TintaSiyasi.com -- Sobat. Menurut Imam Hasan Al-Banna, ukhuwah islamiyah atau persaudaraan Islam adalah ketertarikan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan akidah Islam. Ukhwuwah islamiyah adalah satu dari tiga unsur kekuatan yang menjadi karakteristik masyarakat Islam di zaman Rasululah, yaitu pertama, kekuatan iman dan akidah, kedua, kekuatan ukhuwah dan ikatan hati, dan ketiga, kekuatan kepemimpinan dan senjata.
Sobat. Ukhuwah adalah nikmat Allah, anugerah suci, dan pancaran cahaya rabbani yang Allah persembahkan untuk hamba-hambaNya yang ikhlas dan pilihan. Allahlah yang menciptakannya. Allah berfirman: “…Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu.” (QS: Ali Imran: 103). “…Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…” (QS: Ali Imran: 103).
Sobat. Ukhuwah adalah pemberian Allah, yang tidak bisa dibeli dengan apa pun. Allah berfirman: “…Walaupun kamu membelanjakan semua (kakayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka…" (QS: Al-Anfal: 63). Selain nikmat dan pemberian, ukhuwah memiliki makna empati, lebih dari sekadar simpati.
Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan seorang Mukmin dengan mukmin lainnya dalam kelembutan dan kasih sayang, bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang merasa sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya turut merasakannya.” (HR. Imam Muslim).
Dengan ukhuwah, sesama Mukmin akan saling menopang dan menguatkan, menjadi satu umat yang kuat. Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin satu sama lainnya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian lainnya.” (HR. Imam Bukhari).
Sobat. Dakwah kepada Allah dan amar makruf nahi mungkar adalah amalan para nabi, rasul, dan para ulama yang mengamalkan Al-Qur'an dan sunah. Karena itu, dakwah merupakan amalan yang mulia, paling baik, paling agung, paling banyak pahalanya di sisi Allah dan merupakan aktivitas amalan sholeh yang paling penting. Umat yang tidak ada dakwah di dalamnya adalah umat yang terlantar; umat yang dikuasai dan dirusak oleh iblis laknatullah.
Sobat. Dalam amar makruf nahi mungkar, maka mewajibkan pengembannya untuk mempelajari dan mengetahui mana yang makruf dan mana yang mungkar, mengetahui apa yang harus dikatakan dan dilakukannya. (Ngaji) Ia juga harus memulainya dari dirinya sendiri, kemudian menyuruh manusia berbuat baik dengan kejujuran setelah ia mengamalkannya. Dan harus meniatkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT, bukan untuk riya’, popularitas atau untuk meningkatkan reputasi.
Sobat. Ia juga harus bersikap lemah lembut dan bijak dalam melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah SWT.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl (16) : 125).
Sobat. Dalam ayat ini, Allah swt memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah. Jalan Allah di sini maksudnya ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.
Pertama, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul SAW diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata.
Kedua, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul SAW agar berdakwah dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:
Pertama. Pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
Kedua. Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil atau syubhat (meragukan).
Ketiga. Mengetahui hukum-hukum Al-Qur'an, paham Al-Qur'an, paham agama, takut kepada Allah, serta benar perkataan dan perbuatan.
Arti hikmah yang paling mendekati kebenaran ialah arti pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yakni pengetahuan itu memberi manfaat.
Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Ilahi, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami umat.
Ketiga, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukkan, sehingga dapat diterima dengan baik.
Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah, cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia. Orang yang melakukan perbuatan dosa karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak wajar jika kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka di hadapan orang lain sehingga menyakitkan hati.
Khutbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk melembutkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan. Namun demikian, menyampaikan peringatan dan ancaman dibolehkan jika kondisinya memungkinkan dan memerlukan.
Untuk menghindari kebosanan dalam pengajiannya, Rasul SAW menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan dengan bahan yang menimbulkan rasa takut. Dengan demikian, tidak terjadi kebosanan yang disebabkan uraian pengajian yang berisi perintah dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.
Keempat, Allah SWT menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, hendaknya Rasul membantah mereka dengan cara yang baik.
Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang mengajak mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga menemukan kebenaran.
Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian menimbulkan suasana yang panas. Sebaiknya dicipta-kan suasana nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan memuaskan.
Perdebatan yang baik ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, dan berusaha mempertahankan harga diri karena sifat-sifat tersebut sangat tercela. Lawan berdebat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai menunjukkan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama Allah SWT.
Kelima, akhir dari segala usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah SWT, karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukan orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrah insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi sesat, dan siapa pula di antara hamba yang fitrah insaniahnya tetap terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah SWT.
Sobat. Pengemban dakwah harus bersikap lapang dada, sabar, santun, menyeru manusia dengan taubat dan taufik serta mengajak mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Sebagaimana yang diajarkan Luqman dalam Al-Qur'an.
يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman (31) : 17).
Sobat. Pada ayat ini, Lukman mewasiatkan kepada anaknya hal-hal berikut:
Pertama. Selalu mendirikan salat dengan sebaik-baiknya, sehingga diridai Allah. Jika salat yang dikerjakan itu diridai Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar dapat dicegah, jiwa menjadi bersih, tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang itu, dan mereka tidak akan bersedih hati jika ditimpa cobaan, dan merasa dirinya semakin dekat dengan Tuhannya.
Nabi SAW bersabda:
Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kedua. Berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridai Allah, berusaha membersihkan jiwa dan mencapai keberuntungan, serta mencegah mereka agar tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa. Allah berfirman:
Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (Asy-Syams/91: 9-10).
Ketiga. Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa, akibat dari mengajak manusia berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang mungkar, baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan dan kemegahan, maupun dalam bentuk ke-sengsaraan dan penderitaan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan tiga hal tersebut di atas karena merupakan pekerjaan yang amat besar faedahnya bagi yang mengerjakannya dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat.
Sobat. Keberhasilan dakwah butuh jalinan ukhuwah Islamiyyah dan Kesungguhan dalam menolong agama Allah, Maka pastilah Allah akan memperkuat kedudukan kaum muslimin. Dakwah kelangsungan hidup Islam tidak bisa dilakukan sendirian, namun harus berjamaah, memiliki fikrah dan thariqah yang jelas berdasarkan Islam, dibangun dengan landasan Aqidah Islam serta konsep yang jelas. Dipimpin oleh seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi terhadap Allah dan Rasul-Nya dan memiliki anggota jamaah yang ikhlas dan paham ajaran Islam. []
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual
0 Komentar