TintaSiyasi.com -- “Saya mendapati bahwa semua rakyat Sulawesi –entah itu kaya atau miskin, rakyat ataupun raja, siap mengorbankan diri mereka demi Yang Mulia (Khalifah ‘Utsmaniyah), dan senantiasa berdoa untuk bertambahnya kekuasaan Daulah ‘Aliyah –semoga Allah menolongnya!” [Sayyid Syekh Jamaluddin al-Qadiri, Dzulhijjah 1303/September 1886].³
Sesuai nisbah di namanya, Syekh Jamaluddin al-Qadiri adalah penganut tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Khalifah ‘Utsmaniyah yang menjadi patron Syekh Jamaluddin al-Qadiri, Sultan Abdulhamid II, juga turut menekuni tarekat Qadiriyah di samping aliran Syadziliyah.⁴
Mengikuti semangat bertarekat saat itu, Syaikh Jamaluddin yang tinggal sekota dengan Sultan Abdulhamid II di Istanbul juga giat menyemarakkan kajian fikih Islam dan perkumpulan tarekat. Bahkan ia dikenal sebagai “pelayan para ahli fikih dan ahli tasawuf” (khadim al-fuqaha wa ash-shufi).
Namun, ternyata jiwanya tidak hanya haus akan ilmu. Syekh Jamaluddin juga mengidam-idamkan sebuah petualangan. Demi mereguk nikmatnya bersafar mengelilingi Dunia Islam, ia meninggalkan Istanbul pada 1874 dan pergi ke negeri India. Lama juga Syekh Jamaluddin tinggal di sana sampai tak terasa sudah 11 tahun lamanya. Jiwa mengembaranya pun bangkit lagi. Kali ini ia menetapkan negeri Jawi sebagai destinasi berikutnya.
Saat itu, hampir seluruh negeri Jawi sudah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda. Lalu digunakanlah istilah “Hindia Belanda” sebagai nama resmi negeri ini. Sesampainya di Batavia (Jakarta) pada 1885, Syekh Jamaluddin al-Qadiri cukup senang karena bisa menemukan banyak orang Arab Hadhrami yang bisa ia ajak berbincang dengan bahasa Arab. Ia pun bertemu dengan Ali Galip Bey, Konsul Jenderal Sultan Abdulhamid II di Batavia yang sudah bertugas di kota ini dua tahun sebelumnya.⁵
Banyak kesamaan antara Syekh Jamaluddin dan Galip Bey. Sama-sama bisa bahasa Turkiye dan Arab. Pernah tinggal di Istanbul. Memiliki loyalitas yang sama kepada Khalifah ‘Utsmaniyah. Syekh tarekat ini punya kesan baik terhadap Konsul Jenderal ‘Utsmaniyah pertama di kota tersebut. “Semoga Allah melestarikan (kebaikan Galip Bey) untuk selamanya,” kenang Syekh Jamaluddin al-Qadiri.
Meski begitu, Syekh Jamaluddin segera dibuat tidak betah selama tinggal di Batavia. Sering ia menyaksikan kelakuan buruk dan rasis orang-orang Belanda dan Pemerintah Kolonial kepada rakyat pribumi, juga khususnya kepada kaum Arab. “Jika kita membuat daftar kezaliman terhadap orang Arab yang dilakukan pemerintah, kita tidak akan memiliki cukup garis untuk mencatatnya,” keluh kaum Arab di Batavia, “(Itu semua) tidak lain karena mereka melihat anjing lebih baik daripada orang Arab” (bal innahum yarauna al-kalb khayrun min al-‘Arab).⁶
Mendapati apa yang ia saksikan begitu menyiksa nuraninya, Syekh Jamaluddin al-Qadiri menetapkan bahwa ia harus pergi dari kota ini.
“Saya pun berangkat ke Pulau Sulawesi yang lebih luas dari Jawa,” kata syekh tarekat Qadiriyah itu. Ia bersyukur ketika sampai di Makassar, ia melihat peraturan kolonial yang berlaku di sini tidak sekuat yang ada di Jawa. Menurut beliau, sebagian besar penduduk Sulawesi adalah Muslim, dan setiap kelompok memiliki raja dan sultan Muslim yang berdaulat. Pemerintahan Kesultanan kepada rakyatnya dan pergantian jabatan sultan tidak banyak dipersoalkan Belanda sepanjang tidak menimbulkan huru-hara.⁷
Dengan aura keislamannya yang kuat, kedatangan Syekh Jamaluddin cukup menarik perhatian masyarakat Sulawesi. Tak butuh waktu lama, masyarakat di sini berbondong-bondong meminta Syekh Jamaluddin untuk mengajari mereka syariah Islam dan bimbingan dalam tarekat dan tasawuf. “Mereka memohon saya agar tinggal di negeri mereka selama sekitar satu tahun,” tulis Syekh Jamaluddin. “Saya setuju dan tinggal bersama mereka sekitar 10 bulan.”
Beliau pun melanjutkan ceritanya lebih detail: “Ketika saya ingin kembali ke Istanbul, mereka menitipkan saya dua pemuda dari bangsa mereka untuk diajari Sunnah Nabi, adab dan tsaqafah yang merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Mereka unggul dengan akhlak-akhlak terpuji, sangat berkeinginan (untuk belajar di) Istanbul, dan tentu, mereka adalah sebaik-baiknya manusia.”
Keberangkatan pulang Syekh Jamaluddin yang membawa dua anak Sulawesi ke Istanbul sempat mendapat halangan dari resident Belanda di Makassar. Sang syaikh segera bersiasat dengan menggandeng Kantor Konsulat ‘Utsmaniyah di Batavia untuk mematahkan rintangan kolonial tersebut. Saat itu Ali Galip Bey sudah habis masa tugasnya. Jabatan konsul jenderal ‘Utsmaniyah kosong karena sedang masa peralihan pergantian jabatan. Istanbul menunjuk konsul Prancis bernama Monsieur Jouslain sebagai kaymakam (Arab: qa’im al-maqam, semacam pelaksana tugas sementara [Plt]) konsul ‘Utsmaniyah di Batavia.
Setelah bersiasat selama tiga bulan, usaha Syekh Jamaluddin dan Monsieur Jouslain berhasil. Ia dan dua anak Sulawesi bawaannya dapat melanjutkan perjalanan ke Istanbul. Usaha ini begitu memukau penduduk Sulawesi sehingga mereka, menurut Syekh Jamaluddin, “terus menerus berdoa kepada Allah dengan menengadahkan tangan, agar Daulah ‘Aliyah (Khilafah ‘Utsmaniyah) yang mulia senantiasa ditingkatkan kekuatan, kedudukan dan keagungannya.”
Kisah di atas adalah pengalaman yang dialami Syekh Jamaluddin al-Qadiri, seorang sufi tarekat Qadiriyah asal Istanbul yang pernah tinggal beberapa bulan di Sulawesi Selatan. Syekh kita ini menuliskan kisah tersebut dalam laporannya kepada Said Halim Pasa, Sadrazam (Arab: Shadr al-A’zham, wakil Khalifah ‘Utsmaniyah alias Mu’awin Tanfidz) yang mendampingi Sultan Abdulhamid II pada 10 Dzulhijjah 1303 / 9 September 1886.8
Pengalamannya menarik untuk kita teliti. Dalam latar abad ke-19 yang menyaksikan makin kuatnya kolonialisme Eropa di Dunia Islam, sebagian besar kaum Muslim mengalihkan harapan mereka untuk lepas dari penjajahan kepada Daulah ‘Utsmaniyah. Inilah sebuah daulah yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islamiyah, dengan wilayah sangat luas dan menaungi tempat-tempat suci yang dihormati seluruh Muslim: Makkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, dan Baitul Maqdis.
Kepemimpinan Khilafah ‘Utsmaniyah sudah masyhur diakui di seluruh negeri, termasuk Indonesia yang kala itu dikenal dengan nama negeri Jawi, atau dalam istilah kolonial disebut Hindia Belanda.
Pertanyaannya, jika hendak diperdetail, bagaimana hubungan Khilafah ‘Utsmaniyah dengan pulau besar di negeri Jawi yang banyak diceritakan Syekh Jamaluddin al-Qadiri: Sulawesi? Apakah penghormatan dan pengakuan Muslim di Sulawesi kepada Khilafah–sebagaimana testimoni Syekh Jamaluddin yang saya tempatkan sebagai kalimat pembuka–hanya terjadi ketika Syekh Jamaluddin bertandang ke sana pada akhir abad ke-19, atau sudah berlangsung ratusan tahun sebelumnya? []
Oleh: Nicko Pandawa
Sejarawan
Sumber: Al-Wa'ie
Catatan kaki:
1 Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.
2 Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.
3 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation: Sources from the Ottoman Archives, Jilid II (Leiden: Brill, 2020), 704-707.
4 Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882-1928, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, November 2021), 63.
5 Untuk informasi lebih lanjut mengenai Ali Galip Bey, lihat Ibid, 163-174.
6 BOA, Y.PRK.AZJ, 35/95. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 806-807.
7 Ibid; Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 12-13.
8 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 704-707.
0 Komentar