Tintasiyasi.com -- Maaf kiyai izin bertanya, tentang hadis yang berisi larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berqurban. Apakah hadisnya shahih? Dan jika shahih apakah hukumnya itu diharamkan atau sekadar anjuran?
Jawaban:
Larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berqurban disebutkan dalam beberapa hadis dengan redaksi yang berbeda namun serupa :
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan kalian kamu hendak berqurban, maka janganlah mengambil rambut dan kulit sedikitpun, sampai selesai berkurban.”(HR. Muslim)
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا أَظْفَارِهِ شَيْئًا
"Apabila telah masuk sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berqurban, maka janganlah ia memotong sebagian rambut dan kuku hewan qurbannya sedikitpun.” (HR. Darimi)
فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka hendaklah dia menahan (tidak memotong) sebagian rambutnya kukunya” HR Abu Daud.
Keterangan hadis:
Selain imam Muslim, Darimi dan Abu Daud, hadits ini juga diriwayatkan oleh imam hadits lainnya namun semua dari jalur ummu Salamah radhiyallahu’anhu. Hadits ini shahih menurut mayoritas ulama, cukuplah diketahui keshahihannya karena ia tercantum dalam shahih Muslim.
Bagaimana hukumnya?
Dalam memahami hadits diatas para ulama berbeda pendapat tentang hukum larangannya. Ada yang menetapkan itu menunjukkan pengharaman, ada pula yang sekedar memakruhkan, atau bahkan yang ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud kuku dan rambut dalam hadits tersebut bukanlah anggota badan orang yang akan berqurban, tapi kuku dan rambut hewan qurbannya.
1. Haram
Kalangan madzab Hanabilah adalah yang memahami hadits diatas mengandung perintah yang bersifat wajib. Sehingga bagi siapapun yang akan berqurban dan melanggar dengan memotong kuku dan rambutnya ia jatuh kepada keharaman.[1]
Setelah menerangkan panjang lebar tentang dalil kalangan Hanabilah dalam mengambil pendalilan haramnya memotong rambut dan kuku, al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
إذا ثبت هذا، فإنه يترك قطع الشعر وتقليم الأظفار، فإن فعل استغفر الله تعالى. ولا فدية فيه إجماعا، سواء فعله عمدا أو نسيانا.
“Maka telah tetaplah akan hal ini (akan keharamannya). Sesungguhnya harus ditinggalkan perbuatan memotong rambut dan kuku bagi orang yang berqurban.
Dan siapa yang melanggarnya maka hendaklah ia memohon ampun kepada Allah. Namun tidak ada denda dalam masalah ini menurut Ijma’ ulama. Sama saja ia melakukannya dengan sengaja atau lupa.”[2]
Namun kalangan Hanabilah sendiri tidak semua kompak mengharamkan, sebagiannya ada yang berpendapat makruh. Berkata Abdurrahman bin Ibnu Qadamah al Hanbali rahimahullah :
ظاهر هذا التحريم وهو قول بعض أصحابنا، وحكاه ابن المنذر عن أحمد واسحاق وسعيد بن المسيب،
“Yang nampak adalah ini (memotong kuku dan rambut) adalah haram. Ini adalah pendapat sebagian shahabat-shahabat kami (Hanabilah) Dan juga telah menghukumi yang sama Ibn Mundzir, Ishaq dan Sa’id bin Musayyib.”[3]
2. Makruh
Sedangkan ulama dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah memahami bahwa hadits tersebut hanyalah sekedar anjuran, bukan perintah yang sifatnya wajib.[4]
Berkata al Imam Nawawi rahimahullah :
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ
“As Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berpendapat hal itu dimakruhkan dengan makruh tanzih tidak sampai haram.”[5]
Beliau juga berkata :
والحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار
“Hikmah dari larangan ini adalah supaya sempurna anggota badan yang akan diselamatkan dari api neraka.”[6]
Kalangan ini mendukung pendapatnya dengan adanya hadits lain yang menunjukkan bahwa memotong kuku dan rambut bagi orang yang berqurban bukanlah keharaman, yaitu sebuah riwayat dari ummul Mukminin Asiyah :
كُنْتُ أَفْتِل قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُقَلِّدُهُ وَيَبْعَثُ بِهِ وَلاَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ.
‘Dahulu aku memintal tali pada leher hewan sembelihan Rasulullah ﷺ kemudian beliau memasang tali tersebut pada leher hewan tersebut, mengirimkannya dan tidak mengharamkan sedikitpun apa yang Allah halalkan sebelumnya hingga beliau menyembelihnya.” (HR. Bukhari)
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Mengirim hewan sembelihan lebih kuat keadaannya dari pada sekedar keinginan untuk berqurban. Maka ini menunjukkan hal tersebut tidak haram hukumnya”.[7]
Maksudnya adalah, Nabi ﷺ dalam hadits di atas bukan hanya sebatas berkeinginan untuk berqurban, namun beliau bahkan sudah pada tahap mengirimkan hewan-hewan semebelihannya.
Dan beliau sama sekali tidak mengharamkan sesuatu apapun yang memang halal sebelumnya. Artinya tidak ada tambahan larangan yang sifatnya haram.
Berkata al imam Ibn Rusyd rahimahullah :
...فلم يحرم عليه شيء مما أحله الله له حتى نحر الهدي» لأنه إذا لم يحرم على الذي بعث بالهدي شيء مما أحله الله له حتى ينحر الهدي، فأحرى ألا يحرم على الذي يريد أن يضحي أو عنده ذبح يريد أن يضحي به شيء مما أحله الله له حتى يضحي.
“Dan tidak diharamkan atasnya apa yang dihalalkan oleh Allah baginya sampai disembelihnya hewan Hadyu.’ (Hadits panjang riwayat ‘Aisyah yang dinukil Syafi’iyyah diatas) Bahwasanya jika tidak diharamkan atas orang yang membawa hewan hadyu (sembelihan haji) sesuatu apapun hingga disembelihnya hewan tersebut.
Maka bagi kasus yang lain, tentu tidak diharamkan pula bagi orang yang hendak berqurban atau yang punya hewan qurban atas sesuatu apapun yang dihalalkan oleh Allah hingga ia berqurban.”[8]
Imam Syaukani dan Imam Ibnu Qudamah dari Hanabilah memberikan bantahan balik atas pendalilan ini, diantaranya disebutkan bahwa hadits ummu Salamah lebih khusus dari hadits Aisyah yang bersifat umum. Sedangkan kaidah fiqih mengharuskan dalil khusus didahulukan dari dalil yang umum.[9]
Ulama Syafi’iyah khususnya dari kalangan ahli haditsnya masih memberikan bantahan balik lagi, diantaranya dengan menyatakan bahwa hadits Ummu Salamah adalah hadits Marfu’ sehingga tidak bisa disejajarkan dengan hadits shahih riwayat Aisyah dalam masalah ini.
3. Mubah
Adapun kalangan ulama madzab Hanafi berpendapat bahwa memotong kuku atau rambut bagi orang yang akan berqurban hukumnya boleh-boleh saja, tidak makruh apalagi haram. Karena mereka memahami hadits Ummu Salamah di atas bukan diperuntukkan untuk orang yang akan berqurban tapi bagi para jama’ah haji.[10]
Berkata Mula Ali Qari rahimahullah :
وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب
“Dan berkata Abu Hanifah : Perkara ini yakni memotong kuku dan rambut adalah mubah saja, tidak makruh dan tidak disunnahkan.”[11]
4. Yang dilarang adalah kuku dan rambut hewan
Mula al Qari dari madzab al Hanafiyah menyebutkan adanya sebagian pendapat yang menyendiri dengan mengatakan bahwa yang dimaksud kuku dan rambut dalam hadits di atas bukanlah milik orang yang akan berqurban, tapi kuku dan rambut hewan qurbannya.
Beliau berkata :
وأغرب ابن الملك حيث قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف
“Ada pendapat asing dari Ibnul Malak (Hanafiyah). Menurutnya, mkasud hadits tersebut adalah tidak boleh memotong bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”[12]
Belakangan pendapat inilah yang dipilih dan dikuatkan oleh ahli hadits indonesia, Allahyarham KH. Ali Musthafa Ya’kub dalam karyanya kitabnya At Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah.
Beliau menjelaskan bahwa hadits larangan memotong kuku dan rambut itu adalah untuk hewan qurbannya, agar nanti semakin banyak pahala yang didapatkan. Hal ini sesuai dengan hadits ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berikut ini :
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا
“Amal yang paling dicintai oleh Allah ta'ala pada ‘Id al Adha adalah menyembelih hewan klqurban. Karena ia akan datang pada hari kiamat bersama dengan tanduk, kuku dan bulunya. ... “ (HR. Ibnu Majah)
Juga adanya hadits :
فِي الْأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ
“...Pada hewan qurban, bagi orang yang berkurban, setiap helai rambunya adalah kebaikan.” (HR. Tirmidzi)
Namun mayoritas ulama memberikan bantahan balik terhadap pendapat ini, diantaranya :
1. Secara bahasa kuku hewan itu tidak disebut "dzhafr" yang jama'nya "adzfar", tapi namanya adalah "dzilf yang jama'nya "adzlaf".
2. Dzamir atau kata gantinya memang secara bahasa tepatnya tertuju ke manusia bukan kepada hewan. Karena dzamir menggunakan "hu", sedangkan hewan qurban adalah bentuk kata yang muannats bukan mudzakkar sehingga dhamir yang cocok baginya adalah "ha".
3. Selanjutnya adalah fakta tidak adanya kebiasaan dalam peternakan bangsa Arab memotong kuku dan rambut hewan. Jika tidak ada yang melakukannya, untuk apa juga ada larangannya.
Mulai kapan dilaksanakan?
Perintah ini berlaku bagi orang yang telah memiliki hewan Qurban dari sejak masuknya 1 Dzulhijjah hingga disembelihnya hewan Qurban miliknya tersebut. Namun bagi yang belum berniat dan belum memiliki hewan Qurban meski telah masuk bulan Dzulhijah, maka ia masih boleh memotong kuku dan juga rambutnya.
Begitu di tanggal 9 Dzulhijjah misalnya, baru ia mendapatkan hewan Qurban, maka sejak tanggal itu ia sebaiknya tidak memotong kuku dan rambut yang tumbuh di badannya.[13]
Berkata Syaikh Ali Jum’ah hafidzahullah:
أما من لم يَعزم على الأضحية من أول شهر ذي الحجة بل ترك الأمر في ذلك معلقًا حتى يتيسر له أن يضحي فإنه لا يصدق عليه أنه مريد للتضحية، فلا يُكره في حقه أن يأخذ من شعره أو أظفاره أو سائر بدنه شيئًا حتى يعزم على الأضحية؛ فإن عزم استُحِبَّ في حقه أن يمسك عن الشعر وغيره من حين العزيمة.
“Dan siapa yang belum berniat untuk berqurban dari awal bulan Duzlhijjah, maka ia tidak terkait dengan masalah ini (Larangan memotong kuku dan rambut) hingga ia dimudahkan untuk berqurban. Karena ia tidak dianggap hendak berqurban.
Tidak dimakruhkan baginya untuk memotong rambut ataupun kukunya atau apapun dari anggota badannya, hingga ia sudah berniat untuk berqurban. Jika dia telah berniat untuk berqurban, barulah disunnahkan untuk menahan dari memotong rambut dan lainnya dimulai dari saat ia berniat tersebut.”[14]
Apakah larangan ini juga berlaku untuk anggota keluarga yang akan berqurban ? Umumnya para ulama berpendapat bahwa kesunnahan tidak memotong kuku dan rambut disini hanya untuk yang berniat Qurban, tidak untuk keluarganya.
Syaikh Dr. Masyhur Fawaz hafidzahullah berkata :
وهذا الحكم خاص بالمضحي وحده دون باقي أهله ، ودون من وكَّله بذبح الأضحية ، فلا تمتنع زوجة وأولاد المضحي عن حلق الشّعر وتقليم الأظافر
“Adapun hukum tentang masalah ini khusus berlaku hanya untuk yang berqurban, tidak untuk keluarganya. Dan tidak juga untuk yang menyembelihkan qurban untuknya. Maka tidaklah dilarang istri atau anaknya untuk memotong rambut dan kukunya.”[15]. Wallahu a’lam bishshowab.
Oleh: K.H. Ahmad Syahrin Thoriq (Pengasuh Pondok Pesantren Subulana Kota Bontang Kalimantan Timur)
____________________________________
[1] Al Mughni (11/96).
[2] Al Mughni (9/437).
[3] Syarh al Kabir ‘ala Matan al Muqni’ (3/584).
[4] Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (8/392), Syarh Shaghir wa Hasyiah Shawi (2/141).
[5] Syarah Muslim (13/138)
[6] Syarah Shahih Muslim ( 5/120).
[7] Syarh Shahih Muslim (7/139), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (5/95).
[8] Al Bayanu wa at Tahsil (18/166).
[9] Al Mughni (9/437), Nail al Authar (5/128).
[10] Al Rawdhah alNadiyyah Syarh al Durar al Bahiyyah (2/222), Nailul Authar (5/133), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (4/2735).
[11] Mirqatul Mafatih Syarh Masyakah (3/1081)
[12] Mirqatul Mafatih Syarh Masyakah (3/1081)
[13] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (5/171).
[14] Darr Ifta’ Mishriyah nomor fatwa 577.
[15] Majelis ifta’ li Dakhili (48).
0 Komentar