Ramadhan Transformatif (Bagian 5)


TintaSiyasi.com -- "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar-Ra'd: 11). 

Alhamdulillah, Ramadhan telah berjalan selama lima hari. Ucapan hamdalah tentu saja mencerminkan rasa bahagia di hati setiap mukmin disebabkan karena Allah masih memberikan kesempatan usia dan kesehatan sehingga masih mendapati bulan mulia ini dengan keadaan beribadah menyembah Allah dan beribadah dalam arti luas yakni ketaatan kepada perintah Allah dan menjauhi setiap larangan Allah.

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan makna kebahagiaan menyambut bulan suci Ramadhan dengan menegaskan bahwa bagaimana tidak bahagia disaat seorang Mukmin mendapatkan kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga dan tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal sehat tidak bahagia disaat mendapatkan kabar bahwa setan-setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu yang menyamai waktu Ramadhan ini?

Karena itu hendaknya seorang Mukmin memanjatkan doa selama bulan suci Ramadhan agar Allah selalu memberikan kekuatan untuk istiqomah menegakkan setiap perintah Allah, memberikan manisnya lantunan zikir, memberikan kekuatan untuk senantiasa bersyukur, mendoa agar Allah terus memberikan kesempatan usia agar lebih banyak mendapati bulan suci ini dan terus mendoa agar Allah selalu menjaga dan melindungi dirinya.

Kebahagiaan merasakan ibadah pada bulan suci Ramadhan adalah kebahagiaan dalam arti yang hakiki, yakni kebahagiaan di atas kebahagiaan. Sebab pada faktanya manusia pada umumnya juga merasakan kebahagiaan dalam level dan pengertiannya yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki sudut pandang sendiri dalam memaknai kebahagiaan. Setiap bangsa memiliki pengertian kebahagiaan yang beragam. Begitu pun setiap ideologi atau pandangan hidup juga memiliki standar kebahagiaan yang berbeda satu dengan yang lain. Ya memang begitulah faktanya.

Karena itu Ramadhan transformatif yang esensinya adalah proses perubahan menghendaki ada perubahan cara pandang seorang mukmin dalam memaknai kebahagiaan dengan mengambil pelajaran dari konsep kebahagiaan yang diajarkan oleh Allah. Di antara dalil tentang kebahagiaan Ramadhan adalah disaat seorang mukmin yang berpuasa sampai pada waktu berbuka puasa atau mendapati idul fitri dan kebahagiaan di saat seorang mukmin menjumpai Allah di surga.

Konsep ini mengajarkan tentang kebahagiaan dengan dua dimensi yakni dunia akhirat dengan rumus kebahagiaan spiritual. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS Al Baqarah ayat 201 yang menegaskan akan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan terhindar dari siksa api neraka.

Berbuka puasa seolah merupakan kebahagiaan material, namun esensinya adalah kebahagiaan spiritual, sebab berbeda antara orang yang makan di waktu maghrib tapi tidak puasa dengan orang yang makan di waktu maghrib karena berbuka puasa. Sebab makan disaat berbuka puasa adalah makan di saat telah usai menjalankan perintah Allah, bukan semata makan untuk memenuhi rasa lapar dan haus. Ada nilai kebahagiaan spiritualitas dalam aktivitas material ketika Ramadhan. Sementara kebahagiaan seorang mukmin saat menjumpai Allah di surga adalah puncak kebahagiaan yang tidak mungkin ada yang lebih tinggi dari kebahagiaan ini.

Jika negara yang berideologi demokrasi sekuler dan atau komunisme ateistik yang berpaham materialisme melakukan survey tentang tingkat kebahagiaan suatu bangsa di dunia, tentu saja standarnya adalah ketercapaian materi dalam arti materi an sich. Artinya, kebahagiaan material an sich diukur sejauh mana masyarakat negara itu dapat mencapai kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dengan demikian, maka negara yang mendapatkan rakyatnya tinggi otomatis akan menjadi negara paling bahagia di dunia, tidak peduli dari mana harta itu didapatkan.

Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) adalah sebuah indeks yang diterbitkan setiap tahun oleh PBB untuk mengukur tingkat kebahagiaan di negara-negara di seluruh dunia. Indeks ini didasarkan pada berbagai faktor seperti pendapatan per kapita, harapan hidup, kebebasan individual, dukungan sosial, korupsi, dan persepsi terhadap korupsi. Berikut adalah 10 negara teratas dalam Indeks Kebahagiaan Dunia pada tahun 2021: Finlandia, Denmark, Switzerland, Islandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Luksemburg, Selandia Baru dan Austria.

Menurut Indeks Kebahagiaan Dunia tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ke-76 dari 149 negara yang diukur. Skor kebahagiaan Indonesia pada tahun tersebut adalah 5.345 dari skala 0-10, yang menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan rata-rata di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara di atasnya dalam peringkat.

