TintaSiyasi.com -- Pelanggaran pelaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) terhadap syariah Islam sebenarnya sudah jelas. Tidak ada perdebatan di dalamnya. Perdebatan mengemuka ketika menilai baik dan buruknya LGBT dengan standar selain hukum Islam. Secara garis besar, kubu yang pro LGBT mendasarkan pendapatnya pada hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, kaum Muslim yang kontra LGBT mendasarkan pendapatnya pada nilai-nilai normatif, yaitu ajaran Islam. Sampai di sini sebenarnya sudah selesai.
Namun, masalah kembali muncul ketika kubu yang pro LGBT mencoba untuk menjustifikasi pelaku LGBT dengan landasan normatif dari al-Quran. Beberapa ayat al-Quran ditafsir ulang agar sejalan dengan perilaku menyimpang LGBT. Berangkat dari justifikasi pendukung LGBT dengan menggunakan dalil-dalil agama itu, perlu kiranya kita memberikan bantahan atas dalih-dalih tersebut agar menjadi jelas kecacatannya.
Dalih Pembenaran LGBT dan Bantahannya
Para pendukung LGBT dari kelompok liberal berusaha menjustifikasi atau melakukan pembenaran atas perilaku menyimpang tersebut. Dalam website resmi “Islam Liberal”, mereka melakukan pembelaan pada LGBT dalam tajuk “Dalil LGBT dalam Al-Qur'an”.¹ Argumentasi mereka dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, di dalam Al-Qur'an tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menolak LGBT. Oleh karena itu terbuka untuk menggali makna yang relevan dan humanis tentang masalah ini.
Kedua, kisah kaum Nabi Luth as yang disebutkan dalam Al-Qur'an bukan larangan LGBT, melainkan cerita penghibur bagi Nabi Muhammad saw. karena mengalami penolakan dakwah di Makkah. Mereka mendasarkan pada asbaab an-nuzuul (sebab turunnya ayat) dan munaasabah (hubungan) di antara ayat-ayat Al-Qur'an.
Ketiga, ragam orientasi seksual dalam kasus LGBT merupakan sesuatu yang bersifat bawaan (alamiah, tabiat) dan mendapat pengakuan dalam QS al-Isra’ [17]: 84.
Keempat, Al-Qur'an memberikan isyarat penerimaan LGBT dengan menjanjikan pelayan anak muda tampan di surga nanti (lihat QS al-Waqi’ah [56]: 17, QS al-Insan [76]: 19 dan QS ath-Thur [52]: 24).
Kelima, Al-Qur'an memberikan petunjuk penerimaan LGBT dengan kebolehan perempuan menampakkan aurat kepada laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual kepada perempuan (QS an-Nur [24]: 31).
Jawaban atas syubhat-syubhat sesat tersebut di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, Al-Qur'an justru memberikan petunjuk penolakan tegas terhadap LGBT. Bodoh jika dikatakan bahwa Al-Qur'an tidak menolak perilaku menyimpang lesbian, gay, biseksual dan transgender. Dalam ilmu ushul fikih, ungkapan dalam Al-Qur'an dan al-Hadis dapat dipahami secara mantuuq (tekstual), mafhuum (kontekstual) dan ma’quul (rasional, karena adanya illat syar’iyyah).
Memang benar secara tekstual tidak ada redaksi pengharaman homoseksual seperti pengharaman bangkai dan daging babi. Namun, siapa saja yang memiliki ilmu dalam memahami Al-Qur'an, niscaya akan menjumpai terdapat banyak penunjukkan (dalaalah, yang merupakan bagian dari mafhuum) yang mengharamkan homoseksual. Al-Qur'an menyifati homoseksual dengan sifat-sifat tercela seperti faahisyah, khabiits, dll.
Belum lagi dalam Hadis Nabi SAW. Beliau, sebagai orang yang paling paham atas Al-Qur'an, mengutuk pelaku LGBT. Beliau mengecam perbuatan homoseksual (liwath)²:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ
Sungguh yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).³
Beliau pun bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى رَجُلٍ أَتىَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا
Allah tidak akan memandang kepada seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya atau mendatangi perempuan pada duburnya (HR Ibnu Hibban, at-Tirmidzi, dll).⁴
Dalam hadis lainnya terdapat ungkapan bahwa pelaku homoseksual dilaknat oleh Allah SWT. Laknat Allah SWT ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
لَعَنَ الله مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ، لَعَنَ الله مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dll).
Bahkan pelaku homoseksual wajib dikenai sanksi dunia oleh khalifah berupa hukuman mati. Nabi SAW bersabda:
مَنْ وَجَدْتُمُوه يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لوُطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعَلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum matilah subjek dan objeknya (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).
Kedua, tidak benar bahwa kisah kaum Nabi Luth as yang dikabarkan kepada Nabi Muhammad SAW hanyalah cerita penghibur di kala beliau mengalami penolakan dakwah. Dengan memperhatikan munaasabah di antara ayat-ayat yang serupa, justru makin menguatkan bahwa di dalamnya ada penunjukan (dalaalah) yang jelas atas keharaman dan ketercelaan homoseksual. Asbaab an-nuzul ayat tersebut sama sekali tidak menegasikan penunjukan (dalaalah)-nya bahwa homoseksual adalah perkara yang tercela dan harus dijauhi.
Ketika membahas LGBT, kita tidak bisa lepas dari perilaku menyimpang kaum Nabi Luth as yang dikenal sebagai kaum penyuka sesama jenis (homoseksual). Dari 27 ayat yang memuat redaksi Nabi Luth as., terdapat tiga ayat yang melabeli perilaku kaum Nabi Luth as sebagai “faahisyah”, yaitu: QS al-A’raf [7]: 80; QS an-Naml [27]: 54; dan QS al-‘Ankabut [29]: 28.
Secara bahasa, para ulama menyimpulkan bahwa “faahisyah” menunjukkan sesuatu yang buruk, keji dan dibenci. Faahisyah juga dapat diartikan sebagai perbuatan atau perkataan yang sangat buruk dan tercela, bahkan lebih keji dari perbuatan zina yang juga keji.⁵
Sesungguhnya penafsiran kata faahisyah sebagai homoseksual didasarkan pada tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, yaitu QS al-A’raf [7]: 80 ditafsiri dengan ayat berikutnya, QS al-A’raf [7]: 81. Disebutkan bahwa perbuatan tersebut telah melampaui batas, yakni perbuatan haram.
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. al-A’raf [7]: 81).
Selain dilabeli sebagai faahisyah, perilaku kaum Nabi Luth as. juga disebut dengan “khabaa’its”, bentuk jamak dari khabiitsah (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 74).
Secara bahasa, khabiits berarti buruk dan kotor. Ar-Raghib al-Ashfahani mengartikan kata khabiits sebagai sesuatu yang dibenci, jelek dan hina, baik secara empiris maupun akal. Dari sini al-Ashfahani menyebut bahwa kata khabiits dijadikan sebagai metonimi (kinaayah) dari homoseksual.⁶
Ketiga, LGBT bukan merupakan gejala alami (tabiat bawaan) yang mendapat pengakuan dalam QS al-Isra’ [17]: 84. Sebaliknya, LGBT adalah penyimpangan seksual yang sangat buruk. Pembuktian atas hal itu sudah banyak dipublikasikan dalam banyak penelitian dan pendapat para ahli. Adapun QS al-Isra’ [17]: 84 sama sekali bukan bentuk penerimaan pada penyimpangan seksual. Makna “syaakilah” dalam ayat tersebut adalah keadaan atau pembawaan manusia. Artinya, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan atau pembawaannya masing-masing. Ibnu Abbas ra. mengatakan, yang dimaksud dengan ”’ala syaakilatihi” ialah menurut keahliannya masing-masing. Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah menurut keadaannya masing-masing. Menurut Qatadah maknanya adalah menurut niatnya masing-masing. Ibnu Zaid mengatakan maknanya adalah menurut keyakinannya masing-masing.⁷
Semua definisi yang disebutkan di sini saling berdekatan maknanya. Dengan demikian, memaknai syaakilah dengan pembawaan manusia berupa penyimpangan seksual adalah kesalahan fatal. Bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian.
Keempat, kelompok liberal telah gagal memahami ayat Al-Qur'an yang menjanjikan bahwa penghuni surga akan didampingi oleh anak muda tampan. “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda.” (TQS al-Waqi’ah [56]: 17). Maksudnya adalah (mereka dikelilingi) oleh para pelayan (yang terdiri dari anak-anak muda yang tetap muda). Artinya, mereka tetap muda untuk selama-lamanya.⁸ Mereka tidak istirahat. Bahkan mereka bertebaran untuk membantu menyediakan kebutuhan (penduduk surga).
