TintaSiyasi.com — Tanya: Ustaz, saya pernah mendengar pendapat yang membolehkan naik Grab, bukan taxi/angkot/bus dll, meski tanpa mahram dengan disertai beberapa (lebih dari satu) perempuan dengan driver seorang laki-laki di dalamnya. Hanya saja dua hari lalu kami mendapatkan informasi dari seorang ustadz kita yang berpendapat bahwa itu tidak boleh. Maka atas kebingungan itu, kami meminta pencerahan dan penjelasan dari Pak Kiai. (Liza Burhan, Karawang).
Jawab:
Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) ulama mengenai boleh tidaknya kondisi yang ditanyakan di atas, yaitu adanya satu orang driver bersama dua perempuan muslimah atau lebih, yang bukan mahramnya, di dalam satu mobil. Dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas hukum khalwat, kondisi tersebut disebut dengan istilah “khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi (bukan mahram atau bukan istri),” (khalwat al-rajuli bi aktsara min imra`atin ajnabiyyatin. (‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27; ‘Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13)
Khalwat sendiri definisinya adalah pertemuan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya di suatu tempat yang tidak memungkinkan ada orang lain yang bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya, misalnya pertemuan laki-laki dan perempuan di sebuah rumah, atau di suatu tempat yang sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 96).
Dalam kasus khalwatnya seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan ajnabi ini, terdapat dua pendapat ulama. Pertama, mengharamkan, ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Kedua, membolehkan, ini adalah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Juz XIX, hlm. 267-268; ‘Umar Jamīl Ahmad Tsābit, Aḥkām Al-Khalwat wa Ātsāruhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 27-30; Abdullāh bin ‘Abdul Muḥshin Al-Tharīqī, Al-Khalwat wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmi, hlm. 13-14; Samar Muhammad Abu Yahya, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh Al-Islāmi,
hlm. 29-37; Aḥmad Maḥmūd Muḥammad ‘Āsyūr, Ahkām Al-Khalwat fī Al-Fiqh A-Islāmi, hlm. 54-56).
Dalil pendapat pertama yang mengharamkan, adalah hadits yang mengharamkan khalwat, walaupun ada orang ketiga, selama orang ketiga bukan mahram atau suami dari perempuan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda :
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim, no. 1341; Al-Bukhari, no. 3006).
Adapun dalil pendapat kedua yang membolehkan, adalah hadits yang membolehkan khalwat asalkan ada orang ketiga, meskipun orang ketiga ini adalah sesama perempuan. Jadi, menurut pendapat kedua ini, jika seorang laki-laki dan dua perempuan berada di satu tempat, hukumnya boleh, tidak haram. Dalilnya hadits Jabir bin ‘Abdillah RA berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهاَ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad, Al-Musnad, no. 14651).
Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang menbolehkan, karena terdapat hadits yang layak menjadi dalil, yaitu hadits dari Jabir bin ‘Abdillah RA di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, raḥimahullāh. Hadits ini telah diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Ash-Shan’ani, raḥimahullāh, dalam kitabnya Subulus Salām, sebagai berikut :
وَقَدْ وَرَدَ فِيْ حَدِيْثٍ: فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ، وَهَلْ يَقُوْمُ غَيْرُ الْمَحْرَمِ مَقَامَهُ فِيْ هَذَا بِأَنْ يَكُوْنَ مَعَهُمَا مَنْ يُزِيْلُ مَعْنَى الْخَلْوَةِ؟ اَلظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُوْمُ لِأّنَّ الْمَعْنىَ الْمُنَاسِبَ لِلنَّهْيِ إِنَّمَا هُوَ خَشْيَةَ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَهُمَا الشَّيْطَانُ اْلفِتْنَةَ. اْلإِمَامُ الصَّنْعَانِيُّ. سبل السلام ج 2 ص 183
“Telah terdapat dalam satu hadits,”...karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” Apakah keberadaan orang bukan mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam hal ini, yaitu orang [ketiga] yang keberadaannya bersama dua orang itu (laki-laki dan perempuan) dapat menghilangkan keharaman khalwat? Yang zhāhir (nampak jelas) bahwa orang ketiga yang bukan mahram itu dapat menggantikan posisi mahram, karena makna yang sesuai dengan hadits yang melarang [khalwat], adalah adanya kekhawatiran bahwa syaitan akan dapat menjerumuskan dua orang itu (laki-laki dan perempuan) ke dalam maksiat (“fitnah”).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salām, Juz II, hlm. 183).
Pendapat yang membolehkan inilah dianggap rājih oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim dan Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan juga oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya Hāsyiyah Al-Jamal. Imam Nawawi, raḥimahullāh, dalam kitab Syarah Muslim mengatakan :
وَأَمَّا إِذَا خَلاَ اْلأَجْنَبِيُّ بِاْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، بِخِلاَفِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ، فَإِنَّ الصَّحِيْحَ جَوَازُهٌ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ، شرح مسلم ج 9 ص 109
“Adapun jika seorang laki-laki ajnabi [non-mahram] dan perempuan ajnabi [non-mahram] berkhalwat, tanpa ada orang yang ketiga, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama [tak ada khilafiyah]. Ini berbeda dengan kondisi kalau seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa orang perempuan, [maka ada khilafiyah], dan pendapat yang benar, adalah pendapat yang membolehkannya.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz IX, hlm. 109).
Imam Nawawi, dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, menegaskan hukum yang sama, dengan berkata :
إِنَّ الْمَشْهُوْرَ جَوَازُ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِنِسْوَةٍ لاَ مَحْرَمَ لَهُ فِيْهِنَّ، لِعَدَمٍ الْمَفْسَدَةِ غَالِباً، لِأَنَّ النِّسَاءَ يَسْتَحْيِيْنَ مِنْ بَعْضِهِنَّ بَعْضاً فِيْ ذَلِكَ. اْلإِمَامُ النَّوَوِيٌّ. المجموع شرح الهذب ج ٧ ص٨٧
“Sesungguhnya pendapat yang masyhur, adalah bolehnya seorang laki-laki berkhalwat dengan beberapa perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pada umumnya kondisi tersebut tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan), dan karena para perempuan itu [biasanya] saling merasa malu antara yang satu dengan sebagian yang lainnya.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VII, hlm. 87).
Syekh Sulaiman Jamal (ulama mazhab Syafi’i) dalam kitabnya Ḥasyiyah Jamal mengatakan :
يَجُوْزُ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. الشيخ سليمان الجمل, حاشية الجمل على شرح المنهج ج 4 ص 466
“Boleh hukumnya seorang laki-laki berkhalwat dengan dua orang perempuan yang tsiqah (terpercaya), yang laki-laki itu merasa segan kepada keduanya. Inilah pendapat yang menjadi pegangan (al-mu’tamad).” (Syekh Sulaiman Jamal, Ḥasyiyah Al-Jamal ‘Alā Syarah Al-Manhaj, Juz IV, hlm. 466).
Kesimpulannya, seorang laki-laki yang berkhalwat dengan dua perempuan atau lebih di satu tempat, hukumnya khilāfiyah di antara para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan, sehingga dengan demikian, boleh hukumnya kasus yang ditanyakan di atas, yaitu boleh hukumnya ada lebih dari satu perempuan muslimah dengan seorang driver laki-laki di dalam sebuah mobil. Wallāhu a’lam.[]
Jakarta, 7 Mei 2023
Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Ahli Fiqih Islam
0 Komentar