Acara yang Disponsori Lembaga Ribawi

Tintasiyasi.com -- Pekan ini akan diadakan lomba memanah yang diadakan oleh bupati (bupati cup), tapi salah satu sponsornya adalah lembaga ribawi, bagaimana hukum mengikuti acara seperti itu ?

Jawaban:

Dalam syariat, yang disepakati adalah kita tidak boleh bermuamalah dengan cara yang dilarang oleh syariat, semisal dengan cara yang riba, atau ada unsur menipu atau mendzalimi pihak lain. 

Demikian juga haram hukumnya bertransaksi dengan harta yang jelas-jelas dan pasti didapatkan dengan cara yang haram, baik itu lewat jual beli atau menerima pemberian. Al Imam Dusuqi rahimahullah berkata :

وأما من كان كل ماله حرام ... فهذا تمنع معاملته ومداينته ويمنع من التصرف المالي وغيره

 “Adapun pihak yang hartanya semuanya haram... Maka dilarang bermu’amalah dengannya, meminjam uang darinya dan memberikan harta itu kepada orang lain.”[1]

Juga dikatakan :

ما كان محرم العين كالمال المسروق والمغصوب ، وهذا لا يجوز قبوله من أحد

“Harta yang statusnya haram diketahui dengan nyata seperti hasil mencuri, hasil merampas, sama sekali tidak boleh diterima.”[2]

Contohnya kita tahu pasti bahwa seseorang berprofesi sebagai pencuri, suatu siang ia mencuri kotak amal masjid,  lalu uangnya oleh si pencuri digunakan untuk membeli barang kita atau mungkin diberikan kepada kita, maka haram hukumnya.

Contoh lainnya di zaman ini adalah praktek pencucian uang hasil korupsi. Sehingga kalau ada koruptor menyerahkan uang untuk pembangunan pesantren atau masjid hukumnya haram untuk diterima.

Jenis kedua adalah yang hartanya didominasi dari sumber yang haram. Contohnya adalah seseorang yang memiliki mata pencaharian utama bekerja di lembaga ribawi dan ia tidak memiliki pekerjaan selain itu yang bisa diharapkan hasilnya. Untuk jenis kedua ini ulama berbeda pendapat:

Pertama, haram bermuamalah dengannya. Disebutkan dalam fatawa Syabakah al Islamiyah :

وأما إذا كان يباشر النوع المحرم فقط أو كان هو الغالب على عمله بحيث يكون تعامله في النوع الجائز نادرا والنادر لا حكم له، فإنه لا يجوز قبول هبة منه أو هدية

“Adapun jika keadaannya seseorang berurusan dengan jenis yang haram saja, atau secara umum pekerjaannya yang bersumber dari yang halal sangat kecil peluangnya, sedangkan yang seperti ini tidak bisa dijadikan hukum, maka tidak boleh menerima hibah dari pihak yang seperti ini dan tidak juga hadiah.”[3]

Pendapat ini juga dipegang oleh Ibn Rusyd al Jadd rahimahullah. Beliau berkata :

وسواء كان له مال سواه أو لم يكن لا يحل أن يشترىه منه إن كان عرضا، ولا يبيعه فيه إن كان عين، ولا يأكل منه إن كان طعاما، ولايقبل شيئا من ذلك هبة… ومن فعل شيئأ من ذلك وهو عالم كان سبيله سبيل الغاسب في جميع أحواله

“Baik dia memiliki harta lain, atau tidak punya harta selain harta riba itu, tidak halal untuk melakukan jual beli dengannya, baik barang dagangan atau benda lainnya. Tidak boleh mengkonsumsi makanannya atau menerima sedikitpun dari hibahnya. 

Siapa yang melakukannya, sementara dia telah tahu –bahwa itu riba – maka kebiasaannya seperti kebiasaan orang yang suka merampas harta /tidak halal.”[4]

Demikian juga hujatul Islam al imam Ghazali termasuk yang mengharamkan bermuamalah oleh pihak yang hartanya didominasi dengan yang haram. Beliau berkata :

وكل من ‌أكثر ‌ماله ‌حرام فلا ينبغي أن يتملك مما في أيديهم شيئا لأجل أنها حرام إلا إذا عرف شيئا بعينه أنه حلال

“Dan setiap orang yang hartanya didominasi oleh yang haram, maka tidak boleh memiliki harta dari mereka sedikitpun, karena itu adalah harta haram. Kecuali jika diketauhi bahwa yang diketahui yang diberikan dari sumber yang halal.”[5]

Kedua, boleh namun makruh bermuamalah dengan orang yang hartanya sebagian besar didapatkan dari jalan yang haram. Berkata imam ar Ruyani rahimahullah :

وأكره مبايعة من ‌أكثر ‌ماله ‌حرام

“Dan dimakruhkan melakukan transaksi jual beli dengan pihak yang hartanya kebanyakan dari sumber yang haram.”[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata :

دعاه من ‌أكثر ‌ماله ‌حرام، كرهت إجابته كما تكره معاملته

“Menerima undangan orang yang hartanya banyak yang haram maka makruh hukumnya untuk memenuhi undangannya. Sebagaimana makruh bermua’amalah dengan orang yang seperti itu.”[7]

Berkata imam Suyuthi rahimahullah :

معاملة من أكثر ماله حرام، إذا لم يعرف عينه لا يحرم في الأصح لكن يكره

“Bertransaksi dengan pihak yang hartanya dominan dari sumber yang haram, jika tidak diketahui pasti status harta (halal atau tidak) yang diserahkan (saat bertransaksi), maka hukumnya tidak haram menurut pendapat yang benar, namun makruh.”[8]

Al Imam Dusuqi rahimahullah berkata :

‌وأما ‌من ‌أكثر ‌ماله ‌حرام والقليل منه حلال ... كراهة معاملته ومداينته والأكل من ماله وهو المعتمد

“Adapun pihak yang hartanya didominasi oleh yang haram dan sedikit yang halal, maka makruh bermuamalah dengannya, berhutang darinya dan makan dari makanannya. Ini adalah pendapat yang dipegang (dalam madzhab Maliki).”[9]

Jenis terakhir, adalah harta yang tidak didominasi oleh yang haram atas yang halal. Alias tidak diketahui pasti antara yang halal dengan yang haram. Contohnya si fulan adalah orang fasik bahkan katakan saja dia non muslim. Yang mana tentu karena dia bukan orang Islam, cara mencari rezekinya tidak akan mengindahkan halal haram termasuk riba. Nah dari orang yang seperti ini, menurut mayoritas ulama hal ini tidak apa-apa.

Dalilnya adalah bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam dahulu juga bermuamalah dengan orang Yahudi. Beliau berjual beli dan juga berhutang dari mereka. Padahal tentu Rasulullah tahu bahwa kaum Yahudi menghalalkan riba dan mereka juga melakukan penipuan dalam jual belinya.

Lalu Bagaimana dengan Kasus yang Ditanyakan ?

Tentu ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan boleh. Karena dianggap seperti kasus muamalah dengan orang kafir dan fasiq yang telah dijelaskan diatas. Haramnya bermuamalah dengan lembaga seperti itu adalah jika seseorang bertransaksi dengan menggunakan sistem yang memang ribawi. Misalnya meminjam uang, menitipkan uang untuk dibungakan dan seterusnya.

Namun jika transaksi tidak menggunakan sistem mereka. Semisal lembaga tersebut membeli barang dari kita dengan sistem syariah yang sah atau dengan cara memberi hadiah dengan mensponsori acara tersebut, maka hukumnya boleh.

Sedangkan pendapat kedua mengatakan tetap tidak boleh. Karena jelas bahwa lembaga ribawi ini sumber pendapatan mereka adalah riba secara pasti atau secara dugaan kuat. Sedangkan qiyas kepada kasus Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bermuamalah dengan Yahudi dianggap tidaklah tepat. Sebab orang kafir tidak terikat dengan rambu-rambu syariat seperti larangan riba.

Namun kami melihat hukum dari soalan ini lebih ringan di lihat dari dua sisi : Pertama, karena yang mendapatkan dana dari sumber yang dipermasalahkan ini bukanlah pihak yang hendak bermuamalah langsung, tapi pihak lain, yakni yang menyelenggarakan lomba.

Kedua,pendanaan acara tersebut dari beberapa sumber yang tidak bisa dipastikan keharamannya. Minimal didominasi oleh yang haram (tidak mutlak).

Sehingga harta yang digunakan pada acara tersebut tidak lagi bisa dikatakan mutlak dari sumber yang haram yang disepakati keharamannya. Paling jatuhnya khilaf antara yang mengharamkan dengan yang memakruhkan. Sehingga pendapat yang pertama dalam hal ini- wallahu a’lam- lebih tepat secara realita.

Kesimpulan

Mengikuti acara mubah yang diadakan oleh pihak tertentu yang mana sebagian sponsornya berasal dari lembaga ribawi hukumnya boleh menurut pendapat yang lebih  kuat, namun pendapat yang lebih berhati-hati adalah dengan meninggalkannya. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: K.H. Ahmad Syahrin Thoriq
(Pengasuh Pondok Pesantren Subulana Kota Bontang Kalimantang Timur)

____________
[1] Hasyiah ad Dusuqi (3/277)
[2] Mauqi’ Islam as Su’al wal Jawab (5/5096)
[3] Fatwa Asy Syabakah al Islamiyah (12/4946)
[4] Fatwa Ibnu Rusyd (1/645)
[5] Ihya al Ulumuddin (2/126)
[6] Bahrul Madzhab (4/560)
[7] Raudhatut Thalibin (7/337)
[8] Al Asybahu wa an Nadzair hal. 107
[9] Hasyiah ad Dusuqi (3/277)

Posting Komentar

0 Komentar