TintaSiyasi.com -- Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183). Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri (Ar-Ra'd: 11).
Alhamdulullah, kita telah masuk Ramadhan hari ke 24, meski tulisan ini merupakan tulisan edisi ke 23, dikarenakan saya kurang sehat kemarin, jadi baru bisa menulis hari ini. Masih seputar keluarga dan sosial kemasyarakatan yang idealnya mengalami proses transformasi selama bulan Ramadhan. Salah satunya adalah proses perubahan sikap atas harta. Islam mengajarkan sikap yang benar atas harta sebagai bagian dari rejeki dari Allah SWT.
Islam mengajarkan untuk hidup sederhana atas harta dalam arti tidak hidup bermewah-mewah apalagi berfoya-foya pamer harta. Seberapapun harta yang kita miliki, semestinya bisa mengubah sikap kita untuk selalu bersyukur dan banyak bersedekah, bukan pamer dan sombong. Allah mengingatkan kita : Dan berikanlah kepada kerabat, dan kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu boros, karena orang yang boros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra' [17]: 26-27).
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imran [3]: 130). Dan belanjakanlah dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada seseorang di antara kamu, lalu ia berkata, "Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menunda ajalku untuk waktu yang yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al-Munafiqun [63]: 10)
Dan janganlah kamu berbuat boros, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros." (QS. Al-An'am [6]: 141). Berikanlah kepada kerabat, kepada orang miskin, kepada orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu boros karena orang yang boros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra' [17]: 26-27)
Keluarga muslim tentu saja keluarga yang telah benar menyikapi harta yang dimiliki dan mampu memberikan pencerahan dan dakwah kepada masyarakat agar juga benar dalam menyikapi harta. Masyarakat sekuler di berbagai negeri, khususnya di Indonesia diwarnai oleh gejala tidak sehat yang namanya flexing sebagai akibat dari gaya hidup hedonistik, yakni perilaku menyimpang berupa pamer harga di sosial media maupun di dunia nyata.
Flexing ini dilakukan oleh beberapa pihak seperti para pejabat, istri dan anak pejabat, polisi, artis, publik figur, hingga masyarakat pada umumnya. Banyak yang dipamerkan di depan publik, semisal rumah, perhiasan, kendaraan, uang, HP atau barang-barang mahal lainnya.
Gaya hidup mewah, flexing dan hedonis dianggap sebagai pemicu pelanggaran etik dan dapat mengikis kepercayaan publik kepada para pemimpin dan pejabar jika mereka lakukan. Gaya hidup mewah para pemimpin dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan dan letupan sosial karena terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi.
Flexing adalah istilah yang sering digunakan dalam budaya populer untuk menggambarkan seseorang yang memamerkan atau memperlihatkan kekayaan atau prestasi mereka secara berlebihan atau berlebihan. Biasanya dilakukan untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau untuk meningkatkan status sosial mereka di hadapan orang lain.
Dalam konteks keagamaan atau moral, tindakan flexing atau memamerkan kekayaan atau prestasi dapat dianggap tidak pantas atau tidak sopan. Sebagai manusia yang bertanggung jawab, sebaiknya kita tidak memamerkan kekayaan atau prestasi secara berlebihan, melainkan menunjukkan sikap rendah hati, berbagi dengan sesama, dan menggunakan kekayaan dan prestasi tersebut untuk tujuan yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Dalam sejarah, gaya hidup mewah para pejabat justru menjadi awal kehancuran sebuah bangsa. Contohnya adalah kisah kehancuran kaum ‘Ad. Kaum ‘Ad adalah kaum yang memiliki peradaban luar biasa. Gedung-gedung menjulang tinggi. Namun, penguasanya zalim, sewenang-wenang, bermewah-mewahan, kejam dan bengis terhadap orang yang lemah.
Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar". Mereka menjawab: "Adalah sama saja bagi Kami, Apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat, (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. dan Kami sekali-kali tidak akan di "azab". Maka mereka mendustakan Hud, lalu Kami binasakan mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. dan Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (QS As Syu’ara : 135-140).
Kisah ketiga adalah kisah kehancuran kaum Tsamud yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama dengan kaum ‘Ad. Mereka memiliki keahlian untuk membangun rumah dan istana yang megah di kaki-kaki bukit yang datar. Orang-orang yang memiliki kelebihan kekayaan dijadikan panutan dan pimpinan yang disegani sekalipun perilaku kesehariannya zalim, menyimpang dan semena-mena.
Dengan harta, penguasa mempertahankan kekuasaan. Kolega yang mendukung mereka diberi imbalan harta dan santunan bekal hidup. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau tunduk pada kemaksiatan mereka, menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan mereka justru dimusuhi, dihina, difitnah, bahkan diburu dan ditindas. Alasan yang digunakan adalah ‘mengganggu keamanan dalam negeri’.
Kaum ini akhirnya harus dibinasakan Allah SWT akibat penolakan, pengingkaran, penentangan dan permusuhan mereka terhadap rasul yang diutus kepada mereka. Jika mereka mengulangi sikap yang sama, berarti mereka telah merelakan diri mereka mendapatkan azab serupa.
Ada lagi kisah lain, yaitu Fir’aun. Dia berkuasa dengan kekuatan ekonomi, ditopang oleh Qarun. Penentangannya terhadap syariah Allah, kesombongannya, dan kezalimannya terhadap rakyatnya menjadikan jalan menuju kehancuran bangsanya. Begitu juga kehancuran bangsa-bangsa lain seperti kaum Luth dan Madyan.
Ada empat faktor yang menyebabkan murka Allah terhadap kaum terdahulu hingga Allah kehancuran dan membinasakan mereka. Pertama adalah ketidaktaatan pada syariah Allah SWT untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kedua kehidupan para pemimpin dan pejabat yang bermewah-mewah sementara rakyatnya miskin dan menderita.
Ketiga kezaliman kepada rakyat kecil dengan memutuskan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Keempat mengingkari kebenaran yang didakwahkan oleh para utusan Allah, bahkan mereka memusuhi, menghina, memburu dan menindas para utusan Allah yang berdakwah kepada mereka.
Keempat ciri yang dimiliki kaum terdahulu sehingga menyebabkan murka Allah dengan menghancurkan dan membinasakan kini telah melanda bangsa kita, Indonesia. Lihatlah tatkala rakyat di negeri ini semakin terhimpit dan tercekik karena kemiskinan, sementara para pejabatnya justru bergelimang dengan harta dan cenderung sombong dan pamer kepada rakyat.
Disaat rakyat susah cari makan, para penguasa dan pemimpin negeri ini hidup bergelimang dalam kemewahan. Mereka menghambur-hamburkan uang rakyat milyaran rupiah hanya untuk renovasi gedung, milyaran rupiah jalan-jalan ke luar negeri, bahkan diantara mereka ada yang memiliki kendaraan seharga 7 milyar ruliah.
Entah sudah berapa triliun uang rakyat yang telah dikorupsi oleh para penguasa, pemimpin dan para pegawai pemerintah. Uang hasil korupsi mereka gunakan untuk membeli rumah dan kendaraan serta hidup bermewah-mewah. Ironisnya, di saat yang sama rakyat tercekik lapar dan miskin. Padahal kemewahan penguasa di atas penderitaan rakyat inilah yang merupakan cikal bakal kehancuran suatu bangsa.
Nah disinilah seorang keluarga dakwah dan perjuangan harus mampu melakukan proses perubahan sosial akibat hidup sekuler. Sistem sekuler telah menjadikan harta tidak dikelola secara islami. Harta milik umum, negara dan individu dipandang bisa dimiliki individu dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini. Berbeda dengan Islam dan dalam sistem Islam, harga dikelola sejalan dengan perintah Allah yang selain benar menyikapinya, juga akan memberikan keberkahan dan kesejahteraan untuk semuanya.
Inilah pentingnya dakwah perubahan sistemik dari penerapan ideologi kapotalisme sekuler menuju sistem Islam. Inilah tugas dakwah setiap individu muslim dan tentu saja keluarga muslim. Semoga Ramadhan kali ini menjadi momentum transformasi sistemik bangsa ini. []
Oleh: Dr. Ahmad Sastra, M.M.
Dosen Filsafat
0 Komentar