Budaya Korupsi Tidak Bisa Dilepaskan dari Sistem Kapitalis Demokrasi



TintaSiyasi.com -- Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM), Agung Wisnuwardana mengungkapkan bahwa budaya korupsi, budaya hedon tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. 

"Inilah politik busuk yang terjadi di tengah-tengah kita. Bahwa budaya korupsi, budaya hedon tidak bisa dilepaskan dari system kapitalis demokrasi yang memang menumbuh suburkan budaya tersebut di tengah-tengah para pejabat publik," tuturnya dalam tayangan video, Sebagian Pajak Kita Untuk Mengongkosi Gaya Hidup Hedon Oknum Pejabat, Sabtu 25/03/2023 di kanal YouTube Justice Monitor. 

Dia menyatakan, perilaku korupsi hingga kasus pelanggaran dan penyelewengan hukum serta terungkapnya gaya hidup mewah para pejabat, membuat publik mempertanyakan manfaat peningkatan gaji dan tunjangan pejabat Kementrian Keuangan. 

"Sebagian pengamat menilai tabiat lama masih terus bertahan pada Kementrian Keuangan. Program Menteri Keuangan yang menetapkan target pendapatan dari pajak dan bea cukai, justru membuat oknum pejabat mencari-cari peluang dan mempersulit rakyat secara membabi buta guna mencapai target agar meraih tunjangan kinerja yang besarnya ratusan juta rupiah. Apalagi terkuak di depan mata publik, sebagian pejabatnya masih doyan “diduga” korupsi untuk menutupi gaya hedon mereka", Bebernya. 

Lebih lanjut Agung mengatakan, patut dipertanyakan terkait kebijakan di Kementrian keuangan yang mengeklaim melakukan reformasi birokrasi dengan gaji dan tunjangan untuk pejabat.


"Untuk apa reformasi birokrasi dan apa manfaat peningkatan gaji dan tunjangan yang besar tersebut?," tanyanya. 

Ia juga mengatakan, reformasi birokrasi bisa saja membawa perubahan pada pelayanan publik. Namun, akan terasa mustahil bila sistem yang dijalankan tidak turut dirombak karena sistem kapitalis demokrasi menciptakan pejabat yang tidak ikhlas dalam melayani masyarakat. 

"Bahkan, banyak penguasa yang berorientasi menjadikan uang sebagai panglima," ujarnya. 

Mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi, menurut Agung, meniscayakan abainya para penguasa terpilih terhadap rakyatnya. 

"Bahkan dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beberapa tahun lalu bahwa, Bupati kalo nggak punya tiga puluh miliar, ya nggak akan berani. Walikota dan Gubernur lebih tinggi lagi. Kalo dia bilang, nggak bayar, ya nol persen," pungkasnya. [] Ma’arif Apriadi

Posting Komentar

0 Komentar