Argumentasi Mazhab Syafi'i bahwa Shalat Jumat Tidak Gugur karena Bersamaan dengan Hari Raya


TintaSiyasi.com -- Perbedaan pendapat antara Imam-imam Madzhab dalam masalah ini, terletak pada aspek penggalian masing-masing pada hadits Nabi berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود

وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي

Maksud kedua hadits tersebut adalah: karena pada hari itu terjadi dua hari raya (Yaumul Jum’at dan Yaumul ‘Ied), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan bagi orang-orang yang telah menunaikan shalat ‘Ied, jika ia menghendaki (مَنْ شَاءَ) untuk tidak mengikuti shalat Jum’at.

Pertanyaannya sekarang, siapa yang dimaksud dengan kata مَنْ شَاءَ dalam hadits tersebut? Apakah ditujukan kepada semua hadirin yang melaksanakan shalat ‘Ied atau ditujukan kepada sebagian hadirin?

Mengenai hal ini, Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab al-‘Umm, dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Ma’rifat al-Sunani wa al-Atsar bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ia berkata:

أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ قال أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: من أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ في غَيْرِ حَرَجٍ.

Artinya: Telah berhimpun dua hari atas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang suka untuk duduk (tidak shalat Jum’at) bagi ahlul ‘aliyah (penduduk desa/pedalaman), maka tetaplah duduk tanpa menanggung dosa”.

أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْل
ىَ ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مع عُثْمَانَ بن عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فقال إنَّهُ قد اجْتَمَعَ لَكُمْ في يَوْمِكُمْ هذا عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ من أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ.

Artinya: Dari Abu Ubaid, ia berkata: “Aku menyaksikan shalat ‘ied bersama Sayyidina Utsman bin Affan, beliau datang kemudian shalat, lalu ia pindah dan berkhutbah, ia berkata: “Sesungguhnya telah berkumpul bagi kalian pada hari ini yaitu dua hari raya, maka barang siapa dari ahlul ‘aliyah (penduduk desa/pedalaman) yang suka untuk menunggu shalat Jum’at maka menunggulah, dan barang siapa yang ingin kembali (ke desanya), maka kembalilah, sungguh aku mengizinkannya”.

Pada kedua riwayat tersebut bisa dipahami bahwa pemberian rukhsah/dispensasi untuk tidak melaksanakan shalat itu tidak ditujukan kepada semua orang yang hadir, akan tetapi hanya ditujukan kepada ahlul aliyah (penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat ‘Ied).

Kemudian di dalam kitab Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar disebutkan juga bahwa Imam Syafi’i berkata di dalam satu riwayat Abu Sa’id:

“Tidak boleh ini diterapkan pada seorang penduduk kota, dan hadits harus dibawa atas pengertian bagi orang yang hadir shalat ‘Ied dari selain penduduk kota, mereka boleh kembali/pulang ke desa mereka jika mereka mau dan tidak kembali (ke kota/masjid) untuk shalat Jum’at, dan sebuah pilihan bagi mereka untuk tetap bertahan hingga shalat Jum’at jika mereka mampu”.

Lebih jelas lagi, Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muhadzdzab menerangkan:

وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: “أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ” وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ.

Artinya: Apabila hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat ‘ied yang telah hadir untuk melaksanakan shalat ‘ied boleh kembali ke kampungnya, tidak perlu mengikuti shalat Jum’at. Diriwayatkan dari sayyidina Utsman radhiyallahu ‘anhu beliau bekata dalam khutbahnya: “Wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat ‘ied ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang.” Terhadap kata-kata sayyidina Utsman ini tidak seorangpun sahabat yang mengingkarinya. Kata “al-sawad” artinya: penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar (“al-aliyah”). Imam Jauhari mengatakan yaitu kawasan pegunungan di atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Makkah, Hijaz dan sekitarnya. Imam Syafi’i bekata: “Tidak boleh meninggalkan shalat Jum’at bagi salah seorang penduduk kota kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak shalat Jum’at, walaupun bertepatan dengan hari raya.”

Imam Nawawi di dalam kitab Raudhah al-Thalibin juga mengatakan:

“Ketika hari raya bersamaan dengan hari Jum’at; penduduk sebuah desa (أهل القرى) yaitu mereka yang mendengar seruan shalat ‘ied dan mereka tahu bahwa jika mereka membubarkan diri (pulang ke rumah setelah shalat ‘ied) pasti mereka akan terlambat shalat Jum’at, maka bagi mereka diperkenankan membubarkan diri (meninggalkan masjid dan kembali ke rumah) serta meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, berdasarkan pendapat yang shahih yang termaktub secara nash dalam Qaul Qadim dan Jadid. Adapun pendapat yang menyimpang (syadz) menyatakan tetap wajib bertahan di masjid”.

Ringkasnya, pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i adalah: shalat Jum’at tidak gugur bagi penduduk suatu wilayah (أَهْل الْبَلَدِ), sedangkan bagi penduduk yang dari desa lain (أَهْل الْقُرَى) ada rukhshah. Artinya, wajib menghadiri shalat Jum’at, namun boleh tidak menghadiri shalat Jum’at bagi penduduk desa atau penduduk kampung yang menghadiri shalat ‘ied dan keluar dari desanya sebelum waktu zawal (sebelum tergelincirnya matahari menjelang waktu zhuhur)

Adapun pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, juga mewajibkan menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang menyaksikan ‘ied (baik penduduk kota ataupun orang desa). Sedangkan pendapat madzhab Hanbali, kewajiban menghadiri shalat Jum’at adalah gugur bagi orang yang menghadiri shalat ‘ied, dan dia wajib melaksanakan shalat zhuhur, namun yang lebih utama adalah menghadiri shalat Jum’at demi keluar dari khilaf (perbedaan pendapat ulama’).

Wallahu a’lam. []


Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung

Posting Komentar

0 Komentar