TintaSiyasi.com -- Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183). Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri (Ar-Ra'd: 11).
Alhamdulillah, Allah masih memberikan kita berjuta nikmat yang jika kita menghitungnya, maka tak akan ada satupun manusia yang mampu menghitungnya. Namun sayang, kadang manusia itu kurang mensyukurinya. Padahal Allah adalah Tuhan Yang Maha Baik kepada seluruh makhluknya. Karena itu hendaknya kita bertransformasi menjadi pribadi dan keluarga yang tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah.
Dan jika kamu hendak menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukannya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang." (Q.S. An-Nahl: 18). Dan segala sesuatu yang kamu miliki, berasal dari Allah, dan apabila kamu diberi kesulitan maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (Q.S. An-Nahl: 53).
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (Q.S. Ibrahim: 7). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman: 13). Maka nikmat Tuhanmu yang sempurna, yang diberikan-Nya kepadamu, maka sebab itu hendaklah kamu menyebut-nyebut (mensyukuri) nikmat Allahmu yang terbesar. (Q.S. Ad-Duha: 11).
Ramadhan transformatif edisi 28 ini akan melanjutkan edisi sebelumnya tentang keluarga politik dan ideologis yang pada dasarnya berkaitan dengan pola pikiran pola sikap islami. Maka tulisan ini akan dilanjutkan dengan transformasi menjadi keluarga yang memimpin pemikiran umat menuju pemikiran Islam. Sebab faktanya umat Islam hari ini mayoritas terjerumus kepada pemikiran liberalistik, sekuleristik dan bahkan ateistik.
Di sisi lain, umat Islam di seluruh dunia terpecah belah dengan ikatan-ikatan rapuh semisal nasionalisme, kebangsaan, kesukuan, dan sejenisnya yang tidak berakar dari ajaran Islam. Jika ikatan-ikatan lemah dan batil ini masih membelenggu umat Islam, maka tidak akan ada persatuan umat Islam selamanya. Sebab umat Islam itu dipersatukan dengan aqidah Islam melalui sistem politik berasaskan Islam juga.
Karena itu keluarga muslim harus mampu melakukan proses kepemimpinan berpikir di tengah kegelapan pemikiran umat Islam pada umumnya. Kepemimpinan berpikir adalah kemampuan keluarga muslim dalam memimpin dengan mengedepankan pemikiran yang kritis dan strategis serta analitis atas berbagai fakta pemikiran dan ikatan menyimpang di kalangan umat Islam, lantas mampu memberikan proses kesadaran.
Beberapa ayat dalam Al-Quran yang relevan dengan konsep kepemimpinan berpikir antara lain : "Dan (ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada bapaknya: 'Wahai bapakku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Aku melihat semuanya sujud kepadaku.' (Bapaknya) berkata: 'Wahai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka merencanakan tipu daya terhadapmu. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi manusia.'" (Q.S. Yusuf: 4-5).
Ayat ini menggambarkan bagaimana Yusuf, sebagai seorang pemimpin yang berpikir kritis, mampu memperhatikan dan menganalisis tanda-tanda yang diberikan dalam mimpinya, sehingga ia mampu merencanakan strategi yang tepat untuk menghadapi masa depan.
Dan berkatalah mereka: 'Hai Dhulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu akan merusak negeri ini, maka apakah kami akan memberikan sesuatu upah kepadamu agar kamu membuat tembok yang menghalangi mereka? (Q.S. Al-Kahfi: 94). Ayat ini menggambarkan bagaimana Dhulqarnain, sebagai seorang pemimpin yang berpikir strategis, mampu melihat potensi masalah di masa depan dan mengambil tindakan untuk menghadapinya, yaitu dengan membangun tembok yang mampu menghalangi serangan Ya'juj dan Ma'juj.
Dari kedua ayat tersebut, kita bisa belajar bahwa seorang muslim harus mampu memperhatikan dan menganalisis lingkungan sekitar, melihat potensi masalah di masa depan, serta mampu merencanakan strategi yang tepat untuk menghadapi situasi tersebut dengan cara memberikan penyadaran akan kesesatan pemikiran dan ikatan primordial yang terjadi di masyarakat.
