Memaknai Al-Qur'an sebagai Pembuka Jalan Menuju Peradaban Manusia Paripurna

TintaSiyasi.com -- Al Qur’an sudah membuktikan dirinya menjadi pembuka jalan bagi manusia yang saat itu masih dalam keadaan jahil untuk memasuki sebuah peradaban yang paripurna, lengkap dalam segala dimensi kemanusiannya. Zaman ketika Al Qur’an diturunkan adalah sebuah masa yang sering disebut dengan masa jahiliyah. Mereka belum memiliki tatanan kehidupan sosial yang teratur, suka berperang dan memiliki kebiasaan buruk serta perilaku tidak baik seperti berjudi, membunuh bayi perempuan, perbudakan, menyembah berhala dan lain sebagainya.

Sebagai Kitab yang mengajarkan aturan-aturan baru, tentu Al Qur’an mendapatkan tentangan yang sangat keras dari masyarakat Arab saat itu sehingga Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah tersebut harus berjuang sekuat tenaga supaya semua itu bisa diterima.

Meskipun sebutan yang sering disematkan kepada masyarakat Arab pra Islam tersebut adalah masyarakat jahiliyah atau bodoh, tetapi sebenarnya mereka juga memiliki beberapa sifat baik seperti dermawan dan murah hati, sangat menjunjung tinggi janji yang telah dibuat dan yang sudah sangat masyhur adalah kepiawaiannya dalam merangkai syair.

Meskipun begitu sifat-sifat baiknya tersebut ternyata tidak mampu membawa mereka untuk membangun sebuah peradaban tinggi yang mampu menata kehidupan sosial yang baik. Untuk itulah Al Qur’an diturunkan sebagai pembuka jalan bagi masyarakat Arab jahiliyah menuju peradaban manusia paripurna yang berkembang sangat pesat sehingga meliputi seluruh penjuru dunia.

Dalam bulan mulia seperti saat ini, pada tanggal 17 Ramadhan Al Qur’an diturunkan, sudah sepantasnya kita melihat kembali seberapa baik kita dalam memaknai apa yang menjadi kandungan Al Qur’an sebagaimana para sahabat Nabi dan para penerusnya yang mampu menjadikannya sebagai alat untuk membangun sebuah peradaban manusia paripurna.

Umat Islam harus mau melihat ke dalam diri sendiri semua kelemahan dan kesalahan yang dilakukan, karena apabila kita sudah benar dalam memaknai dan mengaplikasikan ajaran Al Qur’an, tentu kondisi umat Islam tidak akan seperti saat ini. Hasil perenungan tersebut dipergunakan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan diri agar peradaban mulia manusia paripurna bisa segera diwujudkan sebagai kenyataan.

PERMASALAHAN

Untuk lebih mendalami lagi persoalan yang dipaparkan di atas, beberapa permasalahan di bawah ini akan dikupas lebih dalam:

Pertama, Bagaimana Al Qur’an mampu menciptakan seorang manusia yang paripurna?

Kedua, Apa yang menghalangi manusia untuk memaknai Al Qur’an secara benar?

Ketiga, Bagaimana strategi yang sebaiknya dilakukan umat Islam agar bisa memaknai Al Qur’an untuk meraih kembali peradaban agungnya?


PEMBAHASAN

Al Qur’an Mampu menciptakan Manusia yang Paripurna.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata paripurna diartikan sebagai lengkap, penuh lengkap. Pengertian manusia paripurna adalah manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat,fitrah dan yang bersifat batin lainnya. Sementara itu Ary Ginanjar dalam karyanya ”The ESQ Way 165” menjelaskan bahwa yang disebut dengan manusia paripurna adalah: 

” manusia yang mampu menyeimbangkan dimensi fisik (IQ), dimensi emosi (EQ), dan dimensi spiritual (SQ). Cara menyeimbangkan yang pertama adalah dengan jalan menyucikan dan menjernihkan hati, atau disebut Zero Mind Process, yaitu proses penjernihan titik Tuhan atau God Spot dari hal-hal yang menutup dan mengotorinya. Cara ini bertujuan untuk mengaktifkan kembali suara hati, dan suara hati merupakan cerminan suara Ilahi. Jika suara hati sudah jernih dan suci, maka langkah berikutnya adalah tajallÄ« yaitu tersingkapnya sifat-sifat dan asma Allah SWT. di dalam hatinya, kemudian seluruh tingkah lakunya adalah cerminan dari suara hatinya. ESQ adalah kecerdasan yang menentukan tingkat keberhasilan manusia dalam kehidupan, baik sebagai khalÄ«fah fÄ« al-Ard maupun sebagai hamba.”

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna “Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS: At Thin 4). Selain berupa fisik yang sempurna, manusia juga dilengkapi dengan kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan daya nalarnya, serta telah diajarkan kepadanya pengetahuan (“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,…” QS: Al Baqarah 31). Jadi manusia paripurna menurut Islam adalah manusia yang mampu mengoptimalkan seluruh perangkat yang diberikan Allah kepadanya baik berupa fisik maupun rohaniah dengan mendasarkannya dengan apa yang tertulis dalam Al Qur’an.

Disebutkan dalam Al Qur’an Surat Shaad ayat 72:

” Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.”

Hal ini menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terkandung ruh yang bersifat suci yang memberikan kemampuan seorang manusia untuk meningkatkan potensi dirinya menuju kepada tingkatan paripurna (sebagai manusia). Meskipun begitu tidak boleh dilupakan juga bahwa manusia diciptakan dari tanah yang bisa menurunkannya ke derajat yang rendah bahkan bisa lebih rendah dari hewan.

Kedua unsur dalam penciptaan manusia itulah yang kemudian dalam kehidupan di alam dunia saling mempengaruhi, yang satu mengajak kepada keburukan dan satu lagi kepada kebaikan. Sejarah panjang peradaban umat manusia menunjukkan perjuangannya dalam upaya menggapai kedudukan sebagai manusia paripurna tersebut. Dengan memakai kemampuan inteletual dan intuisi yang dimilikinya, manusia mencari, merumuskan dan mencoba mengaplikasikan teori-teori yang disusunnya,  tetapi kegagalan demi kegagalan dialami sehingga akhirnya turunlah Al Qur’an yang membuka jalan bagi terciptanya manusia yang paripurna tersebut.

Al Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang dengan tegas menyatakan tentang kebenaran isinya, seperti yang disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 2: 

“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi ‎mereka yang bertakwa.” Di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk yang lengkap dan sempurna bagi manusia agar bisa meningkatkan dirinya kepada derajat paripurna, yaitu: akidah, syariat, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, berita tentang masa yang akan datang, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan mengenai hukum yang berlaku di alam semesta (sunnatullah).

Kandungan Al Qur’an yang begitu lengkap dan dijamin benar tersebut apabila dimaknai dan diamalkan secara benar pasti akan bisa mengantarkan kepada peradaban manusia paripurna.

Beberapa Hal yang Menghalangi Manusia Untuk Memaknai Al Qur’an Secara Benar.

Nabi Muhammad SAW pernah mengeluhkan umatnya yang berpaling dari Al Qur’an dan tidak mengamalkannya, sebagimana tertulis dalam Surah Al Furqan ayat 30: 

”Dan Rasul (Muhammad) berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur'an ini diabaikan."

Bisa jadi ini merupakan sebuah peringatan akan datangnya suatu masa di mana umat Islam tidak lagi memaknai Al Qur’an secara benar bahkan cenderung mengabaikannya hingga menyebabkan seakan-akan Al Qur’an tidak bisa lagi menciptakan manusia paripurna. Padahal sejatinya manusia itu sendirilah yang tidak mau sehingga tidak mampu memaknai Al Qur’an dengan benar secara kaffah, berujung pada pengabaian terhadapnya.

Pertama, Manusia terhalang untuk memaknai Al Qur’an secara benar karena terkena penyakit hati. Beberapa penyakit hati yang bisa menyebabkan turunnya keimanan seseorang sehingga sulit untuk bisa menyerap makna-makna Al Qur’an secara benar:

a. Hasad (iri hati), yaitu perasaan iri dan dengki terhadap keberhasilan atau kebahagiaan orang lain. Orang sering mengatakan ini dengan kalimat: ”Senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang."

b. Kibir (sombong), yaitu merasa lebih unggul daripada orang lain. Orang yang terkena penyakit kibir akan meremehkan orang lain.

c. Ujub (bangga diri), yaitu perasaan sombong pada diri sendiri dan merasa bahwa prestasi yang dicapainya semata-mata karena kekuatan dan kelebihannya, dia menafikan peran Allah.

d. Riya (pamer), yaitu mengerjakan suatu perbuatan untuk mendapatkan pujian orang lain. Orang yang riya tidak ikhlas dalam beramal, senantiasa pamer dan mencari perhatian orang lain.

Kedua, Manusia memiliki tabiat buruk yang bisa menghalangi akal sehatnya dalam memaknai Al Qur’an. Saat ini tabiat buruk terlihat semakin banyak dimiliki oleh manusia modern yang bisa disaksikan dari berbagai postingan dan komentar melalui layanan media sosial yang ada dan berakibat adanya polarisasi yang semakin tajam di antara masyarakat, termasuk juga di antara umat Islam sendiri. 

Padahal Al Qur’an melalui ayat-ayatnya telah melarang dan mengecam tabiat buruk tersebut. Di bawah in adalah ebagian dari tabiat buruk tersebut:

a. Menghina, yaitu merendahkan atau mengejek orang lain. ”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” ( QS. Al Hujurat: 11)

b. Mencaci maki, yaitu mencela orang dengan kata-kata kotor yang menyakitkan. ”Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela."(QS. Al Humazah: 1).

c. Memfitnah, yaitu menuduh orang tanpa bukti. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang orang fasik membawa berita maka periksa berita tersebut dengan teliti agar tidak menyebabkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang nantinya akan menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut." (QS. Al Hujurat: 6).

Ketiga, Umat Islam terpengaruh oleh paham-paham lain yang bertentangan dengan Islam. Ideologi-ideologi yang tidak didasarkan pada Al Qur’an terbukti telah gagal membawa manusia membangun peradaban yang sesuai dengan sifat dasat kemanusiaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari semakin kacaunya tatanan kehidupan sosial seperti ketimpangan antara si kaya dengan si miskin, semakin renggangnya hubungan kekeluargaan, terjadinya dekadensi moral dan lain sebagainya.Tetapi juga harus diakui bahwa ideologi-ideologi tersebut telah dengan sangat massif mempengaruhi manusia di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali umat Islam.

Kebudayaan yang dihasilkan oleh peradaban modern yang didasari oleh ideologi-ideologi dari Barat tersebut, seperti Kapitalisme dan Sosialisme beserta turunannya: Liberalisme, Sekularisme, Komunisme, dan lain-lain, telah pula meracuni pola pikir dan perilaku sebagian besar umat Islam. Padahal hasil dari kebudayan tersebut adalah semakin teralienasinya manusia dari kemanusiaan itu sendiri. 

Disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 120: 

”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Strategi yang Sebaiknya Dilakukan Umat Islam Agar Bisa Memaknai Al Qur’an Untuk Meraih Kembali Peradaban Agungnya.

Kondisi kehidupan sosial dalam masyarakat Arab pra Islam seperti yang telah diuraikan di dalam kata pengantar di atas sepertinya mirip dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat modern sekarang ini, tentu secara substansial, bukan secara harfiah. Kebudayaan modern yang ’membunuh' kaum perempuan, ’perbudakan’ antara pemilik modal dengan buruhnya, ’penyembahan’ berhala berupa nafsu serakah, perjudian, dan lain sebagainya. Bedanya, Al Qur’an yang sudah berada dalam genggaman tangan umat Islam, seakan diabaikan dan digantikan dengan pemikira-pemikiran yang justru bertentangan dengan Al Qur’an.

Al Qur’an seharusnya bisa dipergunakan sebagai pembuka jalan untuk meraih kembali peradaban manusia paripurna sebagaimana pada masa Nabi, para Sahabat dan para penerusnya. Beberapa strategi di bawah ini mungkin bisa dijadikan alternatif:

Pertama, Umat Islam melakukan muhasabah diri untuk menelisik kelemahan dan kesalahan yang selama ini dilakukan, khususnya dalam memaknai Al Qur’an.

Bulan Ramadhan kali ini sangat tepat dijadikan sebagai momentum bagi umat Islam untuk lebih fokus melakukan proses muhasabah diri daripada muhasabah lil hukam. Tentunya apabila umat Islam saat ini telah melakukan semuanya dengan benar, artinya terhindar dari kelemahan dan kesalahan serta mampu memaknai Al Qur’an secara benar, pasti kondisinya tidak memprihatinkan seperti sekarang. Kondisi saat ini mengindikasikan masih banyaknya kelemahan dan kesalahan umat Islam, khususnya dalam memaknai Al Qur’an. 

Oleh karena itu muhasabah diri merupakan metode yang paling urgen untuk dilakukan agar umat Islam memiliki database masalah yang selama ini dihadapi untuk dipakai sebagai bahan evaluasi dan selanjutnya dipakai untuk melakukan perbaikan. Para Ulama bersama tokoh Islam sebaiknya melakukan rekonstruksi pemikiran, terutama dalam memaknai Al Qur’an, untuk kemudian disosialisasikan kepada umat Islam secara keseluruhan sehingga Al Qur’an akan menampakkan kembali mukjizatnya dalam menciptakan sebuah peradaban agung.

Kedua, Membersihkan diri dari penyakit hati dan tabiat buruk.

Puasa Ramadhan seharusnya menjadi waktu ideal untuk memutus kebiasaan negatif lama dan mengisinya dengan kebiasan baru yang lebih baik. Beberapa penyakit hati yang telah disebutkan di atas tentu semakin lama akan semakin menutupi cahaya hati yang menyebabkan tumpulnya akal pikiran dan ruhani untuk dapat memaknai Al Qur’an secara benar. Para Ulama berpendapat bahwa penyakit hati tersebut merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang bisa mematikan akal pikiran dan hati nurani manusia.

Sementara itu beberapa tabiat buruk yang semakin marak dipertontonkan dalam media sosial akan semakin mengalihkan perhatian umat Islam dari melakukan introspeksi diri yang tentunya memiliki banyak kelemahan dan kesalahan. Selain itu perilaku negatif tersebut justru akan menghabiskan waktu dan energi yang sangat diperlukan untuk melakukan perjuangan berat menegakkan kembali peradaban Islam yang mulia. 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa adanya paham-paham yang menghasilkan kebudayan kufur yang bertentangan dengan Islam akan sangat mempengaruhi olah pikir dan gerak laku umat Islam. Tetapi dalam materi ini penulis lebih menekankan kepada perbaikan diri umat Islam sendiri daripada membuang-buang waktu dan tenaga untuk mengurusi sesuatu yang memang sudah jelas letak kesalahannya, yang semua itu sebaiknya ditangani oleh para ahli di bidangnya masing-masing saja. Dengan mengadakan perbaikan diri, akan tercipta manusia-manusia paripurna yang akan menebarkan kebaikan sehingga paham-paham yang selama ini menjauhkan umat Islam dari ajarannya akan tertolak dengan sendirinya.

KESIMPULAN

Pertama, Al Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang dengan tegas menyatakan tentang kebenaran isinya, seperti yang disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 2: 

“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi ‎mereka yang bertakwa.”

Di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk yang lengkap dan sempurna bagi manusia agar bisa meningkatkan dirinya kepada derajad paripurna, yaitu: akidah, syariat, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, berita tentang masa yang akan datang, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan mengenai hukum yang berlaku di alam semesta (sunnatullah). Kandungan Al Qur’an yang begitu lengkap dan dijamin benar tersebut apabila dimaknai dan diamalkan secara benar pasti akan bisa mengantarkan kepada peradaban manusia paripurna.

Kedua, Beberapa hal yang menghalangi manusia untuk memaknai Al Qur’an secara benar:

a. Manusia terhalang untuk memaknai Al Qur’an secara benar karena terkena penyakit hati.

b. Manusia memiliki tabiat buruk yang bisa menghalangi akal sehatnya dalam memaknai Al Qur’an.

c. Umat Islam terpengaruh oleh paham-paham lain yang bertentangan dengan Islam.

Ketiga, strategi yang sebaiknya dilakukan umat Islam agar bisa memaknai Al Qur’an untuk meraih kembali peradaban agungnya:

a. Umat Islam melakukan muhasabah diri untuk menelisik kelemahan dan kesalahan yang selama ini dilakukan, khususnya dalam memaknai Al Qur’an.

b. Membersihkan diri dari penyakit hati dan tabiat buruk.

Oleh: Christiono
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar