TintaSiyasi.com -- Diakui atau tidak, dampak dari beberapa kebijakan tidak populis dan tidak adil serta represif yang diproduksi penguasa telah memicu penentangan sebagian masyarakat. Tak hanya dalam masalah politik dan pemerintahan, aroma injustice (ketidakadilan) juga terasa menyengat dalam persoalan penegakan hukum. Dugaan terjadinya ketidakadilan (injustice) yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap kelompok dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini.
Secara konseptual, hukum (dalam arti peraturan hukum) dan keadilan bukan dua perkara yang berada dalam satu laci. Hukum berada di norma prosedural sedangkan keadilan di wilayah nilai moral. Artinya, menegakkan hukum (peraturan hukum) tidak identik dengan menciptakan keadilan. Bahkan menurut Gustav Radbruch dengan Triadisme-nya, keduanya punya potensi saling tarik-menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis).
Dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum dipakai sebagai sarana untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun. Padahal idealnya hukum harus menciptakan keadilan. Dengan perkataan lain, hukum itu berkeadilan atau hukum yang adil. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa “lex injusta non est lex,” artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum.
Hukum yang adil bisa dikatakan sebagai hukum yang baik atau good law yang ditopang oleh dua hal, yaitu:
Pertama, good norm. Kalau kita belajar teori hukumnya Lawrence M. Friedman, good norm terkait dengan legal substance (substansi hukum). Dari sisi substansi, hukum itu mesti baik. Jika kita konsekuen sebagai religious nation state berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” mestinya kita mengikuti pola pembuatan hukum sebagaimana Thomas Aquinas menyebut bahwa kitab suci (lex devina) berada di atas konstitusi (human law). Hukum manusia itu berada di bawah kitab suci. Maka, hukum yang baik mestinya menginduk pada hukum Tuhan yang terdapat dalam kitab suci yang diturunkan melalui Rasulullah.
Kedua, good process. Masih menyitir pendapat Lawrence M. Friedman, ada dua hal yang menopang good process: (1) legal structure, menyangkut aparat penegak hukum (APH) dan kelembagaanya. Ada polisi, hakim, jaksa, advokat hingga Lembaga Pemasyarakatan. Mereka mesti berperilaku baik. Jika negara hukum, harusnya patuhi hukum yang ada. Bukan hukum yang tidak sesuai (dengan maunya penguasa), lantas diubah mengikuti penguasa. (2) legal culture, terkait persoalan budaya yang menyangkut pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat.
Inilah dua penopang apakah proses hukum menjadi baik atau tidak, terutama persoalan kesadaran hukum. Ini hal yang harus dikuatkan, termasuk kalangan mahasiswa juga harus melek/mengerti hukum. Jika tidak melek, maka akan mudah ditindas.
Ada sinyalemen dari Brian Z. Tamanaha bahwa Pendidikan Tinggi Hukum sebagai kawah candradimuka (sumber lahirnya penegak hukum) telah menjadi failing law school (sekolah hukum yang gagal). Mengapa? Karena banyak ahli hukum, penegak hukum, lulusan hukum pun makin banyak, tapi tidak identik/linier dengan perbaikan kualitas penegakan hukum. Indonesia bahkan dikenal sebagai negara yang over regulation, namun nul dalam law enforcement. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan agar perguruan tinggi bertanggung jawab terhadap buruknya penegakan hukum, juga korupsi tinggi. Bahkan dikatakan bila perlu PT menjadi "tersangkanya". Padahal di perguruan tinggi, para mahasiswa hukum diajari yang baik-baik, dimotivasi menjadi penegak hukum yang baik. Namun, begitu berinteraksi dengan penguasa/rezim (otoriter), jadilah hukum dan penegak hukum yang nota bene berasal dari PT tersebut terkooptasi. Pada akhirnya jadilah hukum yang berwajah buruk dan bahkan represif serta bengis dalam semua dimensinya.
Jika ditelisik, penyebab utamanya kebobrokan dalam law making dan law sanctioning adalah karena terjadi bifurkasi hukum. Sementara kita sudah bersepakat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tapi saat penguasa melakukan bifurkasi hukum, mereka mengubah/membelokkan secara paksa dari prinsip negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Di sinilah terjadi penegakan hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan, demi mempertahankan status quo. Ketika hukum telah dipakai sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan, maka ia akan menjadi sarana/tunggangan politik. Hukum diekploitasi untuk kepentingan politik atau kekuasaan bahkan dipakai sebagai sarana mewujudkan niat jahat penguasa.
