri-negeri Islam.
Contoh-contoh di atas hanya sekelumit saja dari bahaya nasionalisme untuk umat manusia yang muncul karena adanya dominasi dan hegemoni Barat yang kafir.
Bila kita buka lebih banyak lembaran-lembaran sejarah dengan cermat, akan semakin terbukti bahwa nasionalisme hakikatnya adalah racun yang mematikan! Bukan madu yang manis seperti yang digembar gemborkan secara dusta oleh negara-negara imperialis Barat dan para penguasa kaum Muslim!
Nasionalisme Haram
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapatlah? dipahami bila Islam telah menentang dan mengharamkan ide nasionalisme itu. Tak masuk akal, alias gila, bila ide yang telah membawa penderitaan dan kesengsaraan umat manusia itu dihalalkan dan diridoi oleh agama Islam yang lurus. Nasionalisme haram karena bertentangan dengan prinsip persatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Persatuan umat adalah wajib, sementara perpecahan umat adalah haram.
Kaum Muslim adalah satu kesatuan, yang wajib diikat oleh kesamaan akidah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Allah SWT berfirman :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (Al Hujurat : 13).
Dalam Piagam Madinah (Watsiqoh Al-Madinah) disebutkan kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan :
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain.” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Juz 2 hal. 119).
Rasulullah SAW pun telah mengharamkan ikatan ashabiyah, termasuk nasionalisme :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme).” (HR. Abu Dawud).
Di samping itu, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
“Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, jelaslah kaum muslimin kini harus sadar dan membuang nasionalisme dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan ikatan nasionalisme. Selain itu, mereka juga wajib berusaha untuk mewujudkan satu institusi politik pemersatu umat Islam di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah.[]
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer
0 Komentar