Perang Sarung Mencuat Selama Ramadhan: Inikah Potret Buram Remaja dalam Asuhan Sistem Liberalistik?

TintaSiyasi.com -- Ramadhan adalah momen melejitkan ketakwaan, bukan ajang kekerasan. Namun realitasnya, anak muda di berbagai kota di Indonesia justru mengisinya dengan aksi brutal nan liar. Adalah perang sarung, tawuran antar-remaja dengan menggunakan sarung yang dimodifikasi yaitu dibendel dan diisi batu bermaksud mencederai lawannya.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, kejahatan jalanan oleh anak atau remaja berupa perang sarung hingga klithih meningkat. Hampir setiap hari selama bulan Ramadhan, aparat kepolisian mencegah perkelahian hingga mencapai 20 orang (detik.com, 26/3/2023). Di Jambi, 67 orang pelaku perang sarung digiring polisi dengan barang bukti belasan unit sepeda motor, sarung, botol miras, tongkat T, serta petasan (tribatanews.polri.go.id, 27/3/2023).

Sementara di Gresik,  belasan remaja pelaku perang sarung rerata usia SMP, diamankan pihak kepolisian (radargresik.jawapos.com, 30/3/2023). Fenomena balapan liar dan perang sarung yang mencuat pada Ramadhan pun kerap dilakukan remaja di beberapa daerah di Jawa Barat (kompas.com, 27/3/2023).

Kini, perang sarung tak lagi sebuah permainan atau candaan, pun bukan bentuk kenakalan remaja biasa. Tapi telah menjurus pada kriminal atau tindak pidana. Apalagi dalam aksi tersebut sering menimbulkan korban. Tentu aparat layak bertindak tegas dan memproses hukum bila terbukti ada pelanggaran pidana di dalamnya.

Ironis. Remaja Muslim semestinya menyemarakkan Ramadhan dengan beribadah dan beramal shalih, bukan beraksi kekerasan. Namun mengapa perang sarung justru mencuat di bulan mulia ini? Melihat gejalanya, fenomena ini bukanlah kasuistik namun problematika sistemis. Terus berulang setiap tahun bahkan jumlah pelakunya kian bertambah. Diakui atau tidak, inilah sebagian potret buram remaja dalam asuhan sistem hidup sekularisme liberalistik.

Perang Sarung, Kekerasan Remaja Akibat Penerapan Sistem Sekularisme Liberalistik

Ada perang sarung. Pun ada tarung sarung. Tarung sarung (Sijagang Laleng Lipa) konon merupakan tradisi suku Bugis di Sulawesi Selatan. Merupakan solusi terakhir bagi masyarakat Bugis untuk menyelesaikan konflik kedua belah pihak saat musyawarah buntu. Setelahnya, mereka tidak akan mendendam lagi. 

Ritual ini dilakukan dengan menyatukan dua pria, wakil dari pihak berkonflik dalam sebuah sarung. Mereka  bertarung hingga sama-sama mati atau hidup. Maka perang sarung yang kini marak di kalangan anak muda, tidak dapat dikatakan berakar dari sejarah tarung sarung masyarakat Bugis. Dilihat dari sejarah dan makna katanya, tarung sarung dan perang sarung merupakan dua hal berbeda. Meski keduanya menggunakan alat atau media sama, yakni sarung.

Bila kita dalami, maraknya kekerasan remaja akhir-akhir ini memang menyesakkan dada khususnya bagi para orang tua. Dari sisi pelakunya, kenekadan melakukan perang sarung dan jenis kebrutalan lainnya, salah satunya diduga untuk unjuk eksistensi diri, perasaan bangga di hadapan kelompok teman sebaya karena telah berhasil memperdaya orang lain. Tak sebatas ingin menunjukkan loyalitas teman sebaya, kadang juga bermuara dari rasa kecewa, masalah di rumah, putus cinta, lingkungan sekolah, dan pergaulan. 