Yang lebih parah lagi, akibat bifurkasi hukum, kita mengalami masa yang disebut industri hukum. Yaitu saat hukum dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh rezim untuk mengokohkan kekuasaannya atau digunakan orang lain untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hukum tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice), tapi sudah berupa: keuntungan dan kepentingan (vested interest). Maka jangan heran, demi kekuasaan/status quo, seseorang bisa dijerat dengan sepuluh lapisan pasal seperti yang dialami Habib Rizieq Shihab hingga ia tak bisa lepas dari hukuman pidana.
Saat penegakan hukum tak lagi berorientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching the truth and justice), akan muncul praktik buruk sekaligus pelanggaran dalam penegakan hukum yang cenderung represif sejak dari garda terdepan dalam penegakan hukum, yakni polisi. Karakter represifnya penegakan hukum tersebut antara lain:
Pertama, prinsip Suka-Suka kami (SSK) dalam penegakan hukum. Menurut catatan saya, SSK ini muncul sejak tahun 2017 ketika ada Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah pada waktu itu yang disidik dan diselidik untuk menguak kasus Apel dan Kemah Pemuda Islam Indonesia. Saat protes oleh Ketua Pemuda Muhammadiyah Fanani dilayangkan mengapa proses penyidikan dilakukan secara maraton, penyidik mengatakan dari Ditreskrimsus Polda Metrojaya DKI mengatakan: “Suka-suka Kami!”
Begitulah, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka (kasus Gus Nur, Bambang Tri). Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak (Putri Candrawati dalam kasus Sambo). Tak ada ukuran objektif, polisi terkesan suka-suka memperlakukan tersangka bahkan meskipun seseorang baru sekadar menjadi terduga.
Kedua, diskriminatif atau inequality before the law. APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak, yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya dengan melakukan kriminalisasi ulama dan aktivis (Gus Nur, Munarman, HRS) versus "pembiaran" para "buzzer" pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dll).
Ketiga, ketidakpatuhan APH terhadap putusan MK. Dalam kasus penangkapan hingga penetapan tersangka tanpa pemeriksaan terhadap Gus Nur, Munarman, serta HRS, polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya.
Keempat, adanya proses penegakan hukum yang kejam (brutal). Penanganan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan enam anggota laskar eF-Pe-I yang dibunuh di luar hukum (extrajudicial killing) oleh aparat. Menunjukkan betapa kejam telah menghabisi seseorang yang tidak berdaya dengan tembakan jarak dekat dan dalam pengusaan APH. Padahal membunuh satu nyawa manusia tanpa hak itu, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. Al Maidah: 32). Belum lagi yang peristiwa yang menimpa dr. Sunardi Sukoharjo yang harus meregang nyawa sebelum terbukti di depan pengadilan bahwa ia benar-benar seorang teroris. Dugaan kuat bahwa telah terjadi unlawfull killings atau extrajudicial killings atas dr. Sunardi. Berturut-turut terjadi kebrutalan tindakan polisi dalam kasus terbunuhnya Brigadir Joshua, tragedi Stadion Kanjuruhan yang mengakibatkan 132 orang meninggal dunia karena dipicu penggunaan gas air mata oleh kepolisian.
Mencari Jalan Keluar
Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan rakyat demi menuju kondisi penegakan hukum yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia, berorientasi pada kebenaran dan keadilan:
Pertama, rakyat harus turut mendorong negara menciptakan good law. Hukum yang terbaik tentu berasal dari yang Maha Terbaik dan Maha Sempurna. yaitu Allah SWT. Kita harus membuat hukum yang sumbernya lex devina. Bagi umat Islam, tentu Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ditambah ijtihad para ulama. Kita harus mencari sumber hukum terbaik, bukan sumber abal-abal. Bukan pula buatan manusia yang kebenarannya tidak bisa kita pastikan. Terlebih saat ini hukum kita masih bersumber dari warisan para penjajah, maka karakter hukumnya menindas dan sangat represif. Hukum semacam ini harus kita ganti. Jika tidak, sistem hukum akan begini terus. Akan semakin membuat kita sengsara. Memperpanjang penderitaan, bukan memperpendek penderitaan rakyat.
Kedua, rakyat harus berani andil untuk menghentikan industri hukum. APH dan aspek legal culture harus mengutamakan kebenaran dan keadilan. Pengadilan ibarat benteng terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Maka pengadilan tidak boleh menjadi ajang gladiator yang hanya digunakan untuk searching the winner and the loser. Kita harus mengutamakan untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Hakimnya harus beriman, berkarakter vigilante (berani) dan memiliki braveness (berjiwa pejuang, pembela kebenaran dan keadilan).
Ketiga, rakyat harus memiliki semboyan hidup: “Live oppressed or rise up against (hidup tertindas atau bangkit melawan).” Maju tak gentar membela yang benar. Bukan maju tak gentar membela yang bayar. Jadilah kelompok yang ditakuti oleh presiden bukan penjilat presiden yang suka "sowan-sowan". Tabik![]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar