TintaSiyasi.com -- Dalam dunia ekonomi, ekspor dan impor dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi, dalam sistem ekonomi kapitalisme, ekspor dan impor bisa jadi alat penjajahan. Memang seolah-olah melakukan aktivitas ekspor dan impor selayaknya jual beli, tetapi di situlah jadi awal mulanya penjajahan. Kok bisa? Ekspor dan impor adalah jual dan beli dengan negara asing. Ekspor dan impor jadi alat penjajahan apabila komoditas yang diekspor dan diimpor diatur oleh asing dan negara tidak memiliki kemandirian untuk menolak untuk impor maupun ekspor.
Sebagaimana contohnya, impor pangan. Sebagai negara yang berdaulat seharusnya bisa memiliki kemandirian pangan dengan optimalisasi pertanian dan produksi dalam negeri. Sehingga, tidak bergantung dengan negara asing. Tetapi, karena adanya perjanjian perdagangan luar negeri, seperti WTO (World Trade Organization), mau-tidak mau, suka-tidak suka negara yang tergabung dalam perjanjian itu harus impor walaupun masih bisa mencukupi kebutuhan di negaranya sendiri. Alhasil, dibuatlah alasan begini dan begitu untuk melakukan impor ugal-ugalan.
Di sisi lain, negara tersebut malah mengekspor dan/atau memberikan konsensinya terhadap pengelolaan barang tambang atau sumber daya alam di dalam negeri kepada perusahaan asing. Walhasil, sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri harus dikuasai kapitalis asing dan digunakan untuk kepentingan negara asing.
Bahkan, paling parah negara seolah-olah tidak bisa mengatur harga bahan bakar minyak sendiri dan harus mencabut subsidi demi mengikuti ambisi perdagangan bebas yang digawangi WTO. Di situlah perdagangan yang semula hal yang mubah jadi alat penjajahan asing. Negara kaya SDA seolah-olah jadi miskin karena SDA tidak dimiliki dan terjerat impor terus menerus. Begitulah kondisinya, ketika sebuah negara terperdaya oleh asing. Bahkan, ekspor dan impor yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan hajat hidup orang banyak malah dijadikan alat penjajahan.
Apa Kabar Indonesia?
Ada beberapa catatan menarik terkait impor dan ekspor di Indonesia. Pertama, dengan dalih mengantisipasi badai El Nino pemerintah berencana impor beras satu juta ton dari India. Hal tersebut dikonfirmasi dari Mendag Zulkifli Hasan (detikFinance.com, 16-6-2023). Rencana tersebut dinilai merugikan petani karena petani akan panen raya, mengapa pemerintah malah impor? Masalah impor bahan pangan memang terlalu sering, sedikit-sedikit impor pangan, baik itu beras, gula, kedelai, dan lain sebagainya. Memang ketika pemerintah memilih memajukan swasembada pangan butuh upaya keras, tetapi itulah yang memandirikan negara dan tidak menyebabkan ketergantungan terhadap negara asing.
Kedua, wacana ekspor pasir laut yang menuai pro dan kontra publik telah dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Ia merespons kabar soal terbitnya kebijakan ekspor pasir laut untuk memuluskan investasi dari Singapura dan menjelaskan ekspor pasir laut masih dilarang. (detikFinance.com, 24-6-2023). Ekspor pasir laut dinilai berpotensi merusak ekosistem alam dan sedimentasi. Hal inilah yang membuat eskpor air laut menuai penolakan.
Cara pandang kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan materi, terkadang membuat pemerintah abai terhadap potensi kerugian atas hilangnya keseimbangan atau kerusakan ekosistem laut yang ada disekitar lingkungan tersebut. Mereka hanya memberikan janji akan menghentikan program tersebut jika terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup di wilayah perairan. Pemerintah juga mengklaim akan memastikan pasir yang dikuras tidak di pesisir pulau-pulau kecil terutama yang terancam tenggelam.
Sejak tahun 2003 lalu, kebijakan ekspor pasir laut sudah dilarang melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 larangan ekspor itu pun dipertegas pada 2007. Ekspor pasir menyebabkan Pulau Nipah dan Sebatik tempat hilang. Karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual di Singapura. Oleh karena itu, proyek sedimentasi yang diklaim sebagai penyehatan ekosistem sejatinya hanya kebijakan yang memuluskan kepentingan ekonomi para kapital. Atas dasar ini pemerintah tidak boleh melakukan ekspor pasir laut dan konfirmasi Luhut semoga benar adanya.
Ketiga, ekspor batu bara. Baru bara adalah sumber energi yang memiliki potensi besar. Tetapi, Indonesia malah melakukan ekspor batu bara besar-besaran. Andai saja batu bara yang ada di dalam negeri dikelola dengan baik, tentu Indonesia tidak perlu bekerja sama dengan Cina soal pembangkit listrik. Selain itu, seharusnya negara bisa memilah mana yang digunakan untuk negeri dulu, mana yang berlebih dan bisa diekspor ke luar negeri. Sehingga, adanya ekspor tidak membuat negara terperdaya dengan cengkeraman kapitalisme.
Sebenarnya masih banyak lagi soal impor dan ekspor yang terjadi di Indonesia dan perlu dilakukan pengkajian ulang. Apakah itu perlu dilakukan ataukah bisa mengoptimalkan potensi sumber daya manusia dan alam? Sehingga, aktivitas ekspor dan impor tidak bikin tekor perekonomian. Apabila sudah dikaji ulang, tetapi tetap harus melakukan impor dan ekspor, mengapa Indonesia terjebak dalam lingkaran ekspor dan impor itu? Apa yang membuat Indonesia terpenjara dengan ekspor dan impor itu?
Jika keberadaan Indonesia yang ikut perjanjian perdagangan luar negeri (WTO, GATS, dll) menyebabkan tidak bisa mandiri dan berdikari, maka Indonesia harus mengambil sikap tegas untuk keluar dari perjanjian perdagangan itu. Apabila konsekuensi terburuk adalah diembargo, dengan segala potensi SDA dan SDM yang ada, seharusnya Indonesia mampu. Hanya saja, apakah Indonesia berani mengambil tindakan tersebut? Atau masih diatur dalam skenario neoimperialisme global berkedok perjanjian atau organisasi berskala internasional tersebut? Beginilah dampak busuknya ekonomi kapitalisme yang penuh keeroran. Mereka bisa melakukan perdagangan sekaligus penjajahan dalam secarik perjanjian.
Pengelolaan
Pengelolaan sumber daya alam di dalam Islam memiliki aturan pakem yaitu tidak boleh dikapitalisasi maupun diswastanisasi. Hal itu dipertegas dalam hadis Rasulullah, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Di sini peran negara penting untuk memaksimalkan potensi SDM dalam pengelolaan kekayaan alam maupun lingkungan.
Selain itu, sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, maka khilafah senantiasa menetapkan kebijakan berdasarkan nas-nas syariat. Terkait pengelolaan lingkungan Allah Ta'ala memerintahkan agar Manusia memanfaatkan sesuai kebutuhan mereka. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an surah Al-Hijr ayat 19-20
وَٱلْأَرْضَ مَدَدْنَٰهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَٰسِىَ وَأَنۢبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ شَىْءٍ مَّوْزُونٍ
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَٰيِشَ وَمَن لَّسْتُمْ لَهُۥ بِرَٰزِقِينَ
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.
Manusia dilarang berbuat kerusakan di muka bumi agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 56: Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.
Dari dalil-dalil tersebut khilafah membuat kebijakan yang mengatur pemanfaatan kekayaan lingkungan termasuk pengelolaan sedimentasi laut. Sebagaimana diketahui sedimentasi lautan adalah proses pengendapan yang terjadi di laut dimana material-material dipindahkan oleh kekuatan air laut. Sedimentasi tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, seperti perubahan arus laut yang mengendapkan material-material ke dasar laut maupun adanya pasang surut air laut. Hal tersebut berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama.
Jika proses sedimentasi tersebut tidak menimbulkan kerusakan ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi, maka khilafah akan membiarkan hal tersebut. Namun jika proses sedimentasi tersebut ternyata merusak ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi warga semisal berasal dari penggerusan di garis pantai, maka khilafah akan melakukan tindakan khusus, yakni akan melakukan pengendalian proses abrasi yang terjadi dengan metode coastel engineering, yaitu teknik pantai yang merupakan salah satu cabang teknik sipil yang menangani konstruksi di pesisir, serta perkembangan wilayah pesisir itu sendiri atau yang lain.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah hasil sedimentasi menimbulkan kerusakan atau tidak tentu diperlukan kajian khusus oleh para ahli dan akademisi. Karena dinamika wilayah pantai dan daerah pesisir dangkal sangat beragam. Hasil dari kajian tersebutlah yang akan digunakan khilafah dalam membuat kebijakan pengelolaan sedimentasi. seperti itulah peran khilafah dalam mengelola sedimentasi laut di daerah pesisir. Prinsip pengelolaan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi semata sebagaimana dalam sistem kapitalisme, melainkan pengelolaan yang mengedepankan kelestarian lingkungan hidup dan kebutuhan manusia. Karena itulah khilafah dikenal sangat melindungi manusia kehidupan dan alam semesta.[]
Oleh: Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar