TintaSiyasi.com -- Ketika para fuqaha menyatakan bahwa Nashbul Imam (mengangkat seorang khalifah) dan Iqamatul Khilafah (menegakkan khilafah) adalah fardhu kifayah mereka tidak bicara di atas ruang hampa tanpa ada makna. Fardhu kifayah adalah istilah yang telah diketahui manthuq maupun mafhumnya.
Begitu juga ketika para penyeru khilafah menyatakan bahwa menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah yang hingga saat ini belum tegak, karenanya berada di semua pundak kaum Muslim. Mereka menyatakan demikian juga tidak berangkat dari ruang hampa tanpa mengetahui maksud dan landasannya.
Istilah fardhu kifayah didefinisikan sebagai sebuah kewajiban yang pelaksanaannya Allah -sebagai Dzat yang menurunkan syariah - bebankan kepada majmu' al-mukallafin (manusia aqil-baligh secara global) bukan kepada seorang mukallaf secara mu'yyan (perindividu).
Dari definisi di atas, jelas bahwa jika fardhu kifayah belum terlaksana taklif (beban) dalam fardhu tersebut masih tetap berada di atas pundak mukallafin.
Jadi, apakah salah jika dikatakan bahwa kaum Muslim terbebani taklif iqamatul khilafah? Tentu tidak, justru sudah benar bahwa kewajiban ini berada di atas pundak kaum Muslim (mukallaf)!!
Karena itu, fardhu kifayah - sebagaimana dikatakan oleh Dr. Muhammad Mushthofa az-Zuhali - menurut jumhur ulama berkaitan/mengikat masing-masing mukallaf. Seorang yang mampu wajib melakukannya dan yang tidak mampu wajib mendorong yang mampu untuk melakukannya. Sebab, seruan dalam Fardhu Kifayah ditujukan kepada semua mukallaf (aqil-baligh). (Lihat: Dr. Muhammad Mushthofa az-Zuhali, Ushul al-Fiqh al-Islami, 256-257).
Lalu bagaimana dengan pernyataan Imam Abu Ya’la, dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah:
وهي فرض على الكفاية، مخاطب بها طائفتان من الناس، إحداهما: أهل الإجتهاد حتى يختاروا، والثانية: من يوجد فيه شرائط الإمامة حتى ينتصب أحدهم للإمامة.
“Khilafah adalah fardhu kifayah, ada dua kelompok manusia yang diseru dengan kewajiban ini: Pertama, ahli ijtihad agar mereka bisa memilih (imam). Kedua, mereka yang memenuhi syarat menduduki jabatan khilafah, agar salah satu diantara mereka terangkat menduduki jabatan imamah.”
Begitu juga, Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah:
وهي فرض كفاية، كالجهاد وطلب العلم، فإذا قام بها من هو من أهلها سقط فرضها على كافة الناس، لأن فرضها على الكفاية، وإن لم يقم بها أحد خرج من الناس فريقان، أحدهما: أهل الاختيار، حتى يختاروا للناس إماماً، والثاني: أهل الإمامة، حتى ينتصب أحدهم للإمامة، وليس على من عدا هذين الفريقين من الأمة في تأخير الإمامة جرح ولا مأثم
“Mengangkat seorang Imam adalah Fardhu Kifayah, seperti jihad dan thalabul ilmi. Jika telah ada orang yang memiliki kelayakan, maka kewajiban tersebut gugur atas seluruh manusia. Karena kewajibannya adalah kewajiban Kifayah. Dan jika tak seorang pun melakukannya, maka ada kelompok dari manusia. Pertama, orang-orang yang memiliki keahlian memilih Imam, sampai mereka memilih Imam. Kedua, orang-orang yang memiliki kelayakan menduduki jabatan imamah, hingga ada salah seorang dari mereka terangkat menduduki jabatan imamah. Selain atas kedua kelompok umat ini, tiada masalah dan dosa dalam menunda khilafah.”
Bagaimana dua pernyataan di atas?
