Mengupah Tukang Jagal dengan Daging Qurban

Tintasiyasi.com -- Izin bertanya kiyai, apa hukum mengupah penjagal dengan daging qurban ? Di sebagian masyarakat penjagal diupah dengan kepala hewan. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Memberi upah kepada penjagal atau orang-orang yang turut mengurusi hewan qurban semisal yang mengkuliti, mencincang dan mendistribusikan daging qurban hukumnya adalah di bolehkan.

Yang tidak boleh adalah menjadikan bagian dari hewan yang diqurbankan untuk membayar para pekerja tersebut. Dalil larangan akan hal ini jelas sekali disebutkan dalam beberapa hadits. Diantaranya sebuah riwayat dari sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

"Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan pelananya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim)

Menjadikan daging qurban sebagai upah bagi penjagal, hal itu juga mirip dengan memperjual belikan daging qurban yang juga dilarang dalam syariat. Disebutkan dalam hadits :

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Siapa yang menjual kulit hwan qurbannya maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Hakim)

Berkata al imam Syafi’i rahimahullah:

ويجوز للمضحي التصدق بالجلد وإعارته والانتفاع به لا بيعه ولا إجارته

“Dibolehkan bagi orang yang berqurban untuk mensedekahkan kulitnya, atau meminjamkannya atau mengambil manfaat darinya. Namun tidak boleh menjualnya atau menjadikannya upah.”[1]

Disebutkan dalam al Mausu’ah:

وقال الشافعية والحنابلة: يحرم إعطاء الجازر في أجرته شيئا منها... وصرح المالكية بمنع إعطاء الجزار في مقابلة جزارته أو بعضها شيئا منها

“Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat diharamkan memberikan kepada jagal sebagai upah bagian apapun dari hewan qurban. Demikian juga kalangan Malikiyah menetapkan larangan memberikan kepada tukang jagal karena pekerjaannya bagaian apapun dari hewan qurban.”[2]

Namun jika memberikan bagian dari daging qurban itu sebagai sedekah dan jatah pembagian qurban seperti yang lainnya atau semata-mata hadiah, maka hukumnya boleh. Al imam Baghawai rahimahullah berkata :

وهذا إذا أعطاه على معنى الأجرة، فأما أن يتصدق عليه بشيء منه فلا بأس به، هذا قول أكثر أهل العلم

“Yang dimaksudkan dalam hadits larangan jika diberikan sebagai upah. Sedangkan memberikannya sebagai sedekah dari daging qurban tidaklah mengapa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [3]

Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah:

فإن أعطي الجزار شيئاً من الأضحية لفقره، أو على سبيل الهدية، فلا بأس

“Jika penjagal diberi sesuatu dari daging qurban karena kemiskinannya (sebagai sedekah) atau dengan jalan hadiah, maka hukumnya boleh.”[4]

Sedangkan kalangan Hanafiyah membolehkan menjadikan sebagai upah jagal bagian qurban yang tidak untuk dibagi-bagikan semisal kulit, tanduk dan semisalnya.[5]

Solusinya

Nah karena jelas ada larangan menjadikan bagian dari hewan qurban termasuk kepala sebagai upah, maka hendaknya ada alternatif lain sebagai solusi untuk bayaran tukang jagal dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan qurban.

Itu bisa diambil dari para pemilik hewan, atau bisa dari keuntungan penjualan hewan oleh panitia dan bisa juga diambil dari kas masjid atau kepanitiaan. 

Dan mungkin bisa juga menjadi solusi bila di antara jamaah ada yang ikhlas memberikan tenaganya untuk menjadi jagal bagi hewan qurban di tempat tersebut tanpa perlu dibayar, nanti ia diberi dagingnya sebagai hadiah, bukan bayaran.
Wallahu a’lam bishshowab.[]

Oleh: K.H Ahmad Syahrin Thoriq (Pengasuh Pondok Pesantren Subulana Kota Bontang, Kalimantan Timur)
_____________
[1] Minhaj ma’a Hasyiah al Bujairami (4/299)
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (5/105)
[3] Syarah Sunnah (7/188)
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (4/2741)
[5] Bada’i ash Shanai’ (5/81), hasiyah Ibnu Abidin (5/201)

Posting Komentar

0 Komentar