Sementara di dalam negeri, BPS telah melaksanakankajian tentang tingkat kebahagiaan beberapa kali, yaitu uji coba tahun 2012dan 2013, kemudian survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) sebanyak 3 kali, tahun 2014, 2017, dan 2021. Pendekatan yang digunakan adalah kepuasan hidup, afeksi, dan eudaimonia (pencapaian tujuan hidup).

Dalam Islam memiliki materi itu tidaklah salah, menjadi kaya juga tidak dosa, hanya saja materi itu harus dibungkus dengan ruh jika ingin mendatangkan kebahagiaan hakiki, yakni yang halal dan dibelanjakan yang halal pula, ditunaikan kewajiban seperti zakat, ditunaikan anjuran untuk infak dan sedekah. Bisa jadi benar bahwa harta kekayaan seperti luasnya tanah, mewahnya kendaraan, megahnya rumah akan mendatangnya kebahagiaan, namun bisa jadi kebahagiaan semu, tidak hakiki.

Terlebih lagi jika harta kekayaannya didapatkan dari menggarong uang rakyat, tentu saja akan muncul kegundahan dan ketakutan. Jika mereka tampak hidup mewah, berfoya-foya dan pamer harta, sesungguhnya hati mereka tidaklah bahagia. Ini bahagia level satu, yakni kebahagiaan material. Karena itu Ramadhan transformatif mengajarkan untuk melakukan proses perubahan kebahagiaan material dengan memastikan bahwa harta kita adalah harta yang halal dan dibelanjakan sesuai dengan perintah Allah. Bahkan pernah ada sebuah penelitian yang menanyakan tentang kebahagiaan kaitannya dengan materi, apakah ketika mendapatkan atau ketika memberikan. Ternyata jawabannya, seseorang akan bahagia dengan hartanya justru ketika memberikan kepada orang lain.

Selain kebahagiaan material, ada juga kebahagiaan fisikal, dimana orang merasa senang, puas, bangga dan bahagia saat dirinya sehat dan sempurna secara fisik. Kesempurnaan fisik bahkan bisa mendatangkan materi dengan berbagai caranya, seperti model, artis, olahragawan dan sebagainya. Namun kebahagiaan hakiki secara fisikal adalah disaat nikmat fisik itu disyukuri dan menggunakan untuk beribadah kepada Allah, bukan semata sebagai faktor kebanggaan. Adalah benar bahwa Allah lah yang menciptakan dengan sempurna, karena Allah sebaik-baik pencipta.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Dia yang Paling Baik menciptakan. (QS Al Mukminun : 12-14).

Namun kesempurnaan itu bisa menjadi kehinaan jika tak sejalan dengan aturan Allah. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Tin ayat 4-5, yang artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang paling rendah (dalam keadaan merugi).

Hal diatas ditegaskan oleh Allah dalam QS Al Isra’ : 79 : Dan Kami ciptakan banyak jin dan manusia untuk neraka Jahanam; mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang bahkan lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.

Level kebahagiaan berikutnya adalah kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan intelektual merupakan kebahagiaan yang timbul dari pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai dunia dan kehidupan. Kebahagiaan ini berkaitan erat dengan pengembangan potensi intelektual seseorang dan kemampuan untuk memahami berbagai aspek kehidupan dengan lebih baik.

Kebahagiaan intelektual dapat dicapai dengan cara belajar dan mengeksplorasi pengetahuan, baik melalui membaca buku, mengikuti kuliah, atau melalui pengalaman hidup. Orang yang merasakan kebahagiaan intelektual biasanya memiliki rasa ingin tahu yang besar dan senang mempelajari hal-hal baru.

Kebahagiaan intelektual juga dapat dirasakan ketika seseorang dapat memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui pengetahuan dan keahliannya, seperti mengajar atau melakukan riset yang berguna bagi masyarakat.

Dalam filosofi Yunani kuno, Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada pengembangan potensi diri secara menyeluruh, termasuk potensi intelektual. Menurutnya, manusia memiliki naluri untuk mencapai kebahagiaan, dan kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai melalui pengembangan diri secara menyeluruh, termasuk potensi intelektual.

Dalam Islam, kebahagiaan intelektual tidaklah cukup dengan paham intelektualisme semata, namun berkaitan juga dengan aspek ontologis, yakni untuk apa ilmu itu digunakan. Bahkan dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib.   Salah satu hadis Nabi yang terkenal adalah "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah." Dengan menuntut ilmu, seseorang muslim dapat meraih kebahagiaan intelektual dengan memberikan pencerahan, peringatan, nasihat, berkarya untuk peradaban, sebagai media dan modal dakwah dan tentu saja memberikan  manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berilah ruang di dalam majelis", maka berilah ruang niscaya Allah akan memberikan ruang yang lebih luas untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah", maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan (QS Al Mujadilah : 11).

Level kebagagiaan yang lebih tinggi adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual adalah kebahagiaan yang bersumber dari hubungan manusia dengan Tuhan atau hal yang bersifat transenden. Kebahagiaan spiritual tidak hanya mengacu pada kepercayaan agama tertentu, tetapi juga bisa berasal dari pengalaman kehidupan yang mendalam, rasa syukur, dan hubungan emosional yang mendalam dengan alam semesta.

Dalam pandangan umum, kebahagiaan spiritual dapat diartikan sebagai pencapaian keseimbangan yang seimbang antara kebahagiaan jasmani, emosional, dan intelektual. Kebahagiaan spiritual dapat dicapai dengan mengembangkan kepekaan terhadap pengalaman batiniah dan mengasah kualitas pribadi seperti kasih sayang, kejujuran, kesederhanaan, dan pengampunan. Spiritualitas tidak salalu berhubungan dengan agama, namun lebih kepada kebatinan. Praktek seperti yoga, meditasi dan kontemplasi adalah bentuk pencapaian kebahagiaan tersendiri yang ada.

Namun demikian, berbeda dengan Islam yang memaknai kebahagiaan spiritual dengan ketaatan hamba kepada Allah dan inilah kebahagiaan spiritual yang hakiki, karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah (QS Al Imran : 19). Dalam Al-Quran, dijelaskan juga bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan diterima Allah SWT sebagai agama bagi seluruh manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maida ayat 3: Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu.

Kebahagiaan spiritual dalam Islam juga bisa dicapai dengan aktivitas ibadah sebagai bentuk ketaatan seperti :  sholat, puasa, zikir, dan lain-lain. Dalam Islam, kebahagiaan spiritual dapat juga dicapai dengan beribadah kepada Allah SWT, membaca Al-Quran, mengingat Allah SWT, dan melakukan amalan yang diperintahkan dalam agama. Dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan memperdalam pemahaman tentang diri dan alam semesta, manusia dapat mencapai kebahagiaan spiritual yang abadi. Hal ini menandaskan bahwa kebahagiaan spiritual yang hakiki hanya dalam agama Islam.

Level tertinggi dari kebahagiaan adalah kebahagiaan ideologis. Lihatlah orang-orang yang memperjuangkan keyakinan ideologinya, mereka tak ragu-ragu untuk mengorbankan harta, pikiran, tenaga bahkan nyawanya sekalipun. Bahkan untuk keyakinan dan ideologi sesat sekalipun, manusia rela mengorbankan apa yang mereka miliki. Sebab perjuangan ideologis merupakan kebahagiaan tertinggi, bahkan jika harus mati sekalipun. Karena itu, tidaklah heran jika ada manusia yang mati-matian bahkan hingga mati memperjuangkan ideologi demokrasi sekuler atau komunisme ateis.

Sementara dalam Islam, kedua kebahagiaan ideologis diatas adalah semu, sebab keduanya hanya sebatas kepuasan di dunia, sementara di akhirat, mereka termasuk orang yang merugi. Kebahagiaan ideologis yang hakiki adalah saat membela agama Allah dengan harta dan jiwa, sebab hanya Islam yang diridhoi Allah. Jika mati dalam perjuangan dan jihat membela agama Allah, maka matinya husnul khotimah dan akan mendapatkan surganya Allah di akhirat kelak, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Perjuangan membela agama Allah atau jihad fi sabilillah adalah salah satu bentuk jihad yang disebutkan dalam Al-Quran. Jihad fi sabilillah mengacu pada perjuangan untuk membela agama Allah dari segala bentuk ancaman dan penindasan yang mungkin terjadi terhadap umat Islam atau ajaran agama Islam. Namun, penting untuk dicatat bahwa jihad fi sabilillah harus dilakukan dengan cara-cara yang diizinkan dalam Islam, yaitu dengan cara yang adil, damai, dan tidak merugikan orang lain.

Dalam Islam, perintah untuk melakukan jihad fi sabilillah hanya diberikan kepada orang-orang yang terlatih dan memenuhi persyaratan tertentu, seperti memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, memiliki kekuatan fisik dan mental yang cukup, serta memiliki niat yang benar dan ikhlas dalam melaksanakan jihad.

Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 95, Tidaklah wajib (membela agama) kecuali terhadap suatu kaum yang mendatangkan permusuhan kepadamu, karena berpegang teguh pada agama yang nyata-nyata benar, dan yang mengeluarkan kamu dari tempat tinggalmu, atau karena menolong orang-orang yang mengeluarkan kamu. Dan barangsiapa yang membebaskan dirinya karena (memperjuangkan) agama Allah, niscaya ia akan mendapat pertolongan yang sempurna dari Allah.

Surat Al-Baqarah ayat 195:Dan belanjakanlah harta kamu di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan diri kamu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Surat At-Taubah ayat 111 : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri mereka dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, membunuh dan dibunuh. Itulah janji yang benar yang dijanjikan-Nya kepada mereka dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih jujur terhadap janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu; dan itulah kemenangan yang besar.

Surat Al-Anfal ayat 60 : Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, untuk menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan dibalasi dengan sebaik-baik balasan.

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS Muhammad : 7). []


Oleh: Dr. Ahmad Sastra, M.M.
Dosen Filsafat

(AhmadSastra, KotaHujan, 27/03/23 : 09.05 WIB)

 

Posting Komentar

0 Komentar