TintaSiyasi.com — Secara normatif, naskah tentang ideologi bangsa ini sudah ada sebagai modus vivendi, kesepakatan luhur yang final. Ideologi bangsa itu dirumuskan dalam bentuk sila yang berjumlah 5 baik kesepakatan pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 maupun Pembukaan UUD NRI tanggal 18 Agustus 1945.
Waktu dirumuskan tentu kita juga sudah memikirkan generasi Indonesia yang waktu itu belum lahir ke dunia ini. Apa jadinya jika naskah itu dibaca 50—70 tahun yang akan datang? Para founding father dipastikan juga memikirkan masa depan bangsa. Berat atau ringannya setiap kata harus dan wajib ditimbang matang-matang, kalau membuat suatu dokumen yang menyangkut kepentingan bangsa, apalagi saat berhadapan dengan negara-negara lain (politik luar negeri). Semua aspek kepentingan jangka panjang bangsa harus dijaga.
Ketika di masa sebelum dan awal Indonesia merdeka, masih banyak kita temukan negarawan bukan politisi. Negarawan yang benar-benar memikirkan segala sesuatu urusan bangsa dan negara penuh kematangan dalam membaca peta baik dalam negeri maupun persaingan dunia, khususnya pergerakan nasional serta sepak-terjang negara-negara besar, dan relevansinya terhadap kepentingan nasional terus ke masa depan.
Bedanya politisi dengan negarawan adalah, politisi bekerja untuk masa jabatannya dan bahkan seperti yang sekarang viral adalah adanya keingininan untuk memperpanjang masa jabatannya, mengokohkan kekuasaan, mewariskan kekuasaan demi ambisi dan keselamatan pribadi dan kroninya meskipun bertentangan dengan konstitusi. Tidak demikian sikap seorang negarawan, karena negarawan mengabdikan dirinya benar-benar untuk negara dan bangsa, sekaligus merupakan tokoh bangsa untuk dikenal di mancanegara, suara bangsa untuk rakyat bahkan didengar di seluruh dunia. Negarawan tidak bekerja untuk masa jabatannya, melainkan bekerja untuk masa depan bangsa dan negara.
Tidak bisa kepentingan jangka panjang dikorbankan oleh emosi reaksioner berwawasan sempit, tanpa mendalami betul suatu permasalahan bangsa dan negara secara luas bahkan internasional yang dihadapinya. Pemahaman negarawan dan atau politisi terhadap ideologi yang menjadi dasar pengelolaan bangsa dan negara sangat menentukan bagaimana mereka berkiprah dengan visi ideal masa depan Indonesia.
Sayang sekali banyak dari pejabat penyelenggara negara kita kini--apalagi menjelang pemilu--ternyata lebih fasih menjadi politisi dibandingkan dengan menjadi negarawan sehingga kita sering menjadi pribadi, kelompok bahkan bangsa yang hipokrit, pura-pura, dalam bahasa Jawa "ethok-ethok" alias kamuflase.
Pertama. Pura-pura menjadi negara HUKUM tetapi termyata negara kekuasaan, menjadikan hukum sbg alat untuk melegitimasi kekuasaan (the thinnest ROL). Hukum kehilangan marwahnya sebagai panglima bahkan hukum dikangkangi oleh kepentingan politik yg seharusnya tunduk pada rule of the gama, rule of law.
Kedua. Pura-pura menjadi negara demokrasi tetapi ternyata sistem pemerintahan negara otokrasi, tirani, represif bahkan tyran-okhlokrasi. Berapa banyak hak asasi warga negara yang terampas oleh negara atas alasan pembatasan oleh hukum, UU bahkan perampasannya pun dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan, bukan dengan prinsip-prinsip demokratis.
Ketiga. Pura-pura menghormati, memenuhi dan melindungi HAM tetapi sebenarnya tengah menistakan, mereduksi dan menindas HAM bahkan menempatkan rakyat secara berhadapan dengan penguasa layaknya antara penjajah dengan yang terjajah.
Kepura-puraan yang kita lakukan itu sebagai akibat dari lalainya kita terhadap kewajiban setiap insan untuk berakhlak mulia. Akhlak bukan sekedar sifat baik atau buruk, tetapi lebih dari itu, akhlak merupakan hukum koderat manusia (hukum alam yang diturunkan Tuhan Allah) yang menyangkut sifat perbuatan. Jujur, amanah, khianat dan sebagainya tidak bisa dilihat hanya sebagai sifat baik, tetapi harus dilihat dari hukum atau kaidah moral yang memang wajib untuk dilaksanakan (imperative categories) bahkan hal itu merupakan perintah Tuhan. Ulpianus misalnya menyatakan bahwa ada 3 prinsip moral yang sekaligus sebagai hukum, yaitu:
(1) Honeste vivere (Jujurlah dalam kehidupan);
(2) Alterun non laedere (Jangan merugikan orang lain);
(3) Suum cuique tribuere (Berikanlah hak kepada orang lain).
Ketiga prinsip moral itu harus dijadikan frame bagi setiap manusia ketika melakukan aktivitas perbuatan. Orang melakukan atau meninggalkannya bukan karena dianggap melakukan perbuatan baik atau buruk, tetapi harus dianggap melakukan kewajiban atau meninggalkan larangan dengan standar yang jelas. Prof Oemar Seno Aji pernah menyatakan bahwa "No Law Without Moral, No Moral Without Religion".
Berdasar potret buram hukum di tahun ketiga periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah kita bahwa tahun ini potret hukum kita lebih bening dari tahun 2022? Saya tidak begitu yakin, bahkan dapat diproyeksikan kekuasaan rezim semakin otoriter dan oleh karenanya represif. Boleh jadi bentuk negara kita memang masih republik demokrasi tetapi sebenarnya kita sudah meninggalkan sistem itu menuju okhlokrasi yakni ketika negara dikendalikan oleh kelompok perusak yang sebenarnya tidak mengerti bagaimana cara menjalankan negara untuk membahagiakan rakyatnya (benevolen).
What will be, will be! Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan semuanya, yang penting kokohkan koordinat kita sebagai bagian umat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan di muka bumi bervisi pada syariat Alloh, bukan menjadi kaum pecundang. Tetaplah ingat dengan slogan ini: "No Law Without Moral, No Moral Without Religion". Lalu, di mana koordinat Anda? Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar