Ramadhan Transformatif (Bagian III)

TintaSiyasi.com -- Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183). Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri" (Ar-Ra'd: 11).

Mari kita melanjutkan kembali sesi Ramadhan Transformatif seri ketiga yang akan membahas persoalan perubahan sifat-sifat individual selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Diantara sifat-sifat individu yang harus berubah menjadi lebih baik selama menjalankan puasa adalah tentang keikhlasan dalam beribadah. Ikhlas itu beramal semata karena Allah dan ridho itu kerelaan hati diatur oleh Allah.

Setiap amal perbuatan itu bergantung niat dalam hati. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Setiap amalan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya. Maka barang siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya karena dunia yang dicari-cari atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang dikehendaki." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ikhlas itu dalam hati seiring dengan niat tatkala menjalankan aktivitas ibadah. Hati adalah organ penting dalam diri manusia, karena menjadi penentu aktivitasnya. Allah sungguh melihat hati setiap manusia.  Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk-bentuk kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian dan amal-amal kalian." (HR. Muslim)

Nilai aktivitas ibadah seorang muslim pertama-tama ditentukan oleh niat yang ikhlas karena Allah dan yang kedua ditentukan oleh sejauh mana dia mengikuti sunah-sunah Rasulullah. Niat menjadi pangkal dari aktivitas ibadah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah menerima amal hanya dari orang yang ikhlas karena-Nya semata." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, jika tak ikhlas, maka amal ibadah tidak akan diterima oleh Allah. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang amalnya tidak dilandasi oleh ikhlas, maka amalnya itu tidak akan diterima oleh Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tiga hal yang tidak akan rusak: sedekah yang diberikan dengan tangan kanan yang tidak diketahui tangan kiri, doa orang tua yang saleh, dan amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah." (HR. Tirmidzi).

Puasa Ramadhan itu mengajarkan keikhlasan, melakukan ibadah semata untuk meraih ridho Allah. Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah yang bisa disebut sebagai ibadah rahasia dalam Islam. Hal ini dikarenakan puasa tidak memerlukan bentuk atau tampilan yang khusus untuk menunjukkan bahwa seseorang sedang beribadah.

Seorang muslim yang sedang berpuasa bisa saja terlihat seperti orang biasa saja, namun sebenarnya ia sedang melakukan ibadah puasa. Tidak ada satupun manusia tahu bahwa seseorang sedang berpuasa, maka disinilah pelajaran tentang keikhlasan itu. Puasa merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang yang berpuasa itu sendiri, karena ia melakukan puasa secara diam-diam tanpa perlu menunjukkan kepada orang lain.

Dengan melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan, maka umat Islam seharusnya berubah menjadi pribadi yang lebih ikhlas dalam banyak aktivitas ibadah lainnya dan menghindari sifat buruk seperti riya. Ikhlas adalah buah dari ketaqwaan, sementara ketaqwaan adalah buah dari keimanan. Dengan puasa Ramadhan, Allah sedang mengajarkan kepada seorang mukmin tentang keikhlasan. Jika tak ada iman dan taqwa, maka manusia tak mungkin menjalankan puasa Ramadhan.

Maka, dengan puasa Ramadhan, semestinya seorang muslim berubah menjadi lebih baik, yakni menjadi lebih ikhlas dalam menjalankan ibadah lainnya, seperti sholat, zakat, haji, sedekah, menuntut ilmu, mendidik anak, kehidupan suami istri, bekerja mencari nafkah, dan aktivitas lainnya. Ramadhan transformatif dikatakan berhasil jika terjadi proses perubahan setiap muslim menjadi lebih baik. Proses perubahan itu terjadi disaat melaksanakan puasa Ramadhan, dan terlebih setelah usai bulan Ramadhan nanti.

Kedudukan orang yang berhati ikhlas di hadapan Allah adalah mulia, namun tidaklah mudah menjadi seorang muslim yang berhati ikhlas. Keikhlasan itu membutuhkan waktu dan kesungguhan. Jika seseorang telah sampai pada martabat dan kemampuan untuk menyembunyikan segala kebaikan, maka dirinya telah memiliki sikap  ikhlas. Ikhlas itu ibarat air yang jernih, tak ada sedikitpun noda dan kotoran di dalamnya.

Al Qurtubi berkata, "al hasan pernah ditanya tentang ikhlas dan riya,  kemudian ia menjawab, "diantara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu." Abu Yusuf berkata, "mas'ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad ibn Ibrahim, ia berkata, "mereka (para sahabat) menghampiri seorang laki-laki pada perang al Qadisiyah."