Keluarga muslim harus menjadi penyadar kepada masyarakat muslim lainnya agar terikat dengan aqidah Islam dan membuang semua pemikiran dan ikatan yang berasal dari luar Islam. Ketaatan adan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasulnya serta para pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Sangat kuat hubungan antara aqidah, syariah dan khilafah yang akan mewujudkan persatuan umat. Disinilah peran keluarga muslim untuk menjadi pelopor transformasi kepemimpinan berpikir umat Islam.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa’ : 59)
Ayat di atas membincangkan setidaknya tiga hal, pertama masalah aqidah, yakni ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah secara totalitas adalah mutlak sifatnya. Jika tak taat maka disebut kafir. Pertatikan firman Allah : Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluq. Balasan mereka adalah surga adn yang mengalir sungai-sungai di bawah. Mereka kekal di dalamnya selamanya (QS Al Bayyinah : 7-8).
“… Allah memerintahkan para malaikat mengentas dari neraka itu orang-orang yang tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan syirik. Yaitu mereka yang berucap Laa ilaaha illallah. Orang-orang ini dapat diketahui melalui ciri khasnya, yakni di wajahnya ada bekas sujud….. (HR. Muslim dari Abu Hurairah RA). “Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq (QS Al Bayyinah : 6)
Secara bahasa aqidah berasal dari kata ‘aqoda: membuat simpul, mengikat, transaksi, memperkuat, dan apa-apa yang diyakini dan menentramkan hati (Kamus al-Muhith, Fairus Abadi, akar kata ‘aqoda). Secara istilah, aqidah bermakna pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; serta tentang hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran atau prinsip mendasar dalam aqidah Islamiyah adalah : iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul Allah, iman kepada hari kiamat dan iman kepada al-Qadar.
Akidah adalah sudut pandang yang harus diyakini terlebih dahulu sebelum meyakini sesuatu yang lain. Sudut pandang ini tidak boleh disusupi dengan keraguan dan dipengaruhi oleh kesamaran. Adapun syariah adalah sistem atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta dan dengan kehidupan. ( kitab Islam ‘Aqidah wa Syar’iah Mahmud Syaltut hal 11-12 )
Allah menjadikan manusia sebagai manusia sempurna karena memiliki akal, dimana otak, panca indera, ilmu dan fakta adalah modal utama bagi manusia untuk berpikir. Keempat komponen utama itulah yang disebut fakta akal. Akal adalah kemampuan berpikir. Allah mengingatkan manusia tentang pentingnya mengoptimalkan akal sebagai media untuk mencapai keimanan yang kuat.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)...” (QS Al A’raaf : 179). Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjad pemelihara atasnya?” (QS Al Furqaan : 43).
Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung. (QS Al Ahzab : 48)
Aqidah salam makna kepercayaan dan keterikatan dengan hukum Allah, maka erat kaitannya dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah. Maka yang kedua dari ayat di awal tulisannya ini adalah membincangkan masalah syariah, yakni ketaatan kepada Rasulullah SAW yang sifatnya mutlak. Perhatikan firman Allah : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS Al Ahzab : 21). Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al Hasyr: 7).
Rasululah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri atau hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan.
Sebagai seorang muslim sudah memestinya sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apapun. Semua sikap dan tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT. Sebab semua tindakan yang kita pilih akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Jika perbuatan kita dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasululah, maka kita telah beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Hidup muslim itu untuk beribadah dengan landasan iman, tolok ukur perbuatan aturan Islam (halal dan haram), orientasi hidup akherat dan dunia, untuk untuk kemuliaan diri, keluarga, umat dan perjuangan agama (dakwah) dan memaknai kebahagiaan dengan pencapian ridha Allah semata. Hidupnya seorang muslim itu hidup dengan misi yang agung. Hidup yang terarah dan mantap serta terhindar dari kemungkinan disorientasi. Hidup yang bermutu tinggi dan dengan keyakinan akan kegemilangan hidup hakiki yang abadi di akherat kelak.
Keterikatan seorang muslim kepada syariat Islam tentu mutlak salam semua aspek kehidupannya dengan beberapa indikator: memiliki keimanan mantap dan murni atau tidak syirik. Sebagai hamba Allah yang ibadah mahdahnya selalu taat. Memiliki akhlaq mulia. Dalam urusan makanan dan minuman selalu memiliki timbangan halal dan thayib. Dalam urusan pakaian selalu menutup aurat. Dalam urusan keluarga selalu mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah. Dalam urusan pekerjaan selalu profesional dan penuh amanah. Dalam urusan masyarakat selalu memberikan kepedulian yang tinggi. Dalam urusan dakwah selalu aktif terlibat.
Ketiga, membincangkan masalah ulil amri yang terkait erat dengan khalifah dan khilafah. Ketaatan kepada Ulil Amri yang sifatnya tidak mutlak. Namun demikian, meski tidak bersifat mutlak, masalah kepemimpinan atau ulil amri dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kaum muslim agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan. Jika dalam sebuah perjalanan saja harus diangkat seorang pemimpin, apa lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam mewajibkan umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat . Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa wajib untuk mentaati Ulil Amri atau pemimpin diantara umat. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya.
Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Ikrimah memaknai ulil amri sebagai khalifah. Khalifah adalah pemimpin institusi khilafah. Sebagaimana disebut raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Disebut menteri karena memimpin kementerian. Disebut lurah karena memimpin keluarahan. Disebut presiden karena memimpin presidensial atau republik. Maka, disebut sebagai khalifah karena memimpin kekhilafahan.
Ketika Al Qur’an menyebut kata khalifah, maka pemerintahan yang diwariskan Rasulullah kepada para sababat adalah khilafah dengan khulafaur rasyidin sebagai khalifahnya. Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Syiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah.
Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."
Khilafah sebagai ahammul wajibat juga di kemukakan oleh Sa'duddin At-Taftazani (w. 791 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (w.926 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani (w.978 H), Syamsuddin ar-ramli (w. 1004 H), Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), Syamsuddin as-Safarini (w. 1188 H), Hasan bin Muhammad al-'Aththar (w. 1250 H), Ahmad bin Muhammad ash-sawi (w. 1241 H), Abu al Fadhal as-Sinuri (w.1411 H), dan lainya.
Sudah sangat jelas dalil dari al-Quran, hadist dan juga Ijmak Sahabat yang menunjukan kewajiban menegakkan Khilafah. Kita sebagai umat Islam jangan pernah ada lagi keraguan tentang kebenaran, Khilafah ajaran Islam yang musti harus kita perjuangkan bersama-sama (jamaah) semoga janji Allah yang akan menjadikan kita (kaum Muslim) sebagai penguasa di muka bumi ini segera terwujud.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad).
Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan.
Menjadi pemimpin atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Kesalahan memilih pemimpin yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah. Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan.
Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
Dengan demikian penguasa dan pemimpin yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah. Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh dipilih apalagi ditaati.
Menggapai keberkahan hidup yang berwujud kebahagiaan hakiki, Tidak lain adalah dengan kembali merujuk kepada al-Quran dan menjadikannya petunjuk. Sungguh di dalam al-Quran, memang diturunkan sebagai hudan (petunjuk), bayyinat minal huda (penjelas atas petunjuk itu) dan furqan (pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah, antara yang halal dan haram, antara yang diridhai Allah dan yang Dia murkai, dan antara yang memberikan kebaikan dan yang memberikan keburukan).
Hal itu tidak lain dengan jalan menerapkan hukum-hukumnya yaitu syariah Islam secara total dalam bingkai sistem Islam, Daulah al-Khilafah ar-Rasyidah. Dengan itu niscaya kerahmatan akan menjadi riil dan Assa’adah al-haqiqiyah (kebahagiaan yang hakiki) akan terwujud.
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]:124). Imam Ibn Katsir menjelaskan, “man a’radha ‘an dzikriy” yaitu menyalahi perintahku dan apa yang Aku turunkan kepada rasul-Ku, berpaling darinya dan pura-pura lupa terhadapnya serta mengambil petunjuk dari selainnya (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa sangatlah erat relasi antara aqidah, syariah dan khilafah berdasarkan penjelasan tulisan di atas. Ketiganya tidak mungkin dilepaskan salah satunya. Aqidah adalah ketaatan mutlak kepada Allah, syariah adalah ketaatan mutlak kepada Rasulullah, sementara ulil Amri adalah ketaatan relatif kepada khalifah pemimpin khilafah, selama dia taat kepada Allah dan Rasulullah. Adapun masalah khilafah adalah sistem pemerintahan dan kepemimpinan Islam.
Saatnya umat Islam melakukan transformasi ideologis menuju Islam kaffah dan meninggalkan seluruh paham ideologi kufur seperti kapitalisme demokrasi sekuler dan atau komunisme ateis. Saatnya keluarga muslim menjalankan dakwah ideologis di tengah-tengah umat di seluruh dunia, hingga Islam kembali tegak atau kita mati di jalan dakwah ini. []
Oleh: Dr. Ahmad Sastra, M.M
Dosen Filsafat
0 Komentar