Ramadhan Transformatif (Bagian 17)


TintaSiyasi.com -- Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183). Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri" (Ar-Ra'd: 11).

Tulisan Ramadhan Transformatif edisi 17 ini ditulis pukul 21.20 bersamaan dengan malam nuzulul Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah pada bulan suci Ramadhan, inilah pula yang menjadikan bulan ini begitu istimewa. Kenapa ?. Sebab Al-Qur’an adalah pedoman hidup seorang muslim, baik di dunia maupun untuk keselamatan di akhirat.

Allah berfirman : Bulan Ramadhan adalah bulan di mana diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) (QS Al Baqarah : 185). Sungguh Kami menurunkan al-Quran pada saat Lailatul Qadar (TQS al-Qadr [97]: 1).

Dalam perspektif Ramadhan transformatif, maka berdasarkan atas ayat di atas menunjukkan bahwa Al Qur’an adalah sumber perubahan pribadi, keluarga dan bahkan peradaban dunia. Al Qur’an adalah inspirasi sekaligus aspirasi bagi umat Islam. Karena itu sebelum dan setelah Al Qur’an diturunkan oleh Allah, maka dunia Arab diwarnai oleh hukum jahiliyah, sementara setelah Islam datang dengan pedoman Al-Qur’an, lahirlah peradaban Islam yang agung.

Sejarah membuktikan bahwa Al-Qur'an benar-benar membawa perubahan besar bagi umat manusia. Dulu, sebelum Al-Qur'an diturunkan, Bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang dipenuhi dengan kebodohan dan kezaliman. Ragam kemaksiatan mereka lakukan. Di antaranya: perzinaan, perjudian, mabuk-mabukan, penipuan dalam jual-beli, riba, pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir, peperangan antarsuku, dll.

Semua itu adalah di antara ragam kemaksiatan yang telah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat. Kemaksiatan mereka paling besar tentu saja kemusyrikan dengan tradisi penyembahan terhadap berhala. Berhala ini mereka pertuhankan. Padahal mereka sendiri yang membuat berhala tersebut. Itulah mengapa zaman itu disebut sebagai zaman jahiliah (kebodohan).

Namun demikian, saat Baginda Rasulullah saw. diutus kepada mereka dengan membawa Al-Qur'an, dalam waktu relatif singkat, hanya sekitar 23 tahun, bangsa Arab—yang kemudian menjadi bangsa Muslim—berubah 180 derajat. Dari kegelapan menuju cahaya. Dari kejahiliahan menuju kemuliaan. Dari kebiadaban menuju keadaban. Dari sebuah bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi bangsa yang memimpin peradaban selama rentang waktu yang amat panjang.

Tak tanggung-tanggung, selama tidak kurang dari 14 abad kaum Muslim menguasai dua pertiga dunia dengan peradabannya yang tinggi dan mulia. Hal itu telah banyak diakui bahkan oleh para cendekiawan Barat yang jujur. Emmanuel Deutscheu, seorang cendekiawan Jerman, misalnya, pernah berkata, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam, red.) telah memberikan kesempatan baik bagi kami (Eropa) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Kristen Eropa).

Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”

Hal senada juga dinyatakan oleh Will Durrant, Jacques C. Reister dan masih banyak yang lain. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berpidato pada tanggal 5 Juli 2009, antara lain menyatakan, “Peradaban dunia berutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era kebangkitan Kembali dan era pencerahan di Eropa.” (Republika.co.id, 20 Juni 2009).

Yang tidak diakui secara jujur bahkan cenderung ditutup-tutupi oleh Barat adalah fakta bahwa seluruh pencapaian kemajuan peradaban Islam dan kaum Muslim selama berabad-abad itu terjadi di sepanjang era Khilafah Islam. Bahkan boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan itu tidak lepas dari peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan umat manusia.

Karena itu secara mikro, seharusnya bagi seorang muslim pada bulan Ramadhan ini melakukan proses perubahan dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum kehidupan dan membuang hukum dari selain Islam. Pribadi dan keluarga harus mentransformasi diri menjadikan Al-Qur’an sebagai inspirasi dan aspirasi bagi tumbuh kembang pribadi dan keluarga.

Adalah naif, jika Al-Qur’an yang agung ini tidak menjadikan pribadi dan keluarga muslim berubah menjadi lebih baik. Bahkan idealnya bangsa ini melakukan proses trnasformasi dari peradaban jahiliyah modern kepada peradaban Islam dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber aturan dan perundang-undangan dalam berngsa dan bernegara. Al-Qur’an adalah kita agung yang tidak semua mampu menerimanya.

Allah berfirman : Andai Al-Qur'an ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).

Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan, “Gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena begitu takutnya kepada Allah meskipun gunung itu amat keras. Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur'ân, 23/300).

Adapun Imam al-Baidhawi menafsirkan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh Al-Qur'an.” (Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 3/479). Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh Al-Qur'an. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada Al-Qur'an, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada Al-Qur'an (Abu Hayan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, 8/251).

Karena itu, malam nuzulul Al-Qur’an ini semestinya menjadi inpirasi perubahan keluarga menjadi keluarga Al-Qur’an. Keluarga Al-Qur'an adalah sebutan untuk keluarga yang menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga yang mendalami dan mengamalkan ajaran Al-Qur'an diharapkan dapat memperoleh keberkahan dan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga.

Dalam keluarga Al-Qur'an, seluruh anggota keluarga diharapkan untuk membiasakan diri membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Setiap anggota keluarga juga didorong untuk menghadiri pengajian Al-Qur'an, mengaji bersama, dan saling mengingatkan untuk berbuat kebaikan.

Keluarga Al-Qur'an juga diharapkan dapat menunjukkan sikap hormat dan penghormatan terhadap Al-Qur'an. Misalnya, Al-Qur'an harus diletakkan di tempat yang tinggi dan bersih, tidak boleh ditaruh di lantai atau tempat yang kotor. Selain itu, anggota keluarga juga harus menjaga kebersihan dan kehormatan Al-Qur'an, misalnya dengan tidak menuliskan atau menggambar di atas lembaran Al-Qur'an.

Dalam keluarga Al-Qur'an, Al-Qur'an bukan hanya dijadikan sebagai kitab suci yang dibaca, tetapi juga dijadikan sebagai pedoman hidup. Keluarga Al-Qur'an diharapkan dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari, seperti nilai kesabaran, keteguhan hati, keikhlasan, dan kebaikan hati.

Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk dalam kehidupan keluarga, diharapkan keluarga dapat hidup dalam harmoni dan kebahagiaan, serta mendapatkan keberkahan dan keberlimpahan dari Allah SWT. Keluarga Al-Qur’an adalah keluarga yang memahami Al-Qur’an menjadi pedoman hidupnya dan membuang pedoman selain dari Islam.

Pedoman selain dari Islam seperti piagam PBB yang sekuleristik adalah sesat dan menyesatkan. Pedoman selain dari Islam adalah pedoman yang dibuat oleh manusia. Hukum jahiliyah adalah hukum yang berasal dari budaya atau adat istiadat masyarakat yang tidak berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hukum jahiliyah sering kali tidak berdasarkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan umat manusia, melainkan lebih didasarkan pada kepentingan golongan atau individu tertentu.

Karena itu, jika ingin melakukan perubahan, keluarga harus sangat memahami paham-paham sesat yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini, seperti pluralisme, sekulerisme dan liberalisme. Sebagaimana dipahami bahwa pluralisme, sekulerisme maupun liberalisme agama telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI tahun 2005 dengan dasar dalil naqli : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”. (QS. Ali Imran [3]: 19).

Dalil lainnya adalah : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

Nah, siapkan keluarga qur’ani dengan menjadikan Al Qur’an sebagai sumber inspirasi dan aspirasi kehidupan keluarga. []


Oleh: Dr. Ahmad Sastra, M.M.
Dosen Filsafat 

(Ahmad Sastra,Kota Hujan, 07/04/23 : 22.00 WIB)

Posting Komentar

0 Komentar