Laki-laki itu, kaki dan tanganya putus, ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah: "Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Yaitu nabi-nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman-teman yang terbaik." (QS. An-nisa: 69)

Seseorang itu bertanya kepada laki-laki itu, "siapa engkau wahai hamba Allah." Dia menjawab, "aku adalah salah satu dari kaum Anshor." Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya. Inilah contoh orang yang telah memiliki keikhlasan. 

Sebuah kisah tentang indahnya keikhlasan terjadi dalam sebuah pertempuran dahsyat antara kaum muslimin dan kaum kafir. Ketika sang panglima perang  Khalid ibn Walid sedang memimpin pasukannya dalam sebuah  pertempuran, tanpa diduga sebelumnya, dia memperoleh surat perintah pemberhentian dirinya dari Khalifah Umat Ibn Khaththab. Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa sejak saat itu, panglima perang Khalid bin Walid diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai panglima perang, dan diharapkan segera menyerahterimakan jabatannya kepada panglima baru Ubaidillah ibn Al-Jarra sebagai penggantinya.

Keputusan Khalifah sempat membingungkan dan mengagetkan Ubaidillah. Ada apa gerangan keputusan ini diambil oleh sang khalifah. Berkat kelapangan dada dan kebesaran jiwa Khalid ibn Walid akhirnya mampu menyelesaikan persoalan pelik ini dengan baik. Keduanya sepakat untuk membicarakannya secara diam-diam tanpa diketahui oleh pasukan yang tengah bertempur. Jalan keluar yang mereka sepakati adalah membiarkan pertempuran berjalan dan pergantian dilakukan secara diam-diam sambil menunggu saat yang tepat untuk mengumumkannya.

Setelah gemuruh pertempuran sedikit mereda, barulah diumumkan kepada segenap pasukan kaum muslimin atas perintah pergantian panglima perang dari Khalifah Umar bin Khaththab tersebut. Dan saat itu Khalid bin Walid berubah status menjadi prajurit seperti yang lain dibawah komando panglima perang yang baru: Ubaidillah ibn al Jarra.

Sakit hatikah Khalid ibn Walid ? Ternyata tidak. Khalid ibn Walid dengan gigih melaksanakan semua tugas-tugas sebagai prajurit biasa. Inilah gambaran keteladanan yang luar biasa dalam sejarah umat manusia. Konon usai serah terima jabatan, beberapa anggota pasukan kaum muslimin menanyakan langsung kepada Khalid ibn Walid perihal bagaimana perasaannya tatkala beliau diberhentikan dengan hormat oleh sang Khalifah Umar dan menjadi prajurit biasa. 

Ditanyakan juga bagaimana dia bisa bersikap bijak dan rendah hati terhadap proses pergantian yang sedemikian mendadak yang cenderung tidak wajar itu. Apalagi pergantian itu dilakukan ditengah api pertempuran yang sedang membara. Tentu secara logika dilihat dari perspektif kebutuhan mental pasukan, pergantian itu terlihat tidak pantas.

Namun, Khalid ibn Walid tampaknya tumbuh sebagai panglima sejati. Maka dengan nada tenang tetapi mantap dia menjawab, "Saya berjuang bukan karena Abu Bakar yang mengangkatku, juga bukan karena Umar yang memberhentikanku, tetapi saya berjuang semata-mata karena Allah, semata-mata demi pengabdian kepada Allah". Inilah jiwa keikhlasan yang telah tumbuh dalam hati seorang pejuang sejati, Khalid ibn Walid. Seorang pejuang yang bekerja hanya dilandasi oleh keinginannya untuk mengabdi secara tulus ikhlas kepada Allah semata untuk memperjuangkan agama dan daulah Islam saat itu. 

Tampak dalam kisah ini bahwa orientasi dan motivasi Khalid ibn Walid  berjuang dengan penuh keikhlasan adalah karena membela yang haq dan membela agama yang diyakininya. Dengan kata lain dia berjuang dengan semangat pengabdian yang maha tinggi. Itulah sebabnya, soal jabatan atau pangkat tidak mempengaruhi penampilannya. Justru karena sikapnya yang demikian itulah harga dirinya menjadi mulia.

Beramal dengan hati ikhlas dengan demikian adalah bentuk aktivitas terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan kesucian hatinya sebagai manifestasi kemuliaan dirinya di hadapan Allah semata. Kesucian hatinya sebagai energi diri dalam melaksanakan berbagai amal. Seorang yang berhati ikhlas akan selalu membuang energi negatif dalam hatinya dan menggantikan dengan energi positif. Dengan demikian, orang yang berhati ikhlas tidak pernah mengeluh kepada manusia, kecuali hanya berharap kepada pertolongan Allah. Tidak ada waktu yang sia-sia dan mubazir bagi seorang yang berhati ikhlas.

Setidaknya ada empat hal sebagai indikator keikhlasan seseorang dalam melakukan segala aktivitas hidupnya, termasuk dalam menjalankan amanah dakwah. Keempat indikator itu adalah:
 
Pertama, memiliki kapasitas besar. Dengan lapang dada dan kejernihan hatinya, seorang yang ikhlas akan mampu menghadapi persoalan seberat apapun. Mereka mampu membawa diri, persoalan dan pekerjaannya dengan hati riang dan ringan sebab tidak pernah dibebani oleh kekerdilan emosi dalam berbagai bentuknya. Ketika orang lain yang telah bekerja keras maupun bekerja cerdas tidak sanggup lagi memikul pekerjaan yang berat, seorang yang bekerja dengan penuh keikhlasan mampu menembus semua keterbatasan itu dan menyelesaikan dengan sempurna.

Kedua, memiliki kejernihan pandangan. Seseorang yang telah tertanam nilai keikhlasan dalam hatinya, dengan kesucian hatinya dapat mempersepsi keadaan lebih jernih dan kemudian dapat menyimpulkan lebih proporsional terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sebenarnya keputusan yang salah lahir dari penyakit hati yang ada dalam dirinya. Dzun Nun Al Misri pernah berkata, "Keyakinan akan memperpendek angan-angan, angan-angan yang pendek akan mengantarkan pada zuhud, zuhud akan mewariskan hikmah, dan hikmah akan melahirkan kejernhan pandangan."

Ketiga, berpeluang memiliki keberuntungan besar. Seseorang yang berhati ikhlas, dengan kejernihan hatinya akan terlihat hidupnya aman dimanapun mereka berada. Bahkan ketika di daerah rawan sekalipun. Mereka yakin akan keikhlasan dirinya. Dia tidak pernah membawa maksud buruk sebab tabungan energi positifnya  (amal saleh) akan menjaga dirinya. Dikarenakan keikhlasan adalah puncak dari amal, maka wajar jika seorang yang penuh keikhlasan akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan dari berbagai sisi yang tiada pernah dia bayangkan sekalipun. Kebaikan, keberuntungan, keberkahan, ketentraman, keamanan dan kebahagiaan akan menyertai bagi orang-orang yang ikhlas.

Keempat, orang berhati ikhlas akan banyak memberi manfaat. Seorang yang berhati ikhlas dalam beraktivitas dengan kejernihan hatinya akan memiliki banyak kelebihan energi positif untuk membantu orang lain. Mereka tidak pernah kerdil dan pelit untuk membantu orang lain, sekalipun orang lain itu bisa jadi pesaingnya, bahkan mungkin musuhnya. Apalagi terhadap orang yang disayangi dan menyayangi.

Mereka tidak pernah punya halangan untuk membantu orang yang memusuhinya, karena sikap nothing to lose-nya berada di tingkat paling tinggi. Mereka akan sanggup bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan orang paling sulit sekalipun. Keikhlasan adalah sumber kemuliaan. Orang yang ikhlas adalah orang yang mulia.

Orang ikhlas bisa menjadi penengah terhadap dua orang yang konflik, karena selalu memihak pada kemuliaan. Dia bisa menjadi kakak dan motivator bagi bawahan dan rekan-rekan kerjanya. Mampu melepaskan haknya untuk membantu orang lain. Akan banyak mengeluarkan hartanya untuk meringankan beban orang yang tidak mampu. Akan mudah melepaskan harta dan barang yang dicintainya jika dibutuhkan orang lain. Karena harta tidak akan mampu menodai kejernihan hatinya.

Nah, semoga dengan tulisan di hari ketiga Ramadhan ini kita melakukan proses transformasi menjadi pribadi yang lebih ikhlas dalam menjalankan berbagai amal dengan mengambil pelajaran dari pelajaran keikhlasan dari Allah kepada seorang mukmin dalam kewajiban puasa Ramadhan. Jadikan Ramadhan tahun ini sebagai proses transformasi menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Dr. Ahmad Sastra, M.M.
(Dosen Filsafat)

 


Posting Komentar

0 Komentar