TintaSiyasi.com -- Tanya:
Ustaz, ada sebuah fatwa online yang mengatakan bahwa bunga deposito hukumnya boleh karena dianggap bagi hasil dari suatu kegiatan investasi berbentuk syirkah mudhorobah. Bagaimana menurut Ustaz? (Agus, Jogja).
Jawab:
Fatwa yang menyatakan bahwa bunga deposito hukumnya boleh karena dianggap bagi hasil dari syirkah mudhorobah adalah fatwa yang batil.
Kebatilan fatwa tersebut dapat ditinjau dari dari 2 (dua) alasan sebagai berikut:
Pertama, akad antara nasabah dengan bank sebenarnya adalah akad qardh (pinjaman), bukan akad syirkah mudhorobah. Jadi hubungan antara bank dan nasabah adalah hubungan nasabah sebagai pihak pemberi pinjaman (muqridh) dengan bank sebagai pihak yang meminjam (muqtaridh). (Umar bin Abdil Aziz Al Matrak, Ar Riba wa Al Mu’amalat Al Mashrifiyyah fi Nazhar As Syari’ah Al Islamiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 345-350).
Hubungan antara bank dan nasabah tidak dapat dianggap hubungan antara pemodal (shahibul mal) dengan pengelola modal (‘amil/mudharib) sebagaimana dalam mudhorobah. Karena terdapat perbedaan yang nyata antara akad qardh dan akad mudhorobah dalam 2 (dua) poin sbb:
(1) pada akad qardh pihak bank memberikan bunga dalam persentase tertentu kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu, misalnya 10% pertahun, tanpa melihat lagi apakah bank mengalami keuntungan atau kerugian.
Sedang pada mudhorobah, bagi hasil hanya diberikan kepada pemodal (shahibul mal) jika pengelola modal (‘aamil/mudharib) mendapatkan keuntungan. Jika pengelola modal mengalami kerugian, tidak ada bagi hasil yang diberikan kepada pemodal.
(2) pada akad qardh, sejumlah uang yang diberikan pemberi pinjaman kepada pihak peminjam (muqtaridh), telah menjadi milik peminjam itu, karena dalam qardh memang terjadi perpindahan kepemilikan (naql al milkiyyah) uang, hanya saja pihak peminjam wajib mengembalikan pinjaman itu kepada pemberi pinjaman. Hal ini berimplikasi jika peminjam mengalami kerugian, maka bagaimana pun juga dia wajib mengembalikan pinjaman itu kepada pemberi pinjaman.
Ini berbeda dengan mudhorobah. Dalam akad mudhorobah, sejumlah uang yang diserahkan oleh pemodal (shahibul mal) kepada pengelola modal (‘aamil/mudharib) bukanlah menjadi milik pengelola modal itu, karena dalam mudhorobah tidak terjadi perpindahan kepemilikan (naql al milkiyyah) uang, karena status pengelola modal hanyalah wakil dari pemodal. Hal ini berimplikasi jika pengelola modal mengalami kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh pemodal saja, sedangkan pengelola modal pada dasarnya tidak menanggung kerugian sedikitpun, kecuali kalau kerugian itu terjadi karena kelalaian pihak pengelola modal. (M. Ali As Salus, _Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah wa Al Iqtishad Al Islami_, Maktabah Darul Qur`an : Mesir, 2002, hlm. 101).
Kedua, bunga deposito yang diberikan bank kepada nasabah tidak dapat disebut bagi hasil mudhorobah, karena jika bagi hasil mudhorobah mestinya berupa persentase dari keuntungan (profit), bukan persentase dari sejumlah uang/modal.
Faktanya, apa yang disebut bagi hasil mudhorobah adalah persentase dari sejumlah uang (modal) yang disetor oleh nasabah. Ini tidak boleh dalam mudhorobah. Dalam kitab Al Ma’ayir Al Syar’iyyah (Sharia Standards, 2015) disebutkan mengenai ketentuan bagi hasil mudhorobah, ”Pembagian keuntungan harus didasarkan pada persentase yang disepakati dari keuntungan (laba), dan bukan didasarkan pada suatu jumlah tertentu atau persentase tertentu dari modal (nisbah min ra`sil maal) / percentage of the capital.” (Al Ma’ayir Al Syar’iyyah, AAOIFI, Riyadh : Darul Maiman, 2015, hlm. 372).
Berdasarkan 2 (dua) alasan di atas, jelaslah fatwa yang ditanyakan adalah batil. Bunga deposito itu bukanlah bagi hasil mudhorobah, melainkan riba yang diperoleh sebagai tambahan dari pinjaman (qardh) yang diberikan nasabah kepada bank. Wallahu a’lam. []
Makassar, 15 Januari 2018
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Ahli Fiqih Islam
0 Komentar