TintaSiyasi.com -- Rencana konser grup musik asal Inggris yang bernama Coldplay di Indonesia menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Hal itu lantaran, vokalisnya diduga terindikasi seorang gay dan dikhawatirkan akan mempropagandakan gaya hidup LGBT. Hal ini terutama diopinikan oleh PA 212 yang secara terang-terangan menolak kehadiran grup musik Coldplay untuk menggelar konser di tanah air (15 Nopember 2023). Di satu sisi, pemerintah tidak secara tegas mengikuti usul umat Islam yang diwakili oleh PA 212 bahkan akan melakukan pengamanan terhadap grup musik Coldplay jika telah tiba di tanah air. Apakah ini berarti pemerintah mendukung LGBT melalui program pengamanan dan penerimaan grup Coldplay ini, apalagi tersiar kabar bahwa Menkopolhukam menyatakan kalau LGBT itu merupakan koderat yang tidak dapat dipidana melalui KUHP di Indonesia. Sementara di sisi lain kita tahu, sesuai dengan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, Indonesia adalah negara religious nation state. Dan sebagaian besar penduduk negeri ini muslim (86,19%), dan Islam jelas mengharamkan LGBT (fatwa MUI 2014). Jadi, wajar jika muslim di Indonesia menolak konser Grup Musik Coldplay yang terindikasi mempropagandakan LBGT.
Kita flashback pada akhir 2022, kita juga sempat dihebohkan dengan isu LGBT terkait dengan rencana kunjungan utusan Pemerintah AS dalam program pemajuan HAM LGBTQI+. Kita bersyukur program yang direncanakan pada akhir tahun 2022 ke Indonesia tersebut dibatalkan. Namun, saya kira kita harus tetap waspada karena propaganda LBGT di negeri ini bukan hanya dilakukan saat ini, melainkan sudah sejak lama dan bahkan dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematik. Sebagai bangsa yang disebut religious nation state, propaganda LGBT merupakan persoalan yang problematik.
Ada 2 peristiwa hukum lain pada tahun 2022 yang terkait dengan problematika LGBT di tanah air beberapa waktu lalu:
Pertama:
Presenter Deddy Corbuzier sempat menjadi perbincangan hangat netizen usai mengundang pasangan gay, Ragil Mahardika dan Fred di Podcast miliknya, Sabtu (7/5/2022). Undangan atas pasangan Gay Ragil dan Fred di Podcast-nya, membuat Deddy Corbuzier Panen Hujatan. Deddy Corbuzier dicap malah ikut memberi panggung terhadap LGBT.
Atas peristiwa ini, saya sangat prihatin mengingat, Deddy Corbuzier ini sudah memeluk agama Islam. Dan ketika seseorang sudah merasuk agama Islam, dia harus konsisten untuk menjalankan:
(1) Ketauhidan (teologi Islam)
(2) Ibadah sesuai ajaran Islam
(3) Muamalah pun harus sesuai dengan ajaran Islam.
Tidak ada istilah mualaf atau pun non-mualaf. Memang menjadi kewajiban bagi muslim lainnya untuk berdakwah menuntut para mualaf untuk memahami dan menjalankan syariat Islam, termasuk di dalamnya tentang hukum terhadap sesuatu perkara.
Atas "hujatan" podcast Deddy Cordbuzier, maka Video di kanal YT-nya di-take down atas saran Ustadz pembimbingnya yakni Gus Miftah. Tak ayal, peristiwa propaganda LGBT juga ditanggapi oleh Menkopolhukam yg pada intinya menyatakan bahwa hukum positif Indonesia belum bisa menjerat pelaku dan kegiatan propaganda LGBT. Mau dijerat dengan pasal apa? Memang terkesan kosong, namun kita punya UU perkawinan. Untuk perkawinan LGBT jelas tertolak.
Kedua:
Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu RI) memberikan peringatan kepada Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di Jakarta karena memasang bendera LGBT (24 Mei 2022) dan mengunggahnya di akun instagram resmi @ukinindonesia. Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah menyayangkan tindakan Kedubes Inggris, karena menciptakan polemik di tengah masyarakat Indonesia dan menciptakan isu sensitif.
Inggris dikenal sbg salah satu negara yg melegalkan pernikahan sejenis, kecuali Irlandia Utara. Jadi tidak 'mokal' jika Inggris mengibarkan bendera LGBT.
Tindakan provokatif Kedubes UK ini disebabkan sikap tidak jelas kita terhadap LGBT. Menolak atau menerima atau abu-abu semua tidak jelas koordinatnya. Namun, jika kita lihat faktanya baik pegiat medsos, Ormas Islam, hingga pejabat teras (Menag dan Menkopolhukam) semua menunjukkan sikap yang cenderung membiarkan bahkan terkesan mendukung atas dalih demokrasi dan HAM serta bukan urusan kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jumlah LGBT di Indonesia cukup banyak.
Lihat saja perkembangan LGBT di Indonesia. Berikut ini adalah daftar Provinsi dengan jumlah LGBT terbanyak di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RuanganInfo.com, 10 Mei 2022).
1. Provinsi Sumatera Barat
Sumatera Barat Berada di posisi kelima dengan jumlah LGBT terbanyak, terdapat kurang lebih 18 ribu orang yang tercatat sebagai LGBT.
2. Provinsi DKI Jakarta
Ibukota Indonesia ini menduduki posisi keempat dengan jumlah LGBT nya, terdapat sekitar 43 ribu orang yang tercatat sebagai LGBT.
3. Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ketiga dengan jumlah LGBT terbanyak, terdapat sekitar 218 ribu orang yang tercatat sebagai LGBT.
4. Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur berada di ujung timur pulau Jawa, provinsi ini menduduki posisi kedua sebagai daerah dengan jumlah LGBT terbanyak di Indonesia, terdapat sekitar 300 ribu orang yang tercatat sebagai LGBT.
5. Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat yang beribukotakan Kota Bandung ini, terkenal dengan jumlah LGBT terbanyak di Indonesia.
Di Provinsi ini terdapat sekitar 302 ribu orang sebagai LGBT.
Mengapa LGBT berkembang pesat di negeri yang mayoritas (86, 19%) beragama Islam? Apakah hukumnya tidak tegas mengadopsi hukum mayoritas penduduk di negeri ini soal LGBT?
Memang betul, berdasar hukum positif kita memang tidak ada aturan yang mengkriminalkan LGBT padahal sesuai dengan Pancasila dan prinsip religious nation state LGBT itu bertentangan, perbuatan yang diharamkan. Namun, Pengibaran bendera atau atribut itu bisa dimaknai: tidak menghormati indonesia, dukunganan kuat, provokasi dan nantang ngajak perang. Hal ini bisa dikatakan test water. Lebih spesifik lagi: nantang umat Islam. Umat Islam, khususnya melalui MUI harus menyatakan sikap protes kepada Kedubes Inggris secara resmi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2014 telah mengeluarkan fatwa haram pasangan sesama jenis atau perilaku Lesbian dan Gay sebagai perilaku yang harus diluruskan. Fatwa tersebut bernomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Dalam fatwa tersebut, MUI menjelaskan bahwa perilaku menyukai sesama jenis adalah perilaku menyimpang yang harus diluruskan.
Saya memandang pengibaran bendera LGBT oleh Kedubes Inggris ini sebagai sinyal yang ditampakan resmi sebagai bentuk perlawanan, pasca kasus deddy corbuzier yang mengundang homo. Selain makna bagi internal bangsa Indonesia sebagai religious nation state tadi, pengibaran bendera LGBT itu juga berarti perlawanan negara Inggris terhadap sikap bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang pada prinsipnya mengharamkan LGBT melalui protes terhadap podcast Deddy Corbuzier terkait dengan promosi LGBT, bahkan dikatakan tutorial menjadi pasangan gay.
Prinsip kita khususnya umat Islam terhadap perlawanan itu harus: "mereka jual kita borong". Kita harus menentukan koordinat kita terhadap LGBT. Seharusnya Presiden itu tanggap dan melindungi umat Islam sebagai mayoritas. Jika hingga sekarang belum ada UU dan pasal KUHP yang melarang LGBT, maka Presiden dalam keadaan genting dan kekosongan hukum harus segera mengeluarkan perppu larangan LGBT.
Menurut saya ada 3 hal yang perlu saya tekankan ketika kita bicara hubungan antara LGBT dalam perspektif hukum dan HAM.
Pertama, menjalankan hukum bukan hanya dengan logika tapi juga rasa. Bercermin pada pendapat-pendapat di diskusi pada berbagai acara, ternyata tidak sedikit orang yang mengagungkan Positivism Hukum. Menjadikan seolah semua serba technis outomate mechanistic. Kepastian didewakan, HAM diagung-agungkan seolah hidup itu hanya untuk memenuhi keserakahan individu memuaskan hasrat birahi diri meski menyimpang dari koderat illahi.
Kedua, Indonesia bukan Amerika atau pun Eropah, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan---- kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi--- agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropah.
Saudara, kita Indonesia tidak mengikuti aliran Hukum Murni (reinerechtslehre) secara letterlijk. Lihatlah sejak 1964 bersambung dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman mulai UU No. 14 Tahun 1970 smp skrng UU No. 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan:
(1) Memutus demi keadilan brdsrkn Ketuhanan YME bukan peraturan belaka.
(2) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengukuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
(3) Pancasila mulai Tap MPRS XX/MPRS 1966 hingga UU No. 12 Tahun 2011 dijadikan sbg sumber hukum nasional.
(4) Pembangunan hukum nasional Indonesia juga bersumber dari hukum Islam, hukum adat dan hukum modern.
Inilah yang mewajibkan kepada kita untuk tidak memisahkan antara hukum dan moral serta agama. Ketiganya terkait. Upaya untuk memisahkannya adalah berarti menggiring kepada jurang keruntuhan negara Pancasila, negara yang berprinsip sebagai religious nation state. Berdasarkan prinsip-prinsip ini adalah wajar bila para penegak hukum khususnya hakim apalagi HAKIM KONSTITUSI wajib menbaca hukum, konstitusi secara moral (MORAL READING ON CONSTITUTION).
Ketiga, membaca HAM sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 harus dilakukan dalam bingkai moral dan agama. Moral dan agama dapat dipakai untuk membatasi hingga melarang perbuatan tertentu yang dinilai bertentangan moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan LGBT sebagai penyimpangan seksualitas terus berkembang tanpa mengambil langkah seribu utk mencegahnya. Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan keluhuran umat manusia sesuai harkat dan martabatnya.
Mengingat Indonesia sebagai religious nation state, maka hukum indonesia punya cara untuk menanggulangi mulai dari segi pencegahan hingga pemberantasan LGBT. Sebenarnya telah terang di hadapan kita bahwa propaganda LGBT merupakan sebuah konspirasi global yang akan membawa bahaya besar bagi negeri ini dan penduduknya. Penyebaran LGBT di Indonesia, merupakan upaya sistematis yang banyak dipengaruhi oleh serangan budaya barat. Hal ini dimaksud untuk menjauhkan masyarakat Indonesia meninggalkan ajaran agamanya, alias sekulerisme. Karenanya harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlawanan dari segi hukum harus disiapkan sanksi bagi para pelakunya. Jika tidak ada sanksi apa gunanya hukum? Bukankah hukum dibuat sebagai sarana mencegah dan membuat jera pelaku kriminal. Jika tidak ada sanksi, sama saja bohong.
Tanggal 6 Desember 2022, DPR telah menyetujui RKUHP menjadi UU. LGBT telah ditetapkan sebagai tindak pidana percabulan sebagai mana diatur dalam Pasal 414, sbb:
(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau
c. yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pada KUHP yang berlaku sekarang, LGBT diancam pidana paling lama 5 tahun jika perbuatan cabul dilakukan dgn korban yg belum cukup umur (kurang dari 18 tahun).
Persoalannya ada pada komitmen para penyelenggara negara ini baik di bidang Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Adakah mereka mempunyai sense of crisis terhadap persoalan LGBT ini. Maka tadi saya tawarkan Presiden jika pancasilais harus menginisiasi pelarangan LGBT di seluruh wilayah Indonesia serta memidana pelaku, pelopor, promotor, penyandang dana layaknya pemberantasan terorisme. INI merupakan teror moral, teror mental dan teror agama. Presiden membuat perppu dan DPR ancang-ancang menetapkannya sebagai UU.
Jika perlu, di Pemerintahan Daerah diupayakan menyusun perda larangan LGBT apabila di tingkat nasional Pemerintah Pusat mengabaikan terhadap fenomena kerusakan moral ini untuk mengisi kekosongan hukum dan mestinya tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD, dan UU. Tujuannya satu, yakni memberantas perilaku seks menyimpang yang mengundang azab Allah sebagaimana sejarah di zaman Nabi Luth telah membuktikannya. Saya berada di koordinat menolak perilaku LGBT dan segala bentuk propagandanya. Jika Coldplay terindikasi mempropagandakan LGBT, maka kita wajib menolak konsernya. Tabik! (Rabu, 24 Mei 2023)
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar