TintaSiyasi.com -- Menanggapi tuntutan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) tentang kenaikan Dana Desa hingga Rp300 triliun, Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al-Maroky, M.Si menilai ini cara pandang kapitalistik.
“Menurut saya ini salah satu catatan saya yang paling krusial adalah dia sangat berpandangan Kapitalistik,” ujarnya di acara Rubrik Catatan Peradaban dengan tema Kepala Desa Minta Dana Desa Naik Hingga 300T, Ada Apa? di YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (23/3/2023).
Menurut Wahyudi, basis dari kekuatan masyarakat desa adalah gotong royongnya, partisipasi masyarakatnya, bukan tarik dana dari pusat.
Ia menjelaskan, sebenarnya Dana Desa yang ada saat ini nilainya 1 Miliar ada yang 800 Juta, 900 juta dan seterusnya, itu sudah cukup besar buat desa dengan jumlah wilayah yang begitu kecil dengan jumlah penduduk yang tidak banyak, menurutnya dana buat satu tahun itu cukup besar buat desa.
“Jadi catatan saya yang paling penting dari aspirasi kepala desa yang mengajukan tuntutan atau aspirasi minta 10 persen alokasi APBN ini sangat kapitalistik dan bagi saya irasional,” ujarnya.
Wahyudi menjelaskan bahwa komposisi Alokasi Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibangun dari pajak, maka menurutnya 80 persen lebih diambil dari pajak, kemudian penggunaannya di split ke daerah yang begitu banyak.
Ia menambahkan, kalau desa minta 10 persen, sementara dalam APBN itu ada kewajiban pendidikan 20 persen, kesehatan 10 persen, maka sudah ada 40 persen, kemudian wajib ditransfer sekitar 30 persen untuk Dana Alokasi Umum (DAU) ke Pemerintah Daerah (Pemda), maka jumlahnya sudah ada 70 persen.
“Nah kalau Dana Desa minta 10 persen, berarti yang sisa di pusat sekitar 30 persen, itu dibagi di Kementerian. Kementerian kita ada 34, kalau dia tinggal 30% persen itu berapa kira-kira didapat, jadi kalau kita bilang berarti satu kementerian ya sekitar 1 persen,” bebernya.
Menurutnya, kalau dana APBN sebesar 3000 Triliun, maka satu Kementerian mengelola antara 10 hingga 30 Triliun untuk satu Kementerian yang mengurus seluruh Indonesia.
“Bayangkan satu Desa yang cakupnya sangat kecil, kalau betul-betul direalisasikan dengan 300 T, maka satu Desa bisa mengelola 3 hingga 4 Miliar per tahun,” ujarnya.
Kapitalis Sekuler
Selain itu, Wahyudi menilai ada kesalahan dua pihak yaitu dari pihak Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) sendiri yang meminta berlebih, juga ada dari pemerintah pusat yang ingin memanfaatkan Kepala Desa untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.
“Ini saya pikir paradigma politik praktis sudah nampak, dan akhirnya para Kepala Desa punya pandangan ideologi politik yang justru ke arah kapitalilstik, kalau saya lihat sudah sangat kapitalis sekuler,” jelasnya.
Menurut Wahyudi, orang kapitalis itu cara berpikirnya dapat apa mereka, uangnya berapa. Ia menilai itu meruntuhkan modal sosial di desa yang selama ini menjadi kebanggaan dan kekuatan pembangunan masyarakat.
“Jadi masyarakat desa itu karakteristiknya itu harusnya partisipasinya sangat kuat gotong royongnya sangat kuat, kemandirinnya sangat kuat, tinggal distimulan untuk pembangunan lebih lanjut dengan fasilitas-fasilitas tertentu yang memang harusnya dibantu pusat,” pungkasnya. []Aslan La Asamu
0 Komentar