TintaSiyasi.com -- Bila hukum ditegakkan namun tidak memenuhi rasa keadilan, lantas? Pertanyaan ini mungkin mewakili kekecewaan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan saat majelis hakim menjatuhkan vonis bagi lima terdakwa yang diduga bertanggung jawab atas penembakan gas air mata yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022. Tiga terdakwa divonis ringan 1 tahun hingga 1 tahun 6 bulan, sisanya divonis bebas.
Senada, Aremania menilai vonis tersebut sesuai prediksi yaitu tak ada keadilan dari sidang yang digelar, bahkan menyebutnya sebagai dagelan semata (detiknews, 17/3/2023). Tak puas, ratusan
mahasiswa di Malang menggelar demonstrasi. Menurut mereka, vonis tersebut jauh dari keadilan. Pun menuntut Komnas HAM memasukkan Tragedi Kanjuruhan dalam pelanggaran HAM berat, serta mendesak Kapolri memperbaiki institusi Polri (kompas.tv, 16/3/2023).
Kritik pedas dilontarkan sejumlah lembaga sipil. Amnesty Internasional Indonesia memandang, pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat, meski sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak terlibat. Bila realitasnya demikian, tak berlebihan bila beberapa pihak menyebut persidangan Tragedi Kanjuruhan sebagai proses peradilan sesat (malicious trial process).
Lebih jauh, putusan vonis ringan dan bebas bagi terdakwa Tragedi Kanjuruhan seolah mengirimkan pesan berbahaya bahwa aparat keamanan dapat bertindak bebas dengan tanpa konsekuensi hukum. Hingga dugaan, proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan dalam Tragedi Kanjuruhan.
Negeri ini sepertinya dalam bayang-bayang industri hukum. Sebuah praktik hukum di mana orang benar dibuat salah dan yang salah dibuat benar. Kala penegakan hukum mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan, serta lebih berorientasi pada untung rugi. Atau demi melayani kepentingan satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya.
Vonis Bebas bagi Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Bentuk Peradilan Sesat
Bila ada pihak yang menilai persidangan Tragedi Kanjuruhan sebagai proses peradilan sesat, ini bukanlah hal baru. Pada tahun 1999 di level dunia, Ahli hukum Amerika, William T. Pizzi telah menulis buku berjudul “Trials Without Truth (Peradilan Tanpa Kebenaran).” Seperti judulnya, buku ini berisi kritik tajam atas bobroknya sistem peradilan yang berjalan waktu itu, khususnya di Amerika dan Inggris.
Dan saat ini, dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pun telah berubah. Dari peradilan untuk “searching the truth and justice (pencarian kebenaran dan keadilan)” menjadi sistem peradilan yang tak ubahnya sebagai ajang gladiator, demi mencari “the winner and the loser.” Dalam hal ini, the quality of one’s lawyer dan the composition of the jury lebih diutamakan untuk menghasilkan putusan daripada kualitas pembuktian.
Sistem peradilan di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat benar. Juga praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan sebaliknya.
Bahkan katanya, ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tak heran jika saat ini penegakan hukum lebih berorientasi pada untung rugi dengan mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang trials without truth.
Terkait Tragedi Kanjuruhan, vonis bebas bagi dua polisi yang menjadi terdakwa, menunjukkan bahwa pengadilan dan kejaksaan tidak bisa memberikan keadilan, baik bagi korban maupun keluarganya. Bentuk ketidakadilan hukum dalam kasus ini dapat dilihat dari:
Pertama, vonis ringan dan bebas yang dijatuhkan tidak sepadan dengan banyaknya korban. Tragedi kanjuruhan menyebabkan 135 orang meninggal dan ratusan luka-luka, sementara terdakwa hanya divonis paling lama 1 tahun 6 bulan, bahkan ada yang dibebaskan karena dianggap tidak bersalah.
Kedua, tidak ada satu pun polisi penembak gas air mata di Stadion Kanjuruhan yang ditetapkan sebagai tersangka. Justru yang jadi tersangka dan terdakwa bukan pelaku penembakan. Jadi 'wajar' dalam pengadilan hakim membebaskan terdakwa karena bukti-bukti tidak mengarah kepada yang memerintahkan. Seharusnya pelaku penembakan dihadirkan ke persidangan sebagai terdakwa, tapi itu tidak dilakukan.
Ketiga, rekonstruksi di penyidikan berbeda dengan video yang beredar di masyarakat soal gas air mata yang diarahkan ke tribun. Dalam rekonstruksi, tidak menggambarkan aparat yang menembakkan gas air mata secara vertikal ke tribun penonton, melainkan horizontal ke arah lapangan. Ada pengaburan fakta penembakan gas air mata ke bagian tribun penonton, hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter baik di dalam maupun di luar stadion yang tidak diungkap secara utuh.
Keempat, hasil ekshumasi (penggalian kembali terhadap mayat yang telah dikubur) menyatakan bahwa kematian dua korban (putri Devi Atik) akibat benda tumpul. Padahal tidak semua korban meninggal berdesakan di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan. Putri Devi Atok tersebut justru meninggal di tribun penonton alias tidak ada penumpukan penonton di area tersebut.
Kelima, jalannya persidangan digelar terbuka namun terbatas. Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya atas pertimbangan faktor keamanan ini membuat media dan masyarakat khususnya keluarga korban yang ingin mengikuti jalannya persidangan menjadi terbatas. Sehingga tak ada kontrol publik dalam menjaga objektivitas hakim agar menjatuhkan putusan dengan benar berdasarkan keadilan.
Keenam, hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil. Keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan minim. Komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian. Serta nampak intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan.
Demikian beberapa gejala yang mengarah pada dugaan bahwa vonis bebas bagi terdakwa Tragedi Kanjuruhan merupakan bentuk ketidakadilan hukum. Namun sepertinya sulit berharap bila penanganan Tragedi Kanjuruhan sebagai persoalan murni hukum. Karena kasus ini terkait pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia. Sehingga, benarkah tak ada conflict of interest aparat kepolisian dalam proses persidangan ini? Dengan kata lain, benarkah tak ada eksploitasi hukum demi kepentingan pihak berkuasa?
Dampak Vonis Bebas atas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan terhadap Industri Hukum
Dugaan terjadinya trials without truth terkesan telah terjadi ketika aparat penegak hukum (APH) mengutamakan kepentingan sesama APH dan pihak berkuasa. Sebuah elegi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini.
Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup ilmu aturan yang tidak beraturan bahkan chaos karena diracuni arogansi kekuasaan.
Kondisi ini menyebabkan krisis penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. Proses peradilan Tragedi Kanjuruhan telah menguatkan dugaan adanya trials without truth. Inilah pintu masuk kehancuran penegakan hukum di negeri ini.
Berikut ini adalah dampak buruk vonis bebas atas terdakwa Tragedi Kanjuruhan terhadap industri hukum:
Pertama, memperkuat kesan impunitas (kebal hukum) terhadap aparat keamanan yang diduga bertanggung jawab atas kekeliruan tindakan di lapangan. Kurangnya akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan, termasuk mereka yang berada di tataran komando, membuat mereka bebas bertindak tanpa konsekuensi hukum.
Kedua, menegaskan terjadinya eksploitasi hukum demi kepentingan pihak berkuasa. Hukum menjadi alat rekayasa penyelamatan jabatan dan kekuasaan.
Ketiga, negara hukum (rechtsstaat/law state) berubah menjadi negara polisi (police state). Dalam negara hukum, kedudukan penguasa (aparat keamanan) dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat). Yang membedakan hanya fungsinya, yakni penguasa mengatur dan rakyat diatur. Pedomannya satu yaitu undang-undang. Pada prinsipnya equality before the law adalah tidak ada tempat bagi "backing" yang salah, melainkan undang-undang merupakan "backing" terhadap yang benar.
Keempat, mengarah pada terjadinya Indonesia corporation. Negara akan menjelma menjadi perusahaan raksasa berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa bisa jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya negara dan swasta, sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah yang diinginkan, ketika negara hukum bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?
Demikianlah dampak vonis bebas atas terdakwa Tragedi Kanjuruhan yang kian mengeksiskan industri hukum di negeri ini. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (rule of law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana penguasa (aparat keamanan) menggunakan perangkat hukum sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan nan represif. Inilah yang membuat wajah penegakan hukum menjadi bopeng.
Vonis Adil atas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan agar Penegakan Hukum Tidak Terjebak Industri Hukum
Compang-campingnya penegakan hukum dan sistem peradilan di negara ini tidak terlepas dari sumber hukum yang menjadi rujukan dalam penerapannya. Sumber hukum yang berasal dari produk ciptaan akal manusia yang terbatas dan tidak dibangun berlandaskan akidah atau wahyu Sang Pencipta. Tak mengherankan bila dalam penerapannya kerap menimbulkan ketimpangan, polemik, dan masalah baru lainnya.
Alih-alih menjadikannya sebagai solusi, yang terjadi justru menimbulkan berbagai masalah. Itulah penerapan hukum yang terjadi dalam negara demokrasi yang sarat kepentingan dan cenderung untuk melindungi kelompok atau orang tertentu saja. Sistem yang terbukti gagal atau utopis dalam memberikan rasa keadilan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan hukum bersumber dari Sang Pencipta alam semesta. Dia-lah yang Maha Adil dalam menimbang segala perkara. Maka bila menghendaki vonis adil agar penegakan hukum tak terjebak pada industri hukum (termasuk dalam kasus Tragedi Kanjuruhan), negara mesti menerapkan sistem hukum yang berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum yang diajarkan Islam, ajaran hidup yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini.
Islam jelas mensyariatkan agar penegakan hukum dilakukan secara adil, yaitu:
Pertama, tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8)
Kedua, tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2)
Ketiga, hukum berlaku untuk semua. Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum sehingga seolah ada individu atau kelompok orang yang kebal hukum, sebagaimana yang nampak dari vonis bebas terdakwa Tragedi Kanjuruhan.
Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)
Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi/tebang pilih. Frasa “orang dekat atau orang jauh” maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau yang bangsawan/pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga kedekatan dari sisi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, atau orang-orang dalam lingkaran kekuasaan dan pendukung rezim.
Selain itu, hadis ini juga mengingatkan jangan sampai komentar-komentar orang mempengaruhi penegakan hukum. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban.
Rasul SAW pun memperingatkan bahwa penegakan hukum secara diskriminatif akan menyebabkan kehancuran masyarakat.
“Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri mereka biarkan, dan jika orang lemah mencuri mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis di atas menegaskan asas persamaan di muka hukum. Tidak seorang pun punya hak istimewa dan kebal hukum. Rasul SAW memperingatkan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan asas ini menjadi penyebab kemunduran, kerusakan, bahkan kebinasaan masyarakat.
Dengan demikian, bila menginginkan sistem hukum berkeadilan secara hakiki, ini akan sulit diraih dalam sistem hukum berasas sekularisme demokrasi kapitalistik seperti saat ini. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Maha Adil. Mari berjuang mewujudkannya!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik-Media)
0 Komentar