Siapakah pelayan dari kalangan anak muda tersebut? Para ulama berbeda pendapat. Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib ra, yang dimaksud dengan anak-anak muda itu adalah anak-anak kaum Muslim yang meninggal dunia saat kecil yang belum memiliki amal kebaikan dan keburukan. Dalam riwayat lain, dari Salman ra. ia berkata, “Anak-anak orang musyrik. Merekalah sebagai para pembantu penduduk surga.” Pendapat lainnya adalah bahwa anak-anak yang bertebaran di sekitar penghuni surga adalah salah satu dari ciptaan Allah di surga. Mereka bukan anak-anak dari penduduk bumi.⁹
Dengan demikian kelompok liberal telah berfantasi bahwa pelayan-pelayan tersebut adalah pemuas hubungan homoseksual.
Kelima, mereka melakukan kesalahan fatal dalam memahami potongan ayat “uli al-irbah min ar-rijaal (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ)” dalam QS an-Nur ayat 31 yang sering dijadikan justifikasi penerimaan LGBT. Ungkapan tersebut konteksnya berkaitan dengan seorang laki-laki yang tak memiliki hasrat terhadap wanita, dengan karakteristik yang kemudian dirinci oleh para ulama. Ibn Abbas ra. berpendapat bahwa mereka adalah orang yang sakit akalnya, tidak berhasrat kepada perempuan dan tidak menginginkannya.¹⁰
Imam an-Nawawi menguatkan pendapat ini. Ulama lainnya, seperti Mujahid, menafsirkan bahwa itu adalah laki-laki yang tidak berhasrat kepada wanita. Az-Zuhri menafsirkan frasa tersebut sebagai orang pandir (ahmaq, bodoh tak berhasrat kepada wanita). Ada juga yang menafsirkan sebagai laki-laki yang sudah tua renta, yang tidak lagi berhasrat kepada wanita dan tidak menginginkan wanita.¹¹
Dengan demikian sebuah kecerobohan jika “laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual” dimaknai sebagai laki-laki penyuka sesama jenis atau gay. Tidak ada satu pun penafsiran ulama mu’tabar yang memahami bahwa laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah yang memiliki kecenderungan homoseksual.
Penutup
Demikianlah. Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan aktivitas LGBT. Semua dalih yang digunakan oleh kelompok liberal untuk menjustifikiasi pelaku LGBT tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Al-Quran melabeli homoseksual sebagai perilaku faahisyah, yang berarti perbuatan keji yang tergolong dosa besar; juga sebagai perilaku khabiits yang berarti perbuatan hina. Bahkan Nabi saw. menyebutkan laknat untuk mereka. Homoseksual dinilai hina karena menyalahi fitrah manusia normal. Para ulama telah sepakat akan keharaman LGBT. Pelakunya dianggap telah melakukan dosa besar. Jika masih ada yang melakukan itu maka sistem ‘uquubaat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan pelanggaran serupa. Adapun bentuk sanksinya berbeda-beda; bergantung pada fakta perbuatannya. Lesbian, gay, biseksual dan transgender memiliki fakta hukum yang berbeda.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Sumber: Al Wa'ie
Catatan kaki:
1. Lihat Anonim, “Dalil LGBT dalam al-Quran”, https://islamlib.com/gagasan/dalil-lgbt-dalam-al-quran/ , diakses pada 10 Januari 2023.
2. _Homoseksual adalah perbuatan laki-laki mendatangi laki-laki lainnya melalui duburnya, yang dalam istilah syariah disebut liwath. Pengertian liwath. Hal itu bisa kita rujuk dalam penjelasan Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, bahwa: “Al-Liwath: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, yaitu memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual). (Lihat Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, juz I, hlm. 394)
3 Hadits ini dinilai shahih oleh imam al-Hakim. Abu Isa mengatakan: ”Hadits ini hasan gharib dari jalur ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
4 Hadits ini shahih. Imam Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya, dan Syu’aib al-Arna’uth mengatakan, ”Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”.
5 Lihat Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amru al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil, juz 3, hlm. 451; Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafatiih al-Ghayb, juz 27, hlm. 49.
6 Lihat Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fî Gharib al-Qur’an, jilid I, hlm. 124.
7 Lihat Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, Juz 5, hlm. 115.
8 Lihat Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahaliy, Tafsir al-Jalalain, hlm. 494.
9 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 4, hlm. 312.
10 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur’an, juz 19, hlm. 161.
11 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan, juz 19, hlm. 161.
0 Komentar