TintaSiyasi.com -- Menyusul Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 sempat diadakan debat di ILC TV One: Benarkah MK melegalkan zina dan LGBT? Pada saat itu Ade Armando menyatakan bahwa ajaran tuhan pun tidak bisa diterapkan begitu saja butuh penafsiran-penafsiran sesuai dengan prinsip pluralitas. Hebat betul pemikirannya. Bagaimana mungkin manual yang dibuat tuhan masih juga diragukan kebenarannya. Atau okaylah silahkan diragukan tetapi apakah ukuran baik buruknya sesuatu pasti dapat diukur dari logika saja? Liberal banget pemikirannya. Bahkan oleh Pendiri Gaya Nusantara (Organisasinya kaum Gay), Pak Dede Oetomo menyatakan bahwa seharusnya negara tidak perlu terlalu mencampuri urusan kamar tidur warga negaranya.
Ada juga yg mempertanyakan agama seharusnya tdk dijadikan sbg dasar pembentukan hukum di Indonesia sehingga pertimbangan pelarangan LGBT seharusnya juga perhatikan bagi orang yg tidak beragama. Kalau sebagian besar masyarakat menolak pun, mereka harus menghormati kelompok LGBT yang jumlahnya sedikit. Hal ini dinyatakan oleh seorang wartawati Geotimes pendukung LGBT Cania Citta. Betapa sekulernya pandangan hidup!
Bukankah kita punya Pancasila, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai Pancasila itulah yang menjadi kaidah penuntun dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia? Apa artinya, sila pertama pun seharusnya menjadi bintang pemandu (leitztern) hukum di Indonesia. Jadi menjadikan nilai Ketuhanan YME sebagai landasan pelarangan LGBT adalah sah, bukan tindakan diskriminatif thd orang yg tidak berketuhanan dan bukan tindakan yang bertentangan dengan HAM.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa memiliki fungsi sbg precept, yakni perintah yang bersifat imperatis kategoris, perintah atau ajaran yang tidak dapat ditawar. Memisahkan persoalan LGBT dengan agama sama artinya kita meniadakan fungsi Pancasila sebagai Pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Dan ini juga tidak berarti memaksakan kehendak golongan kepada golongan lain. Moral Ethic and Religion sudah seharusnya menjadi ukuran dan pedoman hidup bangsa oriental ini. Mengkriminalisasikan seks yang menyimpang untuk khususnya LGBT bukan tindakan yang diskriminatif melainkan tindakan penyelamatan generasi mendatang.
Bagaimana bisa kelompok yang pro LGBT justeru menggunakan landasan kemanusiaan dan hikmah kebijaksanaan sebagai tameng berlindung utk menuntut agar mereka disahkan dan dilindungi serta tidak boleh dikriminalisasikan. Bahkan ayat Al Quran pun sebagai dalil untuk menyatakan bahwa lelaki yang tidak punya hasrat terhadap wanita (homo) sebagaimana disebutkan dalam Quran Surat An Nuur ayat 30. Bahkan menurut Frans Magnis Suseno seks menyimpang itu ALAMI. Karena alami mereka tdk boleh didiskriminasikan dan dikriminalisasikan. Piye jal?
Ada hal yg menarik dari pernyataan Ust. Zaitun:
"Klo putusan MK akhirnya menyatakan bahwa MK tidak berhak membentuk norma baru dan menyarankan para pemohon untuk ke DPR, buat apa sidang dijalankan selama 2 tahun? Ini sebuah pemborosan dan merugikan negara! Lha klo cuma nyuruh kami ke DPR tidak usah diajari!"
Menjalankan hukum bukan hanya dengan logika tapi juga rasa (case LGBT)
Saudaraku, bercermin pada pendapat-pendapat di diskusi pada acara ILC 19 Desember 2017, ternyata tidak sedikit orang yang mengagungkan Positivism Hukum. Menjadikan seolah semua serba technis outomate mechanistic. Kepastian didewakan, HAM diagung-agungkan seolah hidup itu hanya untuk memenuhi keserakahan individu memuaskan hasrat birahi diri meski menyimpang dari koderat illahi. Logika dituhankan seolah diri tak pernah tersusun rasa dan karsa yg penuh hasrat pada pencarian kebenaran illahi. Illahi? Hmmmm, jangankan meyakini, justeru illahi dikatakan sebagai sebuah illusi. Adanya tak pernah dirasakan karena logikanya selalu terjebak segala empirika.
Ini bukan Amerika atau pun Eropa, tapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan---- kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi--- agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropah.
Saudara, kita Indonesia tidak mengikuti aliran Hukum Murni (reinerechtslehre) secara letterlijk. Lihatlah sejak 1964 bersambung dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman mulai UU No. 14 Tahun 1970 smp skrng UU No. 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan:
1. Memutus demi keadilan brdsrkn Ketuhanan YME bukan peraturan belaka.
2. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengukuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Pancasila mulai Tap MPRS XX/MPRS 1966 hingga UU No. 12 Tahun 2011 dijadikan sbg sumber hukum nasional.
4. Pembangunan hukum nasional Indonesia juga bersumber dari hukum Islam, hukum adat dan hukum modern.
Inilah yang mewajibkan kepada kita untuk tidak memisahkan antara hukum dan moral serta agama. Ketiganya terkait. Upaya untuk memisahkannya adalah berarti menggiring kepada jurang keruntuhan negara Pancasila, negara yang berprinsip sebagai religious nation state. Berdasarkan prinsip-prinsip ini adalah wajar bila para penegak hukum khususnya hakim apalagi hakim konstitusi wajib menbaca hukum, konstitusi secara moral (moral reading on constitution).
Membaca HAM sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 harus dilakukan dalam bingkai moral dan agama. Moral dan agama dapat dipakai untuk membatasi hingga melarang perbuatan tertentu yang dinilai bertentangan moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan LGBT sebagai penyimpangan seksualitas terus berkembang tanpa mengambil langkah seribu utk mencegahnya. Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan kuluhuran umat manusia sesuai harkat dan martabatnya. LGBT tidak sesuai dengan Pancasila. Masih meragukan? #terlalubebashidupmenujukehancuran# Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar