Perempuan dalam Jeratan Narasi Radikalisme, Mengapa?


TintaSiyasi.com -- Radikalisme, terorisme, dan ekstremisme ternyata masih menjadi trilogi isu 'seksi' pada tahun 2023. Buktinya, narasi tersebut masih sering dilontarkan oleh penguasa dan lembaga pendukungnya, serta diekspos oleh media. Dan akhir-akhir ini, kaum hawa tak luput dari sasaran pengguliran narasi radikal-radikul yang seolah tak kunjung henti. 

Salah satunya terungkap dari acara Perempuan Teladan, Optimis, dan Produktif (TOP) bertajuk 'Cerdas Digital Satukan Bangsa-Pelibatan Masyarakat dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme' oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY, di Lantai 2 Gedung Prof. Dr. Soenarjo (Convention Hall) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (30/3/2023). Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Nisan Setiadi menyatakan, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang menyasar siapa saja, paling rawan menyasar generasi muda dan perempuan. Menurutnya, kaum perempuan kini bukan lagi sekadar berpeluang menjadi korban, melainkan berpotensi sebagai pelaku utama aksi terorisme.

Ia menyebut, salah satu ciri orang terpapar paham radikal adalah antipemerintah, anti-NKRI, anti-UUD'45, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Sementara ia menilai, perempuan atau ibu-ibu adalah sosok kuat yang  mendukung kesuksesan suami, anak-anak, dan keluarganya. Dengan memiliki kecerdasan digital, diharapkan perempuan/ibu bisa membentengi anak-anak dan keluarganya dari bahaya paham radikalisme dan terorisme. 

BNPT pun mendorong peran serta perempuan dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Salah satunya lewat implementasi pengarusutamaan gender dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE).  Hal ini dinilai sangat relevan karena perempuan rentan menjadi sasaran ekstremisme berbasis kekerasan (bnpt.go.id, 28/2/2023).

Narasi radikalisme yang gencar menyasar perempuan, tentu menyisakan sejumlah persoalan. Saat kaum hawa dituding menjadi agen radikalisasi hingga menjadi sasaran program antiradikalisme, ini menunjukkan bahwa peran strategis mereka sebagai pendidik generasi sangat diperhitungkan. 

Perempuan dalam Arus Global War on Terrorism

Tren keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme beberapa waktu lalu, memunculkan berbagai spekulasi. Terpapar radikalisme, lantas melakukan aksi terorisme. Demikian biasanya jalinan kisah yang digambarkan. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, fenomena ini sebagai bukti kerentanan perempuan terjerumus radikalisme. Disebabkan faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta doktrin yang menginspirasi, hingga perempuan nekat beraksi terorisme (TEMPO.CO, 4/4/2021).

Adapun ringkasan laporan riset Wahid Foundation bertajuk Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan (Riset Lima Wilayah: Bogor, Depok, Solo Raya, Malang dan Sumenep) tahun 2017, menyebutkan bahwa proses radikalisasi umumnya berlangsung dari tahap intoleransi, radikalisasi ideologi, lalu radikalisasi perilaku. Riset ini mengeksplorasi definisi radikalisme ala Omar Ashour, dosen senior di Institute of Arab and Islamic Studies, Universitas Exeter Inggris. 

Menurutnya, hal yang membedakan gerakan radikal dan moderat terletak pada dukungan terhadap nilai dan prinsip demokrasi seperti legitimasi pluralisme, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, sistem Pemilu, dan lainnya. Jika kelompok moderat mendukung nilai dan prinsip itu, maka kelompok radikal cenderung menolaknya.

Anshour lalu membagi gerakan radikalisme dalam dua tipologi; radikalisme ideologis dan radikalisme tingkah laku. Kelompok pertama adalah mereka yang secara ideologis menolak nilai dan prinsip demokrasi namun tidak setuju dengan penggunaan cara-cara kekerasan. HTI dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Sedang kelompok kedua, selain menolak nilai dan prinsip demokrasi, mereka juga mendukung atau berpartisipasi dalam aksi kekerasan untuk menggantikannya. Jamaah Islamiyah masuk dalam kategori ini.

Menurut hasil riset ini, faktor penarik perempuan masuk dalam lingkaran radikalisme adalah pertama, relasi sosial personal. Hubungan kekeluargaan dan pertemanan menjadi alasan perempuan mendukung kelompok intoleran dan radikal.

Kedua, ideologi. Dipandang mampu menarik perhatian seseorang yang sedang mengalami titik jenuh dan melakukan pencarian. Narasi kelompok radikal disebut  mudah dipahami, menjawab masalah sehari-hari, memiliki detil interpretasi jelas dan rinci mengenai Islam yang “benar’ versi mereka.

Ketiga, tawaran ekonomi. Iming-iming bahwa khilafah Islam akan lebih memperbaiki kondisi ekonomi diminati oleh perempuan yang berasal dari kelompok ekonomi lemah.

Dari pernyataan di atas, nampak adanya upaya melekatkan narasi radikalisme dengan kelompok-kelompok Islam yang gigih menolak demokrasi dan ingin mengganti sesuai visi perjuangannya. Realitasnya, radikalisasi kelompok Islam memang masif terjadi. Hingga melahirkan dikotomi istilah Islam radikal, Islam militan, Islam fundamentalis versus Islam moderat, Islam wasathiyah, Islam Nusantara. Pun mengelompokkan umat Islam dalam kotak pecah-belah tersebut hingga membenturkan satu sama lain.

Sementara bila menyelisik latar belakang isu radikalisme, kita akan menemukan bahwa ia awalnya dihembuskan oleh Barat. Kemudian dipropagandakan untuk menggerus nilai-nilai fundamental yang bertentangan dengan keyakinan sekularisme ala Barat.

Term Islam radikal pertama kali ditemukan pada pidato pertama Presiden Donald J. Trump dalam sidang kongres tanggal 28 Februari 2017. Dua kata yang tidak pernah dikatakan presiden Amerika Serikat (AS) di depan umum. Sebelumnya, Bush dan Obama memilih diksi “Perang Melawan Teror (War on Terror)."

Perubahan term ini berimplikasi pada perubahan dukungan kebijakan luar negeri AS kepada negara-negara yang sejalan dengan propagandanya dalam mencengkeramkan hegemoninya di dunia ini. Indonesia termasuk di dalamnya.

Meski di era kepemimpinan Joe Biden, PBB telah menggulirkan resolusi Hari Antiislamofobia 15 Maret 2022, namun realitasnya islamofobia yang mewujud pada narasi radikalisme, terorisme, dan intoleransi terhadap umat Islam terus terjadi. Diduga, resolusi tersebut hanyalah lip service demi menyembunyikan permusuhan Barat terhadap kebangkitan Islam yang kian nyata.

Barat sangat memahami, umat Islam memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahan khilafah yang berpotensi menjadi negara adidaya masa depan. Pun Barat paham jika khilafah tegak, maka peradaban Barat akan hancur lebur.

Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat demi melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian nyata. Selanjutnya, Barat berkonspirasi dengan negara-negara Muslim pembebek menggelar proyek deradikalisasi Islam. 

Deradikalisasi Islam dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Barat menjalankan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan Muslimin yang berseberangan dengan ideologi sekularisme kapitalis liberal. 

Maka, bukan hal aneh jika program antiradikalisme dengan berbagai variannya masif di negeri ini. Bahkan penguasa turun tangan menjadi panglima perang WoT dan WoR. Buktinya, ini menjadi prioritas kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama yang diturunkan dalam program moderasi beragama hingga meneken Perpres RAN PE. Demikianlah, narasi radikalisme ditargetkan menjerat kalangan umat Islam (termasuk Muslimah) yang menginginkan penerapan syariat Islam kaffah.

Dampak Jerat Narasi Radikalisme kepada Perempuan terhadap Kualitas Generasi Muda dalam Keluarganya

Menyikapi tren keterlibatan perempuan (Muslimah) dalam aksi terorisme, Komnas Perempuan mengusulkan agar terus mendorong pemahaman Islam moderat. Pun mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender sebagaimana disebutkan dalam UN’s Preventing Violent Extremism Plan of Action. Berdalih semakin kuat nilai kesetaraan maka kian kuat peran perempuan menyelesaikan konflik.

Terbaru, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Nisan Setiadi, mendorong simpul-simpul organisasi perempuan mampu menjadi agen perdamaian. Caranya dengan mengorganisir massa dan menumbuhkan kesadaran bersama melawan segala bentuk propaganda kelompok terorisme, setidaknya untuk lingkungan keluarga dan organisasinya. 

Menurutnya, perempuan berperan sebagai benteng dari pengaruh paham radikal yang juga menyasar anak usia dini. Diperlukan upaya penanaman nilai kebangsaan, wawasan keagamaan, dan kearifan lokal dalam keluarga yang efektif sebagai filter menangkal penyebaran radikalisme terorisme. (republika.co.id, 2/4/2023). 

Dari beberapa wacana di atas, ditengarai bahwa tak hanya dijerat dalam narasi radikalisme, perempuan juga bakal dilibatkan dalam program antiradikalisme (deradikalisasi). Sebab  perempuan (ibu) dinilai berperan strategis dalam pencegahan radikalisme. Sebagaimana strategisnya peran mereka dalam menentukan wajah suatu negara bahkan peradaban dunia. Berikut ini dampak jerat narasi radikalisme kepada perempuan terhadap kualitas generasi muda dalam keluarganya. 

Pertama, perempuan sangat mungkin sebagai pihak yang dipersalahkan sehingga harus dibina. 
Apalagi definisi radikalisme masih abu-abu hingga saat ini. Kabur dan bersifat lentur. Bisa ditarik ulur sesuai kehendak penguasa. Saat rezim mengarahkan telunjuk radikalisme kepada umat Islam, seorang ibu yang mengajarkan Islam kaffah dan khilafah kepada putra-putrinya, berpotensi dianggap menanamkan radikalisme. Ketika seorang guru Muslimah mengajarkan jihad kepada muridnya, disebut radikal. Termasuk saat anak bisa menjelaskan makna kafir adalah siapa saja yang bukan Muslim, ini dianggap sebagai hasil radikalisasi. 

Kedua, para ibu yang mengajarkan Islam ideologis kepada anak-anak bisa jadi dituding sebagai agen radikalisasi. Ini tuduhan menyakitkan dan tidak pada tempatnya. Padahal Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum Muslimin termasuk Muslimah untuk menyampaikan Islam kaffah (Islam ideologis).

Ketiga, fungsi strategis perempuan (ibu) sebagai pendidik generasi Islam akan terpinggirkan. Bila menjalankan fungsi ini mendapat sorotan (kecurigaan) atau stempel negatif akan membuat para ibu enggan menunaikannya. Takut dicap radikal, fanatik, tidak moderat, dan seterusnya. 

Keempat, generasi muda jauh dari pemahaman Islam kaffah. Ketika para ibu (Muslimah) enggan atau tidak menunaikan fungsi pendidik, mengakibatkan generasi muda Muslim jauh dari hakikat ajaran agamanya sendiri. Islam kaffah yang seharusnya dipelajari dan dipraktikkan justru ditinggalkan. Pun mereka enggan menjadi pejuang penegak agama Allah  karena takut dicap radikal bahkan teroris. 

Kelima, kebangkitan Islam kian sulit diraih. Ketika fungsi strategis ibu dan pemuda Muslim tidak berjalan, sementara mereka adalah pilar peradaban, bagaimana mungkin harapan akan hadirnya kebangkitan Islam kembali bisa terwujud? Inilah goal sebenarnya dari war on terrorism dan war on radicalism.

Inilah beberapa dampak negatif dari gencarnya narasi radikalisme yang diarahkan pada perempuan (Muslimah) terhadap kualitas generasi muda Muslim. Maka setiap Muslimah hendaknya mewaspadai upaya atau ajakan untuk terlibat dalam program-program antiradikalisme. Pastikan bahwa keberpihakan Muslimah hanya untuk membela agama Allah dan kemaslahatan kaum Muslimin. Bukan justru demi mengokohkan hegemoni musuh-musuh Islam.

Strategi Penanggulangan Terorisme Tanpa Jerat Narasi Radikalisme terhadap Kaum Perempuan dan Generasi Muda

Semua agama tentu menolak terorisme. Terlebih Islam. Islam mengharamkan segala bentuk terorisme. Pun tidak berpihak kepada pelaku tindak terorisme, pengeboman dan lain sebagainya, dengan mengatasnamakan Islam.

Sebagaimana firman Allah, "... Barangsiapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia..." (QS. Al Ma'idah: 32)

Jelas bahwa tindakan terorisme sejatinya bukan ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan teror dan teroris bukan bagian dari Islam. Maka, bila ada yang mengaitkan ajaran Islam seperti khilafah dan jihad dengan terorisme, ini merupakan kebohongan nyata (fitnah). 

Sayangnya, isu terorisme dan radikalisme sering digoreng dengan menisbatkan pelakunya sebagai Muslim sehingga terkesan bagian dari ajaran Islam. Tengok kasus-kasus terorisme (bom). Rerata yang ditangkap lelaki berpenampilan islami; celana cingkrang, bergamis, berjenggot, istrinya bercadar/berkerudung besar. Pun di rumahnya ditemukan buku-buku agama Islam. Dan akhir-akhir ini isu terorisme dikembangkan dengan keterlibatan Muslimah berkerudung/berjilbab sebagai pelaku pengeboman. 

Oleh karena itu, perlu digagas sebuah strategi penanggulangan terorisme tanpa jerat narasi radikalisme terhadap kaum perempuan dan generasi muda. Strategi tersebut antara lain:

Pertama, adanya kesamaan persepsi terhadap istilah radikalisme dan terorisme antara aparat penegak hukum (APH) dan pejabat pemerintahan dengan masyarakat. Bila tidak, akan terus berulang peristiwa yang diarahkan/mengarah pada radikalisme dan terorisme. Atau terjadi pemahaman yang "ngaret" sehingga kedua istilah ini cenderung dipakai sebagai alat gebuk rezim terhadap umat Islam. 

Kedua, umat Islam harus sadar terhadap political will rezim berkuasa dengan menghindari tindakan kontraproduktif yang justru menjebaknya  dalam urusan hukum ala rezim. Namun di sisi lain, wajib istiqamah dalam menjalankan seluruh ajaran Islam, meskipun terasa berat seperti menggenggam bara api.

Ketiga, terus mengedukasi masyarakat bahwa Islam bersifat rahmatan lil 'alamin, bukan ajaran terorisme, bahkan mengharamkannya. Hal ini dilakukan dengan menyajikan dalil-dalil syariat tentang haramnya terorisme, contoh peristiwa/kisah dalam sejarah, dan seterusnya.  

Keempat, membuka kesadaran masyarakat bahwa isu terorisme selama ini lebih banyak diarahkannya terhadap umat Islam. Akibatnya terbentuk citra negatif bahwa Muslim pelaku teror dan Islam membolehkan bahkan mengajarkan tindak terorisme.

Kelima, APH tidak tebang pilih dalam memproses tersangka pelaku terorisme. Selama ini mudah sekali mengaitkan tindak terorisme (bom) pada Muslim sebagai pelaku. Adapun bila pelaku non-Muslim, meski jenis aktivitas sama-sama kekerasan, tidak disebut sebagai teroris. 

Keenam, menguatkan peran Muslimah sebagai penopang peradaban, yaitu mereposisi fungsi strategisnya sebagai ibu pendidik generasi. Bukan sebagai agen atau target program kontraradikalisme. Sehingga saat seorang ibu mengajarkan Islam kaffah pada putra-putrinya tidak dicurigai, dikhawatiri,  hingga tidak ada stempel negatif yang disematkan seperti ibu radikal, fanatik, dan lain-lain.

Demikian beberapa strategi penanggulangan terorisme tanpa jerat narasi radikalisme terhadap kaum perempuan dan generasi muda. Berharap APH dan pejabat pemerintah lebih adil dan obyektif dalam penanganan kasus terorisme, serta tidak serta-merta mengaitkannya dengan Islam dan umatnya. Bagi masyarakat, hendaknya menyadari bahwa terorisme adalah kejahatan yang tidak diamini oleh agama apa pun termasuk Islam.

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati

Posting Komentar

0 Komentar