Jawabannya sangat sederhana. Dikembalikan saja kepada definisi Fardhu Kifayah dan tabiat dari fardhu kifayah tersebut. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam as-Syathibi di dalam al-Muwafaqat, saat beliau menjelaskan hukum jihad dan imamah sebagai fardhu kifayah. Beliau menjelaskan bahwa, meski jihad dan imamah adalah Fardhu Kifayah, namun yang secara spesifik melakukannya adalah mereka yang memiliki kemampuan berperang, keberanian, dan yang semisal, dalam konteks jihad, dan orang-orang yg seperti dijelaskan al-Mawardi dan Abu Ya'la, dalam konteks imamah. Sebab, kata as-Syathibi, tidak mungkin jihad dilaksanakan oleh orang yang tidak ada kemampuan dan keberanian perang. Begitu juga masalah imamah. Ini sama saja membebani hal perkara yang tidak dapat dilakukan oleh seorang mukallaf dan ini justru sia-sia belaka atau bahkan justru kerusakan yang wajib dihentikan. Ini jelas bathil. (Lihat: al-Muwafaqat, 1/177).
Benar, seperti dikatakan di atas. Sehingga, kalau kita kaitkan dengan pernyataan al-Mawardi dan Abu Ya'la di atas, jelas bahwa yang secara khusus berkewajiban dan bertindak secara langsung memilih seorang Khalifah/imam adalah dua kelompok yang disebut-sebut di atas.
Tapi, jangan berhenti di sini. As-Syathibi belum selesai menjelaskan masalah ini. Beliau kembali mengangkat masalah cakupan khitab/seruan dalam Fardhu Kifayah. Hanya kepada kelompok itu sajakah?
Jawabannya tidak. Beliau mengatakan: "Fardhu Kifayah adalah kewajiban atas seluruh mukallaf, dengan sedikit majaz. Sebab, pelaksanaan terhadap Fardhu Kifayah adalah pelaksanaan terhadap kemaslahatan umum, sehingga semuanya secara umum dituntut mengambil peran. Sebagian bisa melakukannya secara langsung, yaitu mereka yang memiliki kelayakan (sebagaimana disebut di atas) dan sebagian -meski tidak memiliki kemampuan secara langsung - mereka mampu untuk mengangkat (baca: mendorong) orang-orang yang mampu..... Jadi, yang mampu dituntut untuk menegakkan kewajiban ini, dan yang tidak mampu, wajib mendorong orang-orang yang mampu. Sebab, tidak akan sampai pada adanya orang-orang yang mampu kecuali dengan didorong oleh orang-orang yang tidak mampu. Dan ini juga masuk pada kaidah: Maa laa yatimm al-wajib illaa bihii fahuwa wajib...". (Lihat: As-Syathibi, juz 1/181).
Dengan demikian, sudah benar apa yang dikatakan oleh para penyeru Khilafah bahwa kewajiban menegakkan Khilafah ada di atas pundak seluruh kaum Muslim. Begitu juga sudah benar apa yang dikatakan oleh al-Mawardi dan Abu Ya'la. Semua sejalan dengan definisi dan makna dari Fardhu Kifayah. Saat al-Mawardi dan Abu Ya'la menyatakan apa yang beliau berdua nyatakan maknanya adalah apa yang disampaikan oleh As-Syathibi di atas. Begitu juga saat para penyeru Khilafah menyatakan bahwa menegakkan Khilafah adalah Fardhu atas kaum seluruh Muslim maknanya adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syathibi. Tidak ada yang melakukan tadlis (penipuan). Tepat seperti dikatakan Kalam bijak:
لكل مقام مقال ، ولكل مقال مقام
"Untuk setiap konteks ada perkataannya, dan untuk setiap perkataan ada konteksnya".
Justru yang layak disebut mudallis (pelaku tadlis) adalah mereka yang mencatut pernyataan al-Mawardi dan Abu Ya'la untuk mendukung syahwat mereka yang menghargamatikan NKRI dan nation state, sembari berupaya menolak kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyyah dengan berbagai cara. []
Oleh: Ustaz Usman Zahid as-Sidany
Ulama Aswaja
0 Komentar