Data Kepolisian DIY pernah mengungkap bahwa mayoritas pelaku klithih adalah korban broken home. Gejolak ketidakpuasan yang lantas dilampiaskan dengan perbuatan kriminal secara brutal. 
Selain itu, juga ditengarai sebagai ‘prestasi’ demi diterima menjadi bagian dari komunitas premanisme yang lebih besar yang berafiliasi dengan suatu kelompok politik maupun ekonomi.  

Lemahnya ketahanan keluarga dan menurunnya fungsi orang tua sebagai pendidik utama memang berkontribusi menciptakan kekerasan remaja. Tetapi sejatinya bukan hanya itu. Sistem kehidupan sekularisme liberalistik mempunyai andil besar atas sederet problem di masyarakat termasuk perang sarung hingga klithih. 

Telah lama sekularisme (paham pemisahan agama dari kehidupan) yang diadopsi sebagai landasan sistem pendidikan di negeri ini mencabut ruh keimanan dalam diri pelajar. Pembelajaran ilmu umum tidak dipadukan dengan aspek agama. Pendidikan agama (Islam) diajarkan sebatas ranah ibadah ritual. Dengan metode sekadar transfer pengetahuan. Dalam waktu minimalis 3-4 jam pelajaran perpekan. 

Ketika makna agama disempitkan maka iman dan takwa pun tak diizinkan mewarnai aktivitas di luar ibadah ritual termasuk  kehidupan (pergaulan) remaja. Wajar jika output pendidikan sarat dengan nilai liberal. Menjadi pribadi serba bebas, liar, dan sulit diarahkan. 

Di luar lingkungan sekolah, remaja berinteraksi dengan berbagai produk kapitalis yang mengumbar adegan kekerasan seperti games, video, dan tayangan lain yang sangat mudah diakses melalui perangkat digital. 
Gaya hidup hedonisme pragmatis yang bertumpu pada kesenangan materi sebagai tujuan hidup dan asas tindakan menambah keliaran remaja.

Sistem ekonomi neoliberal saat ini juga berkontribusi dalam memproduksi kekerasan remaja. Liberalisasi ekonomi dari hulu ke hilir berdampak pada kemiskinan struktural. Untuk dapat bertahan hidup tak hanya ayah yang mencari nafkah,  kaum ibu turut serta dalam pusaran dunia kerja. Perhatian dan pengasuhan anak pun berjalan ala kadarnya. 

Fungsi pendidik pertama dan utama sulit dijalankan oleh sang ibu. Peran ini akhirnya dilimpahkan kepada sekolah dan pengasuh. Wajar jika orang tua merasa kesulitan mengendalikan dan mengarahkan anak. Kekerasan adalah cara anak memberontak atas hilangnya kasih sayang dan perhatian dari ayah bunda. 

Di tengah masifnya arus globalisasi dan penatnya beban ekonomi, orang tua dituntut sigap membentengi anak (remaja) dari berbagai pengaruh merusak. Tak hanya berbagai solusi jangka pendek, problem ini membutuhkan tinjauan solusi jangka panjang yang memastikan penerapan sistem kehidupan yang mengakomodasi fitrah manusia menuju kebaikan dunia akhirat.

Dampak Pembiaran Perang Sarung terhadap Penegakan Hukum dalam Masyarakat

Sesuai namanya (perang sarung), sarung digunakan oleh remaja saat bertengkar sebagai senjata. Sarung  digulung, ujungnya ditali hingga membentuk bundelan lalu  diputar-putar sebagai senjata. Namun belakangan, bundelan itu diisi batu sehingga membahayakan lawan saat memukul. Wajah atau tubuh bisa terluka jika terkena sabetannya. 

Seperti fenomena lato-lato, perang sarung mewabah di kota-kota atau desa-desa di Indonesia. Semula hanya permainan, namun tindak kenakalan remaja ini telah mengarah ke ranah kriminal. 

Di berbagai tempat, aparat telah menunjukkan kesigapannya dalam mencegah dan menangkap para pelaku. Namun meski sempat diamankan, pelaku tidak dikenakan pasal-pasal kejahatan, selain hanya diberi pembinaan. Orang tua mereka dipanggil ke kepolisian dan diberi pengarahan bersama anak-anak mereka. Cukupkah? 

Andai fenomena ini tidak ditindak secara lebih tegas hingga cenderung terjadi pembiaran, maka akan berdampak buruk pada penegakan hukum di masyarakat antara lain:

Pertama, tidak ada efek jera. Terus berulangnya perang sarung yang muncul pada bulan Ramadhan menunjukkan, tindakan aparat selama ini belum sampai menimbulkan efek jera. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, anak dapat dipidana hanya ketika berusia di atas 14 tahun penjara. Dan jika tersangka belum mencapai usia tersebut, hakim hanya dapat memvonis berupa penyerahan kembali kepada orang tua atau wali, serta rujukan ke rumah sakit terdekat. Bila telah di atas usia 14 tahun namun karena pertimbangan lain pun pidana tak serta-merta bisa diberlakukan. Karena hanya dibina dan jarang diproses hukum, menyebabakan remaja tidak jera atau mengulangi perang sarung.

Kedua, perang sarung hanya dianggap sebagai bentuk kenakalan remaja bukan tindak kriminal. Bahkan ada seorang kepala daerah pernah menyatakan bahwa kekerasan semacam klithih sebagai bentuk kreativitas remaja. Bila dinilai kejadian biasa, bagaimana serius menanganinya? Padahal  banyak kasus kekerasan remaja yang menyebabkan korban berjatuhan, dari terluka hingga meninggal. 

Ketiga, kejahatan remaja menjadi semacam tren, kebanggaan, dan pembuktian kejantanan. Melihat pola kekerasan remaja akhir-akhir ini, nampak bahwa rasa takut dan malu berbuat kemaksiatan itu kian luntur. Bahkan mereka secara terang-terangan di tempat umum melakukannya. Justru seolah jadi kebanggaan dan pembuktian keberanian jiwa remajanya. 

Keempat, penegakan hukum kehilangan kewibawaan dan trust masyarakat. Bila kekerasan remaja terus terjadi, salahkah bila masyarakat menilai bahwa penegak hukum tidak berhasil menjalankan tugas? Apalagi dikaitkan dengan penanganan kasus-kasus lain yang dinilai cacat hukum. Akumulasi kasus ini berpotensi mengantarkan aparat penegak hukum mengalami krisis kepercayaan masyarakat hingga kehilangan kewibawaannya. 

Kelima, jumlah anak berhadapan hukum akan kian banyak. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Adapun anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Lalu anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri. Bila jumlah anak berhadapan hukum banyak, hal ini menjadi indikator ketidakberesan mekanisme hidup bermasyarakat sekaligus ketidakidealan fungsi remaja sebagai generasi masa depan.

Demikianlah beberapa dampak negatif terhadap penegakan hukum di masyarakat, bila perang sarung tidak disikapi secara tegas bahkan cenderung dibiarkan. Perang sarung dan segala bentuk kekerasan remaja lainnya tentu tak bisa dipandang remeh. Mengingat permasalahan generasi hari ini akan berakibat pada kehidupan bangsa di masa depan.

Strategi Mencegah Maraknya Perang Sarung yang Mengarah pada Perbuatan Kriminal

Berbagai kekerasan  remaja saat ini, salah satunya karena paradigma hidup yang tidak berlandaskan agama. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Mestinya, tindak kriminal remaja tetap terkategori sebagai pelanggaran terhadap syariat.

Dalam Islam, anak/remaja yang telah baligh akan terbebani hukum syara'. Sementara sistem hukum saat ini masih mengategorikan usia remaja sebagai anak-anak. Terkaitnya, dalam kasus-kasus kriminal yang pelakunya berusia remaja, masyarakat mulai kritis terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini. Khususnya mengenai kategori hukum untuk usia belasan tahun karena pola kejahatan mereka sudah mengerikan. 

Mengingat remaja adalah aset generasi masa depan bangsa, perlu digagas strategi untuk mencegah maraknya perang sarung yang mengarah pada perbuatan kriminal.

Pertama, faktor individu remaja. Ketakwaan adalah faktor utama agar remaja terhindar dari perilaku kekerasan. Dengan mempelajari Islam secara intensif, ketakwaan akan terbentuk dan dipupuk hingga konsisten. 

Kedua, keluarga yang optimal menjalankan fungsi sebagai tempat pendidikan utama. 

a. Meletakkan pondasi iman takwa pada ananda sebagai sebaik-baik bekal mengarungi samudera kehidupan.

b. Mengajarkan ketaatan pada segenap hukum Allah. Di satu sisi membuat anak memiliki rasa takut bila bermaksiat, dan di sisi lain penuh rasa harap akan balasan kebaikan. 

c. Menjalin bonding (ikatan emosional) erat orang tua dan anak. Bonding erat menciptakan komunikasi dua arah. Hasil dialog akan menjadi bekal bagi anak saat menghadapi masalah. Ikatan kasih sayang kuat dengan orang tua juga membuatnya berpikir ulang bila hendak berbuat hal buruk. 

d. Mengontrol perilaku anak sehari-hari. Agar orang tua mengetahui aktivitas ananda, teman pergaulannya, dan seterusnya. 

e. Khususnya pada bulan Ramadhan, orang tua mengarahkan putra-putrinya mengisi Ramadhan dengan kegiatan positif (bermanfaat) dan batasi waktu saat di luar rumah. 

Ketiga, anggota masyarakat menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar. 

a. Melaporkan ke aparat keamanan bila ada kejadian mencurigakan termasuk jika terjadi kerumunan warga atau remaja yang melakukan aksi perang sarung. 

b. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat memberikan edukasi pada para remaja bahwa perang sarung adalah aksi berbahaya dan dapat dijerat dengan pasal pidana. Terlebih sampai melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain.

Keempat, sistem pendidikan yang mampu membentuk karakter pemuda yang cerdas dan bertakwa. 

a. Menjadikan akidah Islam/keimanan sebagai dasar pendidikan. Agar setiap ilmu yang dipelajari menjadikan mereka kian beriman dan bertakwa.

b. Mencetak kepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyah) sebagai tujuan pendidikan. Remaja diarahkan menjadi pribadi cerdas demi berkontribusi bagi umat. Pun dibentuk pola pikir dan pola sikapnya agar senantiasa selaras dengan Islam. Untuk itu, pengajaran Islam diberikan kepada mereka agar menjadi petunjuk kehidupan yang praktis.

Kelima, negara sebagai penjamin utama agar remaja aman dari perilaku kekerasan. 

a. Tidak hanya membenahi sistem pendidikan, tapi juga informasi yang beredar di masyarakat tidak boleh ada yang mempertontonkan perilaku kekerasan sebagai hal biasa. Negara harus berani memblokir media yang tayangannya tidak mendidik. 

b. Menjaga sistem interaksi antaranggota masyarakat agar tidak ada perbuatan membahayakan mereka.

c. Mewujudkan sistem ekonomi yang menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan individu secara makruf. Sehingga para orang tua lebih optimal menjalankan tugas mendidik anak. 

d. Menerapkan sistem sanksi tegas. Agar orang berpikir seribu kali jika melakukan tindak kekerasan yang sama serta benar-benar membuat jera pelakunya.

Hanya saja, mampukah tatanan kehidupan saat ini yang berlandaskan sistem sekularisme liberalistik merealisasikan keidealan di atas? Karena justru sistem inilah yang berandil besar dalam menciptakan kekerasan remaja.

Bila berkehendak mewujudkan generasi muda tanpa kekerasan, mengembalikan mereka pada fitrah kemanusiaannya adalah kuncinya. Dan Islamlah sistem yang mampu mewujudkannya. Karena ia bersumber dari hukumnya Allah SWT, Dzat pencipta dan pengatur manusia serta alam semesta.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analisis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar